Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sabtu, 26 Mei 2012

PENDIDIKAN DI TASSESE UNTUK SIAPA?



Prolog
APA sebenarnya tujuan dari proses pendidikan? Apakah peserta didik benar-benar membutuhkan apa yang telah diajarkan? Pelajaran seperti apa yang peserta didik butuhkan untuk menjalani hidupannya? Apa pula yang sistem pendidikan harapkan selepas peserta didik keluar dari proses pendidikan?

Tenaga pendidik merupakan modal utama dalam proses belajar. Tenaga pendidik di negeri kita ini disebut dengan guru. Guru untuk sebagian siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan, namun tidak jarang pula ada yang menjadikannya sebagai sesuatu momok yang mengerikan. Pemegang otoritas dalam proses belajar. Aktor yang siswa anggap paling memiliki kuasa atas proses berpengetahuan di sekolah. Aktor yang berhak untuk menentukan salah dan benar. Menentukan rel pengetahuan seperti apa yang harus siswa lalui, karena dialah sumber utama pengetahuan.

Kamis, 03 Mei 2012

Sektor Tangga Selatan, Garda Depan Gerakan Perlawan Pedagang Pasar Terong




KEBUNTUAN AMING GOZAL untuk merevitalisasi Pasar Terong bermula dari penolakan pedagang di Sektor Tangga Selatan untuk direlokasi. Aming inilah pelanjut sebagai pemilik hak guna pasar setelah Ferry Sulityo sejak bulan Februari 2012 lalu.[1]

Tangga Selatan, selain sejarahnya sebagai pusat gerakan perlawanan pedagang Pasar Terong, tempat ini juga strategis dalam hal letak. Sektor ini berada di sebelah selatan gedung utama pasar dan diapit oleh ruko (rumah sekaligus toko) milik pemborong bernama Dg. Tata yang tidak dilunasi pembayaran pengerjaannya oleh Ferry. Jika dibandingkan dengan sektor lain, tangga selatan memiliki luas yang memadai untuk jalur angkutan material dan paling dekat dengan sisi gedung.

Tetapi, yang menjadi masalah developoer dalam agenda revitalisasinya ini, tangga selatan kini telah dipenuhi oleh pedagang. Ada sekira dua ratusan pedagang (172 pedagang sektor Tangga Selatan, Kelompok 40 dan Kelompok 17) dengan jenis jualan beragam, mulai dari rempah, sayur mayur, sepatu-sendal, CD bajakan, ikan, ayam hingga warung kopi. Menyingkirkan ratusan pedagang untuk untuk membuka jalan masuk kendaraan-kendaraan berat milik developer tentunya akan melahirkan benturan keras. Jika menghitung-hitungnya, ongkos sosialnya akan jauh lebih besar ketimbang ongkos ekonominya.

Sementara di pihak lain pedagang sejak revitalisasi pasar tahun 1995 terus berada di pihak yang dirugikan. Revitalisasi nyatanya tidak membawa mereka menjadi lebih baik. Pasar semakin sepi dari pengunjung tiap tahunnya. Hal ini diperparah pula dengan citra buruk yang berkembang di masyarakat tentang kondisi Pasar Terong—sebagaimana pasar-pasar lokal di Makasar pada umumnya. Pengelolaan pasar semakin tidak efektif, sampah sulit dikendalikan, jual beli tempat secara ilegal marak dilakukan oknum, dana retribusi yang harusnya bisa membuat pasar lebih terawat semakin tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh pedagang. Belum lagi rival abadi pasar lokal yakni pasar modern dan minimarket yang menjamur di sudut-sudut kota dengan tata ruang sembrawut. Maka, semakin tersudutlah Pasar Terong bersama ‘kegalauan’ pedagangnya.

Di tengah kekisruhan yang terjadi, Kepala Pasar Terong kemudian menginisiasi pertemuan untuk mencari jalan penyelesaian persoalan relokasi. Setelah meminta pertimbangan SADAR dan AcSI, Kepala Pasar merancang pertemuan untuk mempresentasikan inisiasi yang dimaksudkan.

*

LEWAT PUKUL 10 PAGI, pedagang pun berkumpul di Warung Kopi Puccu milik Herman (salah seorang pedagang di Tangga Selatan, juga aktif di organisasi pedagang SADAR). Satu persatu pedagang duduk di kursi panjang terbuat dari kayu menghadap secangkir kopi masing-masing.

Kepala Pasar membuka pertemuan dengan menunjukkan gambar denah Pasar Terong. Kemudian dia mulai menjelaskan rencana yang menurutnya tidak akan merugikan pedagang.

Seluruh pedagang di sektor Tangga Selatan disarankan untuk menempati areal parkir sebelah Barat gedung, tepat di depan pintu depan gedung utama pasar. Catatannya, seluruh biaya relokasi akan ditanggung oleh Aming Gosal selaku Direktur Utama PT. Bintang Sinar Persada, termasuk menyediakan lapak pedagang di lokasi relokasi serta keamanan. Kepala Pasar beralasan bahwa selama ini yang menghambat developer mengerjakan revitalisasi adalah persoalan tidak pernah selesainya negosiasi anatara pedagang di Tangga Selatan dengan pihak developer untuk penggunaan sektor tersebut sebagai jalur keluar masuk kendaraan yang akan mengangkut material bangunan.

Pihak developer mengaku kesulitan karena pedagang menyediakan ruang yang sempit untuk kendaraan-kendaraannya. Alasan lainnya mengenai keselamatan pengunjung. Saat pekerja melakukan pengerjaan, tidak menutup kemungkinan ada bahan material yang terlempar ke bawah—mengingat rencana revitalisasi lantai tiga dan empat yang bersamaan waktu pelaksanaannya—sehingga sangat beresiko bagi pengunjung. Namun dari semua alasan yang telah disebutkan pada initinya adalah developer membutuhkan ruang yang lebih lowong untuk memermak bagunan yang selama ini sudah tidak bermanfaat lagi.

Aming Gosal tentunya tidak ingin rugi dengan revitalisasi yang dia kerjakan. Harga hak guna bagunan dan kelola yang dibeli dari Ferry Sulityo tidaklah kecil. Pada dasarnya tidak ada pengusaha yang mau rugi, sehingga untuk berharap besar developer untuk mengambil resiko kerugian dengan memihak pedagang sangat tidak mungkin.

Pemerintah Kota Makassar, melalui PD Pasar Makassar Raya pun memiliki kepentingan yang berbeda. Alat hisap PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota ini terus mencari jalan untuk memperbaiki pasar-pasar yang ada di bawah kewenangannya. Aming Gosal merupakan satu di antara banyak investor yang mendapat tawaran untuk menangani Pasar Terong. Tentunya Pemerintah Kota tidak ingin melihat pasar terbesarnya menjadi padang lapak yang sepi tertiup ancaman investasi lain di pasar modern.

Di sisi lain, pemerintahan sekarang yang berjalan bersama pembangunan citra terus memantapkan hegemoni-hegemoni kuasanya. Memanfaatkan setiap momentum—salah satunya Pemilukada—untuk menancapkan pilar-pilar kekuasaan di ranah basis. Bagaimana mengambil suara rakyat agar saat kekuasaan didapatkan rakyat tidak mampu lagi bersuara. Nah, politik citra ini juga digunakan oleh sebagian figur untuk menopang karir politiknya. Salah satunya adalah Walikota. Bahkan Kepolisian Daerah Sulselbar pun turut menggunakan pencitraan satabilitas Makassar untuk memungut satu persatu simpati masyarakat yang terus berguguran.

Bagaimana kemudian untuk merawat pencitraan di ranah publik? Pastinya dengan meredam ataupun menghindari adanya gejolak-gejolak di komunitas masyarakat. Apalagi Kota Daeng ini telah menjadi salah satu faktor produksi penting untuk berita-berita media lokal maupun nasional.

Kepala Pasar kemudian berada di posisi yang dilematis, tertekan dari atas untuk meredam gejolak di masyarakat, sementara di lingkungan pasar harus disibukkan oleh benturan developer dengan komunitas pedagang.

Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan untuk pedagang yaitu apakah tempat relokasi (areal parkir pasar) sebanding dengan jumlah pedagang seluruh Sektor Tangga Selatan yang ada sekarang. mempertimbangkan ini penting karena bisa saja akan menghadirkan perselisihan kembali di tubuh pedagang sendiri. Kemudian memperhitungkan Bulan Ramadhan, Lebaran, Natal dan Tahun Baru—waktu di mana pedagang bisa memaksimalkan pendapatan karena meningkatnya konsumsi rumah tangga—dengan lama waktu pengerjaan revitalisasi oleh developer.

Jika berpatokan pada perhitungan Zainal—bahwa lama pengerjaan yang dibutuhkan developer untuk menyelesaikan pengerjaan Tangga Selatan adalah 8 bulan—maka perlu ada kerelaan dari pedagang untuk mengambil risiko dari pilihan tersebut. Namun sebisa mungkin dalam proses negosiasi dengan developer, perlu menimbang-nimbang banyak implikasi dimunculkan. Maka perlu bagi pedagang untuk membangun banyak pilihan-pilihan alternatif agar tidak terhenti pada satu pilihan yang sempit.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah pedagang harus bersikap dalam situasi ini? Bagaimana pedagang memunculkan posisi tawarnya untuk mengubah penghidupan yang semakin menekan ke arah yang lebih berkeadilan? Pihak mana yang mungkin bisa masuk dalam persekutuan rakyat untuk berdaulat atas pasarnya?

**

MENJADI sebuah keharusan bahwa pedagang harus siap dengan segala perubahan di lingkungannya. Kondisi pasar yang sekarang tidak cukup berpihak pada mereka untuk bisa melanjutkan eksistensi pasar lokal di Makassar. Sebagai contoh paling sederhana, AcSI sebagai lembaga yang mendampingi organisasi pedagang (SADAR) belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dalam wacana publik. Pertanyaan seputar kerusakan ekologi di lingkungan pasar, ketidaknyamanan pengunjung, kemacetan dan stigma negatif lainnya.

Dari serentetan pristiwa yang terjadi sejak masuknya Aming Gosal di dalam Pasar Terong telah menghadirkan bermacam masalah. Salah satu implikasi yang nampak adalah ketidakpercayaan pedagang terhadap developer karena sikapnya yang terus menunda-nunda kesepakatan yang telah dibuat bersama. Bahkan dalam satu hal, developer justeru mengingkari konsensus yang mereka bangun sendiri.

Sejarah penghianatan di lingkungan pedagang telah membuat mereka memiliki ketakutan yang berlebihan. Dari pengelola satu ke pengelola lain, dari satu developer satu ke developer lain hingga dari walikota satu ke walikota lain. Drama penghianatan berlanjut. Implikasinya, pedagang akan menimbang ribuan kali untuk memutuskan akan membuat kesepakatan.

Sejak 2003 pedagang—khususnya pedagang yang berada di luar gedung seperti palappara, pamejang, pagandeng, pakalontong—berhasil membangun organisasinya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan di tubuh pedagang agar memiliki nilai tawar dengan kekuasaan dalam memperjuangkan visi kemandirian dan kedaulatan atas pasar.

Walaupun telah ada ‘rumah’ bersama bagi pedagang untuk berjuang, bukan berarti tanpa masalah. Dinamika dari proses membangun hingga menjalankan organisasi menemukan kendala dan tantangan. Sebagian memilih organisasi sebagai jalan aman untuk tetap melanjutkan keberadaannya di pasar, sebagiannya menyerahkan hidup matinya untuk organisasi. Tetapi ada pula sekelompok pedagang yang apatis dengan gerakan perlawanannya dan memilih untuk menerima ‘penghisapan’ sistematis terhadap hidupnya. Mirisnya, kelompok satu ini yang jumlahnya lebih banyak.

Jika melihat lebih luas lagi keluar lembaga SADAR, maka di lingkungan komunitas pasar akan nampak peta politik pedagang dengan segala kepentingan yang melekatinya. Sekedar gambaran kasar, ada beebrapa kelompok seperti APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), APPT (Asosiasi Pedagang Pasar Terong) dan SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong) yang merupakan tiga organisasi besar di Pasar Terong.

Pedagang pemilik kios di dalam gedung membentuk organisasinya sendiri dengan nama APPT. Organisasi ini merupakan terjemahan pemerintah atas kebutuhan pedagang tentang pentingnya berhimpun. Sementara, pedagang yang tidak terakomodir di organisasi resmi APPT kemudian menghimpun diri di SADAR—yang didampingi oleh Zainal Siko. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, SADAR merupakan ruang yang diciptakan padangang-pedagang di luar bangunan (kaki lima). APPSI dengan nama besarnya ternyata masih menggunakan kekuatan figur untuk membesarkan organisasinya karena fakta yang ada, masih sangat sulit untuk bisa melihat orang-orangnya di lingkungan pasar.

Di samping tiga organisasi besar pedagang di atas, sebenarnya masih banyak kelompok-kelompok kecil yang ada secara informal, baik kelompok yang berorientasi penguatan jaringan usaha dagang maupun usaha ‘premanisme’.

Tidak terkonsolidasikannya kelompok-kelompok maupun organisasi di lingkungan pedagang ini di satu sisi bisa menjadi kekuatan—sulit bagi kekuatan luar (yang berkepentingan mematikannya) untuk membaca kekuatan-kekuatan di masing-masing komunitas. Namun di sisi lain justeru menjadi benih perpecahan—kerena perbedaan visi serta kepentingan. Dalam perjalanannya, terjadi interaksi maupun benturan-benturan antar kelompok. Inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh developer untuk mempermudah rencana pengambilalihan hak penentuan ruang atas pasar.

Kemudian, bagaimana dengan pedagang-pedagang yang tidak memilih untuk masuk ke dalam kelompok? Di pihak mana sebenarnya mereka? Peran apa yang bisa mereka ambil dalam memperjuangkan keberadaan pedagang di dalam pasar?  Atau mereka akan tersingkir dengan sendirinya bersama rasa putus asa.

***

MOMENTUM untuk mengkonsolidasikan kekuatan di tubuh pedagang telah hadir. Dalam perebutan ruang-ruang (sosial, politik dan ekonomi) pasar harus mulai dibicarakan oleh seluruh pedagang. Peluang untuk melakukan perubahan kecil untuk perubahan yang lebih besar.

Sebenarnya ada tujuan lebih jauh dari inisiatif yang digambarkan Kepala Pasar saat pertemuan di Warung Kopi Puccu, yakni menjadikan Sektor Tangga Selatan ini sebagai pilot project bagi Pasar Terong dalam mengelola sektor lainnya. Jika inisiatif ini bisa berjalan dengan baik bisa menjadi semangat bagi pedagang lain untuk melakukan hal yang sama. Berjuang untuk menentukan ruang atas lingkungan tempatnya mengais hidup.

Selain itu, kepercayaan pedagang yang telah lama hilang terhadap pengelola pasar bisa terkikis sedikit demi sedikit. Rasa tidak percaya yang akut di diri pedagang yang berimplikasi hingga pada hubungan intrapersonal di antara mereka. Proses pengembalian legitimasi terhadap pemegang wewenang menjadi bahan pembelajaran yang berharga.

Bayangan AcSI tentang Pasar Terong yang kelak bisa menjadi salah satu percontohan bagi pasar-pasar lain di Kota Makassar mungkin bisa dimulai dengan menjadikan Sektor Tangga Selatan sebagai langkah awalnya. Tinggal bagaimana menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan fungsi kontrol  serta mekanisme reward and punishment secara sosial, bukan mengacu pada hukum formal yang ada saat ini karena terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan pasar. Tentunya semua itu dibangun oleh pedagang sendiri dengan mamaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki.[]


[1] Adendum atas perjanjian kerjasama bersyarat nomor: 511.2/053/S.PERJA/UM Tanggal 61 Agustus 1995, tentang Peremajaan dan Pengembangan Serta Pengelolaan Pasar Terong Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang antara PD. Pasar Makassar Raya Kota Makassar dengan PT. Bintang Sinar Persada (dahulu Bernama PT. Makassar Putra Perkasa) Nomor: 511.2/65/II/PD.PSR/2012-0100/II/BSP/2012.