MASA kanak-kanak, masa yang senantiasa menggambarkan
‘keceriaan’, ‘kebebasan’, ‘kesenangan’ juga ‘kenakalan’. Sebuah ruang yang
pasti akan berlalu kemudian datang untuk dirindukan kembali.
Seperti menapakkan kaki
di ‘tanah tidak bertuan’[1],
menurut Ria (25 tahun). Masa tanpa rasa
berdosa, menghabiskannya dengan terus bermain, tertawa terbahak-bahak, dunia
yang melewati batasan nilai-nilai moral orang dewasa. Tidak ada jatuh cinta,
ataupun patah asa. Permusuhan, hanya cukup untuk sesaat. Setelahnya, semua
kembali normal seperti tidak pernah terjadi permusuhan sebelumnya. Tanpa ada
sepatah maaf yang wajib diucap.
Namun
ada pula beberapa cerita yang menggambarkan dunia anak-anak yang kurang
menarik. Kisah ‘si bawang putih’ misalnya. Bawang Putih keseharian masa
kecilnya harus habis dengan tangisan dan kerja keras untuk melayani keluarga
tirinya. Agar nampak lebih dramatis, si pembuat cerita membuat tokoh ibu yang
tidak adil dan saudara yang haus keistimewaan. Jadilah si Bawang Putih yang
menjalani hidup penuh kesengsaraan. Dipenuhi tanggung jawab dan beban kerja
rumah tangga tidak berimbang. Mendapat perlakuan tidak adil, hingga tidak
satupun anak-anak yang ingin menjadi Bawang Putih saat mendengar cerita ini.
Tapi
kedua cerita ini bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Lagipula, tulisan
ini tidak sedang membandingkan ataupun menghubung-hubungkan pesan satu dengan
pesan lainnya di kedua cerita. Kedua cerita hanya untuk menunjukkan sedikit
dari sekian banyak gambaran masa kecil pembaca yang beragam.
Agar
bisa lebih dekat lagi dengan kehidupan masa kanak-kanak yang ‘nyata’, ada
baiknya untuk mengambil satu konteks kelompok. Misalnya, masyarakat pasar.
Untuk menyamakan jumlah cerita, maka akan diangkat pula dua cerita anak pasar
lokal, namun dari generasi yang berbeda.
***
CICI, itu nama yang kerap dipanggilkan oleh ibunya. Saat
ini Cici sedang mengejar cita-citanya di SMP Abdi Pembangunan. Tahun ajaran
2011/2012 ini, dia akan naik tingkatan kelas. Tahun keduanya berseragam putih
biru.
Cici
memiliki dua orang adik, Ical, kelas 4 SD dan Farel yang masih berumur empat
tahun. Di sela liburnya, Cici akan menghabiskan waktunya untuk bermain bersama
kedua adiknya di rumahnya yang terletak di tengah-tengah pasar Terong. Selain
kedua adiknya, teman bermain lainnya adalah Lulu (kelas 3 SMP) dan Bila (kelas
2 SMP). Dua temannya inilah yang paling sering menemaninya, terutama
sepulangnya dari sekolah. Waktu bermainnya dia gunakan jika Cici telah lepas
dari tugas membantu orang tuanya berjualan.
Orang
tua Cici memiliki lapak tepat di sisi kanan gedung utama pasar, tepatnya di
sektor Tangga Selatan. Sebuah lapak yang diapit oleh gedung dan blok ruko yang
belum pernah selesai sejak dibangunnya pada tahun 1994 silam—kini ruko ini juga
menjadi tempat tinggal Cici bersama keluarganya. Lapak berukuran 2,5x3 meter
ini berisi potongan ubi jalar yang siap dijual. Ada dua jenis jualan ubi yang
dijual, ubi yang masih mentah dan yang sudah digoreng. Biasanya ubi ini menjadi
campuran menu nasi kuning. Jadi ubi sebelumnya dikupas, kemudian diiris kecil
dengan pemarut. Ubi yang sudah digoreng akan dikemas ke dalam pelastik ukuran ½
sampai 1 kilogram dengan harga kisaran ... rupiah. Sedangkan ubi yang masih
mentah harganya berkisar ... ribu rupiah perkilogramnya.
Biasanya,
sepulang sekolah Cici akan melanjutkannya dengan berjualan. Jika ada waktu
senggang, dua temannya, Lulu dan Bila—yang juga membantu orang tuanya
berjualan—akan menemaninya untuk bermain.
Sejak lahir, Cici tinggal bersama ibunya di
tengah-tengah lingkungan pasar Terong yang ramai dengan aktifitas jual beli. Di
pasar itulah Cici bermain, berjualan, bergaul, mendapat informasi hingga
memiliki pengetahuan berdagangnya. Walaupun sudah sejak lama menemani orang
tuanya berjualan, namun Cici mengaku baru saat umur 10 tahun dia dipercaya
untuk melayani pembeli secara mandiri.
Sejak
kelas 6 SD, Cici telah mengenal internet dan memiliki account di jaringan sosial facebook. Jadi dalam dua hari, biasanya
dia menyempatkan untuk memeriksa laporan masuknya. Dia menyiapkan waktu sekitar
dua jam untuk menyelesaikan semua urusannya di dunia maya dengan biaya 5 ribu
rupiah.
Untuk urusan sekolah,
misalnya mengerjakan pekerjaan rumah (PR) secara berkelompok, Cici biasanya
akan mengunjungi teman-teman sekolahnya. Selama ini, teman sekolah yang masuk
dalam kelompoknya juga tinggal di lingkungan pasar (Karuwisi).
Pada masa tanam
padi—Februari dan April—biasanya Cici hanya tinggal bersama ibu dan kedua
adiknya. Ayah Cici pada masa tanam ini memilih untuk berada di sawahnya di luar
kota. Barulah setelah musim tanam selesai, ayahnya kembali tinggal bersama
Cici.
***
MARYANI, anak ke dua dari pasangan pedagang pasar
Terong, Nursiah (41tahun) dan Abdul Majid (44 tahun). Sejak kecil, Maryani
dididik sangat keras oleh pasar Terong dan ibunya.
Maryani menceritakan
masa kecilnya saat membantu ibunya untuk berjualan kopi di jalan Bayam. Jalan
yang sedikit becek saat hujan bercampur potongan-potongan sayur busuk yang
memadat karena terinjak. Air got yang berwarna hitam dengan bau amis tempat
pembuangan air sisa pedagang ikan yang ada di sekitarnya. Maryani
tergopoh-gopoh menenteng enam termos sekaligus di kedua tangannya yang masih
mungil. Di sepanjang jalan masuk menuju warung berbentuk lapak milik ibunya,
bayangan tenda warna-warni bergantian melewati wajahnya.
Setiap hari, Maryani
memaksakan tubuhnya untuk beranjak dari istirahat sejak pagi buta. Menggoreng
pisang, meniriskan minyak sisa gorengan kemudian memasukkannya ke dalam ember
besar dengan garis tengah 45 centimeter untuk di bawa ke pasar. Tidak lupa
rebusan air panas dalam termos untuk menyeduh kopi dan teh. Pada hari tertentu,
menu sara’ba turut masuk dalam daftar
jualan keluarga ini.
Bukan hanya membantu
ibunya untuk menyiapkan dagangan, Maryani juga harus menyiapkan dirinya untuk
langsung berangkat ke sekolah setelah menata dagangan di pasar. Sepulang
sekolah, Maryani akan menggantikan tuugas ibunya untuk melayani pelanggan setia
lapak kopi.
Karena padatnya
aktifitas Maryani—sekolah dan membantu berjualan di lapak kopi—tidak jarang dia
terlambat pulang dari sekolah. Keterlambatannya bisa karena keperluan tugas,
juga karena Maryani yang tidak bisa menahan keinginanknya untuk bisa mendapat
waktu lebih untuk bermain bersama teman sebayanya sepulang dari sekolah.
Keterlambatan ini harus dibayar dengan sikap keras ibunya. Terkadang dalam
bentuk verbal, terkadang pula betis yang dia gunakan untuk bermain harus
menerima pukulan keras hingga dia menangis.
Tapi tidak semua yang
Maryani dapatkan dari sikap keras ibunya berdampak buruk untuknya, karena dari
sikap keras tersebutlah dia kini menjadi pekerja keras yang ulet, seulet
Nursiah, kata teman-temannya. Maryani yang kini memiliki empat orang anak—seorang
lagi insyaAllah lahir dalam waktu dekat—anak tertua sekarang duduk di kelas III
SMP.
Jika Nursiah sangat
populer di pasar Terong, Maryani tidak mau kalah. Dia sangat populer di pasar
Malam.[2]
Maryani biasanya memiliki lapak yang cukup luas jika dibanding lapak pedagang
lain yang ada di pasar Malam. Dia menawarkan aneka pakaian seperti kaos oblong,
pakaian perempuan, jeans dan lainnya. Ternyata, bukan hanya Maryani saja yang
aktif di pasar Malam, tetapi Nursiah juga. Hanya saja, lapak milik Nursiah
tidak sebesar lapak milik anaknya. Hanya ukuran 2x3 meter saja. Berbeda dengan
lapak milik Maryani, bisa mencapai tiga kali lipatnya.
[1] Never
land, sebuah tempat dalam cerita film ‘Peterpan’ di mana semua orang akan
menjadi anak-anak selamanya.
[2] Pasar
yang dibuka saat malam dan berpindah-pindah lokasi. Misalnya malam ini di
lapangan Manuruki, pekan depan di lapangan Tamalate. Biasanya pasar malam tidak
hanya terdapat pedagang saja, tetapi juga ada beberapa wahana permainan
sederhana yang disewakan untuk anak-anak, misalnya bianglala,komedi putar dan lain-lain.



0 komentar:
Posting Komentar