Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 18 Januari 2012

‘Raport Merah’ Pengurangan Risiko Bencana Sinjai

(catatan kunjungan belajar dan merumuskan strategi PRB ke Ende)



TUJUH orang dari berbagai latar profesi melakukan perjalanan dalam rangka melakukan kunjungan belajar ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Tujuh orang ini adalah: Kepala Desa Kompang, Ketua Kelompok Tani Sipakatau, perwakilan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Sinjai, perwakilan Komisi I DPRD Kabupaten Sinjai, dua fasilitator SRP Payo-Payo dan satu orang penulis. Mereka berasal dari bermacam unsur yang ada di masyarakat kabupaten Sinjai yang memiliki perhatian lebih pada masalah kebencanaan.


Tujuan perjalanan ini bukan hanya untuk melakukan kunjungan belajar, tetapi juga untuk merumuskan strategi bersama dalam usaha Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di lima Kabupaten. Lima kabupaten peserta, yakni kabupaten Maluku Tenggara, Sinjai (Provinsi Sulawesi Selatan), Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan dan Ende sebagai tuan rumah pertemuan. Pelaksanaan pertemuan dilakukan dalam tiga hari: 19-21 Oktober 2011. Pelaksana pertemuan ini adalah lembaga Insist, inisiator pertemuan, dan FIRD (Flores Institute Resource for Development) sebagai panitia lokalnya.

Pertemuan ini juga menjadi bagian dari skema program Membangun Gerakan PRB di tiga kabupaten di Indonesia: kabupaten Sinjai, Maluku Tenggara dan Bengkulu Utara. Penanggung-jawab program adalah Insist Yogyakarta, yang memiliki lembaga jejaring di tiga kabupaten: SRP Payo-Payo Makassar, Mitra Aksi Bengkulu dan Nen Mas Il Maluku Tenggara. Ketiga lembaga ini bersama masyarakat membuat gerakan PRB di kabupaten masing-masing.

Ragam Strategi Penanganan Kebencanaan di Beberapa Daerah di Indonesia

ROMBONGAN kami dari Sinjai terlambat tiba dan tak sempat mengikuti loka-karya sesi pertama. Setelah beristirahat sejenak, lokakarya dilanjutkan dengan melihat gambaran perkembangan penanganan kebencanaan di masing-masing daerah—baik aktifitas di dalam skema program BSM-DRR maupun aktifitas yang dilakukan pemerintah daerah. Kabupaten Ende, sebagai tuan rumah, mendapat kesempatan pertama.

Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan menginisiasi pembentukan forum kebencanaan kabupaten di masing-masing wilayah program yang mampu berkoordinasi dengan BPBD. Forum ini diharapkan bisa memacu akselerasi gerakan PRB, sekaligus menjadikan PRB bagian dari kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Kenapa memilih kabupaten Ende sebagai daerah tujuan belajar? Salah satu alasan, Kabupaten Ende menjadi salah satu kabupaten yang berhasil membangun forum kebencanaan dan mampu berjalan dengan baik hingga sekarang. Harapannya, kabupaten Ende bisa membagi pengalamannya. Apa yang menjadi kesulitan, tantangan apa yang dihadapi, hingga sistem kerja yang mereka bangun.
Kabupaten Ende menjabarkan perjalanan mereka dalam membangun usaha PRB. Usaha ini dilakukan melalui Forum Kebencanaan, menyusun Ranperda Penanganan Kebencanaan Daerah, membuat Rencana Aksi dan aktifitas lain, sebagai wujud gerakan sosial. Bukan hanya di wilayah kebijakan saja, tetapi gerakan PRB di Ende ini terus melakukan penguatan di level komunitas masyarakat pedesaan.
Forum Kebencanaan di Kabupaten Ende terbentuk pada tahun 2007. Forum ini terdiri dari bermacam kelompok yang berkepentingan di dalam masalah kebencanaan, seperti dari pemerintah (BPBD Kab. Ende), kalangan legislator, LSM (FIRD), tokoh masyarakat dan lain-lain. Kurang lebih setahun kemudian, dibentuklah Panitia Khusus (Pansus) untuk mendorong pembuatan Ranperda tentang penanganan masalah kebencanaan. Pansus ini mendapat mandat dari Tim Inisiator dan membagi diri ke dalam kelompok-kelompok kerja. Masing-masing kelompok kerja bertugas menyusun perangkat proses legislasi. Kalangan legislator bertugas membuat drafting Ranperda. Ada pula kelompok kerja yang bertugas menyelesaikan Naskah Akademik, bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal. Kelompok kerja yang terakhir bertugas menyusun Rencana Aksi.

Ranperda ini mendapat banyak uji kelayakan melalui proses diskusi yang panjang. Menyempurnakannya dilakukan melalui lokakarya-lokakarya, FGD (Focus Group Discussion), studi komparatif di Sleman dan Klaten, diskusi publik, konsolidasi dan proses diskusi lainnya.
Aktifitas ini bisa terus berjalan hingga sekarang tidak lepas dari aktor/kelompok yang mendukung usaha legislasi, baik secara moril maupun finansial. Secara finansial, sumber pendanaan berasal dari tiga lembaga dalam bentuk sharing antara FIRD (Flores Instutut for Resouces Development), GTZ (Gesselsehaft fur Techische Zusammenarbeit) dan APBD. GTZ adalah lembaga asal Jerman yang datang ke Ende tahun 1992 dengan nama program Georisk. lembaga ini banyak membantu pada bagian data kebencanaan (alam) dan pendanaan di proses legislasi PRB melalui penyusunan Ranperda.

Bukan berarti gerakan yang dilakukan oleh Forum Kebencanaan di Ende ini berjalan dengan mulus. Ada beberapa hambatan yang terjadi di kelompok/lembaga/komunitas masing-masing. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu tim inisiator yang berasal dari lembaga legislatif kabupaten. Menurutnya, yang menjadi kendala dalam mendorong PRB ini ke proses legislasi adalah ketika waktu pemilihan telah dekat. Banyak agenda di dalam parlemen yang terabaikan, karena legislator harus kembali ke konstituennya agar bisa kembali menjabat di periode berikutnya. kendala yang lain adalah anggota DPRD bukanlah aktor yang memahami segala hal, PRB misalnya.

Berbeda lagi yang dihadapi kelompok eksekutif. BPBD misalnya, mengaku ada dua hal yang sering dirasakan: minimnya sumber daya (kapasitas di internal BPBD dan anggaran) dan minimnya partisipasi dari banyak pihak.

FIRD, salah satu lembaga yang terlibat dalam gerakan ini, memaparkan gambaran ancaman yang ada di kabupaten Ende, sejarah bencana yang pernah dialami masyarakat Ende. Diskusi yang dipandu Saleh Abdullah (Fasilitator dari Insist Yogyakarta) pun berkembang. Vincen Sango (29 tahun) bersemangat memaparkan pengalaman Forum Kebencanaan dalam mengadvokasi kebijakan bencana: dinamika hubungan LSM, Pemerintah dan Parlemen yang begitu harmonis dalam menggodok kebijakan kebencanaan di tingkatan kabupaten.

Implikasi dari hambatan ini beragam. Pada proses legislasi, dari hambatan di atas, Ranperda yang masuk ke meja DPRD sampai lokakarya ini dilaksanakan masih belum bisa disahkan menjadi Perda. Padahal, Ranperda ini tinggal menunggu bubuhan tanda tangan dan ketuk palu, kemudian dijadikan acuan dalam usaha Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Ende.

Seusai presentase dari rombongan Kabupaten Ende, giliran rombongan Maluku Tenggara yang didampingi Nen mas Il—LSM lokal yang cukup progresif dalam mendorong pengarusutamaan PRB di gugusan kepulauan Tual. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh pelaksana Lokakarya, tamu undangan terdiri dari unsur pemerintah, legislatif komunitas dan LSM lokal (Jejaring Insist di empat wilayah program).

Perwakilan legislatif mulai membuka presentasi rombongan Maluku Tenggara, menjelaskan urutan sejarah pemerintahan di tempatnya. Tidak hanya itu, digambarkan pula situasi politik, sosial dan budaya masyarakat yang ada. Sasi yang menjadi ciri khas Maluku tenggara menjadi menarik untuk disimak. Bagaimana tradisi itu digunakan di masa lalu dan bagaimana pergeseran yang terjadi pada konteks kekinian.

Kesempatan berikutnya, unsur pemerintah diwakili oleh BPBD kabupaten Maluku Tenggara. BPBD menjelaskan jenis ancaman bencana yang ada di tempatnya. Ternyata, ada hal yang menarik dari jenis ancaman ini, yakni ancaman yang sifatnya bukan gejala alam, yaitu mengenai konflik sosial dan ancaman penyakit HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena Maluku Tenggara merupakan pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal domestik dan internasional. Banyak percampuran budaya yang terjadi, sehingga peluang perselisihan dengan masyarakat lokal semakin besar. Belum lagi dengan adanya penyebaran virus HIV terjadi dengan cepat.

Jika membandingkannya dengan kabupaten Ende, di Maluku Tenggara, penanganan masalah kebencanaan masih pada tahap memulai membangun gerakan. Apalagi mengingat umur BPBD yang relatif muda—sekitar sembilan bulan— juga ‘muda’ dalam menghasilkan sebuah rancangan kebijakan daerah yang khusus mengatur penanganan masalah kebencanaan di wilayahnya.

Meski begitu, Nen Mas Il terus membangun gerakan pengarusutamaan PRB melalui desa-desa dampingannya. LSM lokal ini, bersama masyarakat desa, telah melakukan dua kali assessment untuk melihat kebutuhan desa dan melihat potensi apa yang memiliki peluang untuk bisa dikembangkan.

Kesempatan berikutnya adalah rombongan undangan dari Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Rombongan ini tidak disertai unsur legislatif karena berhalangan hadir. Tetapi tidak mengurangi semangat rombongan ini untuk menceritakan perkembangan gerakan PRB di daerahnya. Rombongan ini didampingi Mitra Aksi, LSM lokalnya.

Sejak tahun 2007, Mitra aksi, melalui Nurcholis Sastro (36 tahun) sebagai fasilitator lapangan, telah melakukan berbagai kegiatan bersama masyarakat dalam usahanya melakukan gerakan PRB di Bengkulu Utara dan bengkulu Tengah. Melakukan bermacam pelatihan, membuat peta wilayah rentan bencana hingga menyusun kurikulum pendidikan bencana. Semua dilakukan bersama masyarakat. Jenis ancaman yang ada di kedua wilayah ini adalah ancaman gempa dan abrasi pantai. Abrasi ini bahkan terus menggerus daratan, sehingga mengancam akan melenyapkan desa.
Oleh karena begitu tingginya intensitas ancaman, menjadikan BPBD di dua tempat ini mengalami percepatan kesiagaan. Membenahi BPBD secara kelembagaan, bahkan pemerintah setempat telah memiliki Perda untuk tata kelola organisasi baru ini dengan lima bidang di dalamnya.

Hanya saja, masalah yang terjadi adalah mutasi staf  yang dilakukan oleh pemerintah. Mutasi ini mengakibatkan sulitnya menjadikan BPBD secara kelembagaan bisa dinamis dalam menjalankan tugas-tugasnya. Misalnya, untuk Kepala Badan saja, sudah tiga kali mutasi yang terjadi, sehingga sulit melakukan koordinasi. Sementara, Kepala Badan merupakan salah satu bagian penting untuk menggerakkan lembaga ini.

Di sinilah Mitra Aksi melakukan terobosan yang sangat baik. Terus menjalin hubungan baik dengan BPBD, melakukan kegiatan bersama serta mengkoordinasikan gerakan PRB yang tengah dilakukan bersama masyarakat di desa-desa dampingannya.

Catatan dari Sinjai: Masih Perlu Pembenahan dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana

ROMBONGAN dari Sinjai mendapat giliran presentase setelah istirahat dan makan malam. Sabir (47 tahun), perwakilan DPRD Kabupaten Sinjai menjadi pembuka presentasi. Ia menguraikan dinamika politik di lembaganya, juga relasi lembaga legislatif kabupaten dengan eksekutifnya, sampai bagaimana fakta yang terjadi dalam proses pembuatan Ranperda di Kabupaten Sinjai. Hal ini dilakukan untuk melihat seperti apa peluang melakukan gerakan sosial dalam usaha mengurangi risiko bencana di tingkatan kabupaten.

Presentasi dilanjutkan tentang bagaimana kebijakan itu dilakukan. Lukman (32 tahun) dari BPBD kabupaten Sinjai menceritakan pengalaman BPBD dalam usaha mensinergikan aturan hukum (ideal) dengan tindakan yang perlu dilakukan, merumuskan perencanaan lembaganya beserta hambatan dan masalah yang dihadapi dalam kurun sembilan bulan terakhir sejak berdirinya BPBD Kabupaten Sinjai. Lukman mengakui bahwa masih banyak yang perlu dibenahi di internal lembaga BPBD di usia mudanya. Apalagi dengan tanggung jawab besar yang diemban oleh lembaga ini.

Ansar (41 tahun), Kepala Desa Kompang dan Asikin Pella, Ketua Kelompok Tani Sipakatau merupakan dua aktor penting dalam usaha PRB di desa mereka. Sejak tahun 2007, dua orang inilah yang berperan aktif bersama SRP Payo-Payo melakukan penguatan kapasitas masyarakat di desa Kompang agar siap menghadapi ancaman yang ada di desa tersebut. Ansar dan Asikin menganggap usaha PRB ini merupakan sesuatu yang penting, apalagi jika melihat pengalaman 2006 silam, di mana begitu banyak korban jiwa saat longsor menghantam sebagian besar pemukiman warga.

Imran, fasilitator lapangan SRP Payo-Payo, kesekian kalinya menegaskan, masih sulit menentukan isu apa yang akan digunakan untuk mempertemukan orang-orang di Kabupaten Sinjai. Apalagi dengan melihat intensitas ancaman yang relatif rendah di wilayah ini. Isu kebencanaan belum cukup mampu mempertemukan unsur-unsur masyarakat Sinjai untuk membicarakan masalah kebencanaan di wilayahnya. Apalagi untuk membentuk sebuah forum dengan pertemuan rutin yang direncanakan.

Sebagai alternatif, SRP Payo-Payo menggerakkan PRB di Sinjai ini melalui isu pendidikan. Menjadikan Pendidikan Bencana dan sekolah sebagai wadah bersama masyarakat di lingkungan sekolah untuk membicarakan masalah kebencanaan.

Sudah ada lima sekolah yang menjadi uji coba pendidikan bencana di Kabupaten Sinjai. Diharapkan, dari penerapan pendidikan bencana di lima sekolah ini bisa menjadi langkah awal bagi sekolah lain yang berada di wilayah rentan terhadap ancaman bencana agar bisa melakukan hal yang sama. Walaupun kelima sekolah sama-sama memulai pendidikan bencana ini, dalam perkembangannya tidaklah sama. Ada sekolah yang mengalami perkembangan yang cepat, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini disebabkan masing-masing sekolah memiliki masalah dan tantangan masing-masing. Mulai dari persoalan birokrasi, molornya penyusunan silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), sekolah yang masih memprioritaskan mata pelajaran tertentu, sulitnya mendapatkan bahan ajar, sampai masih lemahnya komitmen di guru pelaksana pendidikan bencana. Semua itu menjadi catatan penting untuk melihat apa yang menjadi hambatan dari pelaksanaan pendidikan bencana ini sebelum didorong menjadi sebuah kebijakan pendidikan di kabupaten Sinjai.

Berbagi Pengalaman, Saling Menjawab Kebingungan

PADA sesi review (ulas balik) hari kedua, 20 Oktober, masing-masing wilayah memaparkan poi-poin penting yang dianggap perlu dibahas. Fasilitator, Mahmudi, mengajukan tiga pertanyaan untuk dijawab dalam diskusi kelompok. Pertama, hal-hal strategis apa yang perlu dilakukan untuk mengarusutamakan PRB?; kedua, hal-hal strategis apa yang perlu dilakukan untuk pembentukan forum PRB?; dan ketiga, apa rekomendasi-rekomendasi yang ingin diajukan untuk pertemuan empat kabupaten ini?

Dalam sesi ini, ada beberapa hal menarik. Pertama, mengenai pembentukan Tim Pengarah di BPBD. Ini dinilai oleh Roem Topatimasang sebagai langkah maju di dua kabupaten yang mengusulkan, yakni di kabupaten Ende dan Bengkulu. Mengacu pada peraturan perundang-undangan, Tim Pengarah ini melingkupi unsur pemerintah, masyarakat profesional dan ahli kebencanaan. Tim ini harus melalui seleksi yang dilakukan oleh legislatif, dalam hal ini adalah DPRD di tingkat Kabupaten. Lebih lanjut, Roem memaparkan, ada dua masalah yang kerap dihadapi dalam proses seleksi Tim Pengarah, yakni penentuan standar seleksi dan mengatur suhu politik di internal legislatif.

Hal menarik kedua adalah pengalaman Mahmudi memfasilitasi pertemuan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan AFDR untuk memilah program-program penanganan masalah kebencanaan di Indonesia. Memilah program mana yang perlu dimaksimalkan dan mana yang sekiranya bisa dibuang karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Lebih lanjut Mahmudi menceritakan, sebagian besar program berbentuk fisik (rehabilitasi dan rekonstruksi) yang berorientasi pada saat dan setelah bencana. Akibatnya, pendanaan lebih besar kepada program fisik daripada pungutan kapasitas sumberdaya manusia. Sementara, dalam skema PRB, ada tiga siklus yang perlu diperhatikan: sebelum, saat dan setelah bencana itu hadir.

Di akhir sesi, yang paling banyak menyita perhatian adalah persoalan pendanaan. Beberapa kabupaten mengalami kesulitan dalam mengakses sumber dana untuk kerja-kerja mereka, terutama di BPBD. Mereka mengusulkan Insist bisa membantu proses advokasi pendanaan. Ini segera ditepis oleh Insist. Melalui Roem, Insist menjelaskan peran apa yang bisa diambil, mengingat dalam UU 24 tahun 2007, tidak ada sama  sekali celah bagi lembaga di luar pemerintahan untuk mengakses dana kebencanaan. Insist akan membantu pada wilayah lain. Misalnya, pada menghubungkan empat kabupaten ini ke jejaring lain untuk mengemas, kemudian memperluas gerakan PRB di Indonesia.

Roem menjelaskan seperti apa masalah pendanaan ini bermula. Pasca terjadinya dua bencana besar—tsunami di Aceh dan gempa di Yogya—dianggap perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan khusus masalah kebencanaan. Maka lahirlah UU Nomor 24 tahun 2007 dengan lembaga BNPB sebagai pusat komando penanganan masalah kebencanaan nasional. Dalam proses ini, terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah daerah meminta untuk dilakukan desentralisasi kewenangan ke pemerintah daerah. Maka, dibentuklah BPBD di tingkatan provinsi dan kabupaten/kota.

Implikasi dari desentralisasi kewenangan adalah pusat meminta pemerintah daerah juga bisa mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk lembaga baru ini. untuk biaya program, dana APBN akan disalurkan melalui BNPB dan untuk ongkos kesekretariatan akan dilimpahkan ke pemerintah daerah.

Fasilitator mengajak seluruh peserta untuk melakukan inventarisasi kelengkapan usaha PRB. Mulai dari kelembagaan, kelengkapan tanggap darurat, dokumen kebijakan dan lain-lain. Memberi warna merah untuk bagian yang belum ada, warna kuning untuk menunjukkan proses menuju ada dan warna hijau untuk menunjukkan sudah ada. Setelah dipaparkan hasilnya, masih banyak kolom warna merah, symbol ‘ketidak-sempurnaan’.

Menyusun Strategi Memperbaiki ‘Raport Merah’

HARI terakhir pertemuan, 21 Oktober 2011, diisi dengan presentasi masing-masing kabupaten tentang rencana tindak lanjut yang disusun. Namun rombongan dari Maluku Tenggara tidak bisa mengikuti sesi akhir lokakarya. Mereka harus segera meninggalkan Ende, karena penerbangan yang terbatas. Namun, secara konsep, rencana tindak lanjut mereka telah diselesaikan.

Dalam presentasi tersebut, ada catatan-catatan penting. Di antaranya adalah mengenai RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) kabupaten yang sebagian besar belum mencerminkan usaha PRB. Di sini Insist membagi pengalaman dengan peserta mengenai penyusunan RTRW kabupaten di Bali selama dua tahun. RTRW ini dianggap sangat penting, karena dari sinilah biasa dimulai banyak masalah. Mulai dari sengketa tanah khalayak, pembatasan wilayah eksplorasi, penetapan wilayah konservasi dan lain-lain.

Yang banyak terjadi, menurut Roem, RTRW  ini disusun oleh beberapa orang yang dianggap ahli, tetapi sebenarnya tidak mengetahui konteks sosial-budaya masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan banyak permasalahan di daerah. Beda ketika RTRW itu disusun dari komunitas di masyarakat. Model seperti ini lebih bisa mengurangi perselisihan kepentingan di dalam masyarakat. Yang terpenting sebenarnya, bagaimana isi dari RTRW itu memuat usaha-usaha pengurangan risiko bencana.

Selain rencana tindak lanjut, hari terakhir lokakarya juga membahas rencana lanjutan untuk mengevaluasi pertemuan Ende ini. Setelah merembukkannya, peserta sepakat kabupaten Sinjai menjadi tuan rumah untuk lokakarya berikutnya, di bulan Maret 2012.
Lokakarya berakhir. Masing-masing wilayah membawa pulang rencana tindak lanjut. Mereka harus mulai memperbaiki penanganan masalah kebencanaan dengan melibatkan lebih banyak pihak dan kerjasama yang multisektoral.

Saat proses profiling, warna merah mendominasi masalah-masalah penanganan kebencanaan di masing-masing wilayah. Mahmudi mengistilahkannya sebagai ‘Raport Merah’. Tugas beratnya adalah, bagaimana memperbaiki ‘raport merah’ ini. Mengubahnya menjadi warna hijau. Berusaha membuat gerakan PRB berjalan tanpa hambatan.[]     

0 komentar:

Posting Komentar