KEBUNTUAN
AMING GOZAL untuk merevitalisasi Pasar Terong bermula dari penolakan pedagang
di Sektor Tangga Selatan untuk direlokasi. Aming inilah pelanjut sebagai
pemilik hak guna pasar setelah Ferry Sulityo sejak bulan Februari 2012 lalu.
Tangga
Selatan, selain sejarahnya sebagai pusat gerakan perlawanan pedagang Pasar
Terong, tempat ini juga strategis dalam hal letak. Sektor ini berada di sebelah
selatan gedung utama pasar dan diapit oleh ruko (rumah sekaligus toko) milik
pemborong bernama Dg. Tata yang tidak dilunasi pembayaran pengerjaannya oleh
Ferry. Jika dibandingkan dengan sektor lain, tangga selatan memiliki luas yang
memadai untuk jalur angkutan material dan paling dekat dengan sisi gedung.
Tetapi,
yang menjadi masalah developoer dalam agenda revitalisasinya ini, tangga
selatan kini telah dipenuhi oleh pedagang. Ada sekira dua ratusan pedagang (172
pedagang sektor Tangga Selatan, Kelompok 40 dan Kelompok 17) dengan jenis
jualan beragam, mulai dari rempah, sayur mayur, sepatu-sendal, CD bajakan,
ikan, ayam hingga warung kopi. Menyingkirkan ratusan pedagang untuk untuk
membuka jalan masuk kendaraan-kendaraan berat milik developer tentunya akan
melahirkan benturan keras. Jika menghitung-hitungnya, ongkos sosialnya akan
jauh lebih besar ketimbang ongkos ekonominya.
Sementara
di pihak lain pedagang sejak revitalisasi pasar tahun 1995 terus berada di
pihak yang dirugikan. Revitalisasi nyatanya tidak membawa mereka menjadi lebih
baik. Pasar semakin sepi dari pengunjung tiap tahunnya. Hal ini diperparah pula
dengan citra buruk yang berkembang di masyarakat tentang kondisi Pasar Terong—sebagaimana
pasar-pasar lokal di Makasar pada umumnya. Pengelolaan pasar semakin tidak
efektif, sampah sulit dikendalikan, jual beli tempat secara ilegal marak
dilakukan oknum, dana retribusi yang harusnya bisa membuat pasar lebih terawat
semakin tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh pedagang. Belum lagi rival abadi
pasar lokal yakni pasar modern dan minimarket yang menjamur di sudut-sudut kota
dengan tata ruang sembrawut. Maka, semakin tersudutlah Pasar Terong bersama ‘kegalauan’
pedagangnya.
Di tengah
kekisruhan yang terjadi, Kepala Pasar Terong kemudian menginisiasi pertemuan
untuk mencari jalan penyelesaian persoalan relokasi. Setelah meminta
pertimbangan SADAR dan AcSI, Kepala Pasar merancang pertemuan untuk
mempresentasikan inisiasi yang dimaksudkan.
*
LEWAT
PUKUL 10 PAGI, pedagang pun berkumpul di Warung Kopi Puccu milik Herman (salah
seorang pedagang di Tangga Selatan, juga aktif di organisasi pedagang SADAR). Satu
persatu pedagang duduk di kursi panjang terbuat dari kayu menghadap secangkir
kopi masing-masing.
Kepala Pasar
membuka pertemuan dengan menunjukkan gambar denah Pasar Terong. Kemudian dia
mulai menjelaskan rencana yang menurutnya tidak akan merugikan pedagang.
Seluruh pedagang
di sektor Tangga Selatan disarankan untuk menempati areal parkir sebelah Barat
gedung, tepat di depan pintu depan gedung utama pasar. Catatannya, seluruh
biaya relokasi akan ditanggung oleh Aming Gosal selaku Direktur Utama PT.
Bintang Sinar Persada, termasuk menyediakan lapak pedagang di lokasi relokasi
serta keamanan. Kepala Pasar beralasan bahwa selama ini yang menghambat
developer mengerjakan revitalisasi adalah persoalan tidak pernah selesainya
negosiasi anatara pedagang di Tangga Selatan dengan pihak developer untuk
penggunaan sektor tersebut sebagai jalur keluar masuk kendaraan yang akan
mengangkut material bangunan.
Pihak developer
mengaku kesulitan karena pedagang menyediakan ruang yang sempit untuk
kendaraan-kendaraannya. Alasan lainnya mengenai keselamatan pengunjung. Saat pekerja
melakukan pengerjaan, tidak menutup kemungkinan ada bahan material yang
terlempar ke bawah—mengingat rencana revitalisasi lantai tiga dan empat yang
bersamaan waktu pelaksanaannya—sehingga sangat beresiko bagi pengunjung. Namun dari
semua alasan yang telah disebutkan pada initinya adalah developer membutuhkan
ruang yang lebih lowong untuk memermak bagunan yang selama ini sudah tidak
bermanfaat lagi.
Aming
Gosal tentunya tidak ingin rugi dengan revitalisasi yang dia kerjakan. Harga hak
guna bagunan dan kelola yang dibeli dari Ferry Sulityo tidaklah kecil. Pada
dasarnya tidak ada pengusaha yang mau rugi, sehingga untuk berharap besar
developer untuk mengambil resiko kerugian dengan memihak pedagang sangat tidak
mungkin.
Pemerintah
Kota Makassar, melalui PD Pasar Makassar Raya pun memiliki kepentingan yang
berbeda. Alat hisap PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota ini terus mencari jalan
untuk memperbaiki pasar-pasar yang ada di bawah kewenangannya. Aming Gosal
merupakan satu di antara banyak investor yang mendapat tawaran untuk menangani
Pasar Terong. Tentunya Pemerintah Kota tidak ingin melihat pasar terbesarnya
menjadi padang lapak yang sepi tertiup ancaman investasi lain di pasar modern.
Di sisi
lain, pemerintahan sekarang yang berjalan bersama pembangunan citra terus
memantapkan hegemoni-hegemoni kuasanya. Memanfaatkan setiap momentum—salah satunya
Pemilukada—untuk menancapkan pilar-pilar kekuasaan di ranah basis. Bagaimana mengambil
suara rakyat agar saat kekuasaan didapatkan rakyat tidak mampu lagi bersuara. Nah,
politik citra ini juga digunakan oleh sebagian figur untuk menopang karir
politiknya. Salah satunya adalah Walikota. Bahkan Kepolisian Daerah Sulselbar
pun turut menggunakan pencitraan satabilitas Makassar untuk memungut satu
persatu simpati masyarakat yang terus berguguran.
Bagaimana
kemudian untuk merawat pencitraan di ranah publik? Pastinya dengan meredam
ataupun menghindari adanya gejolak-gejolak di komunitas masyarakat. Apalagi Kota
Daeng ini telah menjadi salah satu faktor produksi penting untuk berita-berita
media lokal maupun nasional.
Kepala
Pasar kemudian berada di posisi yang dilematis, tertekan dari atas untuk
meredam gejolak di masyarakat, sementara di lingkungan pasar harus disibukkan
oleh benturan developer dengan komunitas pedagang.
Hal lain
yang perlu menjadi pertimbangan untuk pedagang yaitu apakah tempat relokasi (areal
parkir pasar) sebanding dengan jumlah pedagang seluruh Sektor Tangga Selatan
yang ada sekarang. mempertimbangkan ini penting karena bisa saja akan
menghadirkan perselisihan kembali di tubuh pedagang sendiri. Kemudian memperhitungkan
Bulan Ramadhan, Lebaran, Natal dan Tahun Baru—waktu di mana pedagang bisa
memaksimalkan pendapatan karena meningkatnya konsumsi rumah tangga—dengan lama
waktu pengerjaan revitalisasi oleh developer.
Jika berpatokan
pada perhitungan Zainal—bahwa lama pengerjaan yang dibutuhkan developer untuk
menyelesaikan pengerjaan Tangga Selatan adalah 8 bulan—maka perlu ada kerelaan
dari pedagang untuk mengambil risiko dari pilihan tersebut. Namun sebisa
mungkin dalam proses negosiasi dengan developer, perlu menimbang-nimbang banyak
implikasi dimunculkan. Maka perlu bagi pedagang untuk membangun banyak
pilihan-pilihan alternatif agar tidak terhenti pada satu pilihan yang sempit.
Pertanyaannya
kemudian, bagaimanakah pedagang harus bersikap dalam situasi ini? Bagaimana pedagang
memunculkan posisi tawarnya untuk mengubah penghidupan yang semakin menekan ke
arah yang lebih berkeadilan? Pihak mana yang mungkin bisa masuk dalam
persekutuan rakyat untuk berdaulat atas pasarnya?
**
MENJADI sebuah
keharusan bahwa pedagang harus siap dengan segala perubahan di lingkungannya. Kondisi
pasar yang sekarang tidak cukup berpihak pada mereka untuk bisa melanjutkan
eksistensi pasar lokal di Makassar. Sebagai contoh paling sederhana, AcSI
sebagai lembaga yang mendampingi organisasi pedagang (SADAR) belum mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dalam wacana publik. Pertanyaan seputar
kerusakan ekologi di lingkungan pasar, ketidaknyamanan pengunjung, kemacetan
dan stigma negatif lainnya.
Dari serentetan
pristiwa yang terjadi sejak masuknya Aming Gosal di dalam Pasar Terong telah
menghadirkan bermacam masalah. Salah satu implikasi yang nampak adalah
ketidakpercayaan pedagang terhadap developer karena sikapnya yang terus
menunda-nunda kesepakatan yang telah dibuat bersama. Bahkan dalam satu hal,
developer justeru mengingkari konsensus yang mereka bangun sendiri.
Sejarah penghianatan
di lingkungan pedagang telah membuat mereka memiliki ketakutan yang berlebihan.
Dari pengelola satu ke pengelola lain, dari satu developer satu ke developer
lain hingga dari walikota satu ke walikota lain. Drama penghianatan berlanjut. Implikasinya,
pedagang akan menimbang ribuan kali untuk memutuskan akan membuat kesepakatan.
Sejak 2003
pedagang—khususnya pedagang yang berada di luar gedung seperti palappara, pamejang, pagandeng, pakalontong—berhasil
membangun organisasinya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah. Tujuannya untuk
menghimpun kekuatan di tubuh pedagang agar memiliki nilai tawar dengan
kekuasaan dalam memperjuangkan visi kemandirian dan kedaulatan atas pasar.
Walaupun
telah ada ‘rumah’ bersama bagi pedagang untuk berjuang, bukan berarti tanpa
masalah. Dinamika dari proses membangun hingga menjalankan organisasi menemukan
kendala dan tantangan. Sebagian memilih organisasi sebagai jalan aman untuk
tetap melanjutkan keberadaannya di pasar, sebagiannya menyerahkan hidup matinya
untuk organisasi. Tetapi ada pula sekelompok pedagang yang apatis dengan
gerakan perlawanannya dan memilih untuk menerima ‘penghisapan’ sistematis
terhadap hidupnya. Mirisnya, kelompok satu ini yang jumlahnya lebih banyak.
Jika melihat
lebih luas lagi keluar lembaga SADAR, maka di lingkungan komunitas pasar akan
nampak peta politik pedagang dengan segala kepentingan yang melekatinya. Sekedar
gambaran kasar, ada beebrapa kelompok seperti APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar
Seluruh Indonesia), APPT (Asosiasi Pedagang Pasar Terong) dan SADAR (Persaudaraan
Pedagang Pasar Terong) yang merupakan tiga organisasi besar di Pasar Terong.
Pedagang
pemilik kios di dalam gedung membentuk organisasinya sendiri dengan nama APPT. Organisasi
ini merupakan terjemahan pemerintah atas kebutuhan pedagang tentang pentingnya
berhimpun. Sementara, pedagang yang tidak terakomodir di organisasi resmi APPT
kemudian menghimpun diri di SADAR—yang didampingi oleh Zainal Siko. Seperti yang
telah digambarkan sebelumnya, SADAR merupakan ruang yang diciptakan padangang-pedagang
di luar bangunan (kaki lima). APPSI dengan nama besarnya ternyata masih
menggunakan kekuatan figur untuk membesarkan organisasinya karena fakta yang
ada, masih sangat sulit untuk bisa melihat orang-orangnya di lingkungan pasar.
Di samping
tiga organisasi besar pedagang di atas, sebenarnya masih banyak
kelompok-kelompok kecil yang ada secara informal, baik kelompok yang
berorientasi penguatan jaringan usaha dagang maupun usaha ‘premanisme’.
Tidak terkonsolidasikannya
kelompok-kelompok maupun organisasi di lingkungan pedagang ini di satu sisi
bisa menjadi kekuatan—sulit bagi kekuatan luar (yang berkepentingan
mematikannya) untuk membaca kekuatan-kekuatan di masing-masing komunitas. Namun
di sisi lain justeru menjadi benih perpecahan—kerena perbedaan visi serta
kepentingan. Dalam perjalanannya, terjadi interaksi maupun benturan-benturan
antar kelompok. Inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh developer untuk
mempermudah rencana pengambilalihan hak penentuan ruang atas pasar.
Kemudian,
bagaimana dengan pedagang-pedagang yang tidak memilih untuk masuk ke dalam
kelompok? Di pihak mana sebenarnya mereka? Peran apa yang bisa mereka ambil
dalam memperjuangkan keberadaan pedagang di dalam pasar? Atau mereka akan tersingkir dengan sendirinya
bersama rasa putus asa.
***
MOMENTUM
untuk mengkonsolidasikan kekuatan di tubuh pedagang telah hadir. Dalam perebutan
ruang-ruang (sosial, politik dan ekonomi) pasar harus mulai dibicarakan oleh
seluruh pedagang. Peluang untuk melakukan perubahan kecil untuk perubahan yang
lebih besar.
Sebenarnya
ada tujuan lebih jauh dari inisiatif yang digambarkan Kepala Pasar saat
pertemuan di Warung Kopi Puccu, yakni menjadikan Sektor Tangga Selatan ini
sebagai pilot project bagi Pasar
Terong dalam mengelola sektor lainnya. Jika inisiatif ini bisa berjalan dengan
baik bisa menjadi semangat bagi pedagang lain untuk melakukan hal yang sama. Berjuang
untuk menentukan ruang atas lingkungan tempatnya mengais hidup.
Selain itu,
kepercayaan pedagang yang telah lama hilang terhadap pengelola pasar bisa
terkikis sedikit demi sedikit. Rasa tidak percaya yang akut di diri pedagang
yang berimplikasi hingga pada hubungan intrapersonal di antara mereka. Proses pengembalian
legitimasi terhadap pemegang wewenang menjadi bahan pembelajaran yang berharga.
Bayangan AcSI tentang Pasar Terong yang kelak bisa menjadi salah
satu percontohan bagi pasar-pasar lain di Kota Makassar mungkin bisa dimulai
dengan menjadikan Sektor Tangga Selatan sebagai langkah awalnya. Tinggal bagaimana menciptakan
sebuah sistem yang mampu melakukan fungsi kontrol serta mekanisme reward and punishment secara sosial, bukan mengacu pada hukum
formal yang ada saat ini karena terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan
pasar. Tentunya semua itu dibangun oleh pedagang sendiri dengan mamaksimalkan
seluruh potensi yang dimiliki.[]