Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 13 Agustus 2012

Belajar Dari Anak


MASA kanak-kanak, masa yang senantiasa menggambarkan ‘keceriaan’, ‘kebebasan’, ‘kesenangan’ juga ‘kenakalan’. Sebuah ruang yang pasti akan berlalu kemudian datang untuk dirindukan kembali.

Seperti menapakkan kaki di ‘tanah tidak bertuan’[1], menurut  Ria (25 tahun). Masa tanpa rasa berdosa, menghabiskannya dengan terus bermain, tertawa terbahak-bahak, dunia yang melewati batasan nilai-nilai moral orang dewasa. Tidak ada jatuh cinta, ataupun patah asa. Permusuhan, hanya cukup untuk sesaat. Setelahnya, semua kembali normal seperti tidak pernah terjadi permusuhan sebelumnya. Tanpa ada sepatah maaf yang wajib diucap.

            Namun ada pula beberapa cerita yang menggambarkan dunia anak-anak yang kurang menarik. Kisah ‘si bawang putih’ misalnya. Bawang Putih keseharian masa kecilnya harus habis dengan tangisan dan kerja keras untuk melayani keluarga tirinya. Agar nampak lebih dramatis, si pembuat cerita membuat tokoh ibu yang tidak adil dan saudara yang haus keistimewaan. Jadilah si Bawang Putih yang menjalani hidup penuh kesengsaraan. Dipenuhi tanggung jawab dan beban kerja rumah tangga tidak berimbang. Mendapat perlakuan tidak adil, hingga tidak satupun anak-anak yang ingin menjadi Bawang Putih saat mendengar cerita ini.

            Tapi kedua cerita ini bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Lagipula, tulisan ini tidak sedang membandingkan ataupun menghubung-hubungkan pesan satu dengan pesan lainnya di kedua cerita. Kedua cerita hanya untuk menunjukkan sedikit dari sekian banyak gambaran masa kecil pembaca yang beragam.

            Agar bisa lebih dekat lagi dengan kehidupan masa kanak-kanak yang ‘nyata’, ada baiknya untuk mengambil satu konteks kelompok. Misalnya, masyarakat pasar. Untuk menyamakan jumlah cerita, maka akan diangkat pula dua cerita anak pasar lokal, namun dari generasi yang berbeda.

***

CICI, itu nama yang kerap dipanggilkan oleh ibunya. Saat ini Cici sedang mengejar cita-citanya di SMP Abdi Pembangunan. Tahun ajaran 2011/2012 ini, dia akan naik tingkatan kelas. Tahun keduanya berseragam putih biru.

            Cici memiliki dua orang adik, Ical, kelas 4 SD dan Farel yang masih berumur empat tahun. Di sela liburnya, Cici akan menghabiskan waktunya untuk bermain bersama kedua adiknya di rumahnya yang terletak di tengah-tengah pasar Terong. Selain kedua adiknya, teman bermain lainnya adalah Lulu (kelas 3 SMP) dan Bila (kelas 2 SMP). Dua temannya inilah yang paling sering menemaninya, terutama sepulangnya dari sekolah. Waktu bermainnya dia gunakan jika Cici telah lepas dari tugas membantu orang tuanya berjualan.

            Orang tua Cici memiliki lapak tepat di sisi kanan gedung utama pasar, tepatnya di sektor Tangga Selatan. Sebuah lapak yang diapit oleh gedung dan blok ruko yang belum pernah selesai sejak dibangunnya pada tahun 1994 silam—kini ruko ini juga menjadi tempat tinggal Cici bersama keluarganya. Lapak berukuran 2,5x3 meter ini berisi potongan ubi jalar yang siap dijual. Ada dua jenis jualan ubi yang dijual, ubi yang masih mentah dan yang sudah digoreng. Biasanya ubi ini menjadi campuran menu nasi kuning. Jadi ubi sebelumnya dikupas, kemudian diiris kecil dengan pemarut. Ubi yang sudah digoreng akan dikemas ke dalam pelastik ukuran ½ sampai 1 kilogram dengan harga kisaran ... rupiah. Sedangkan ubi yang masih mentah harganya berkisar ... ribu rupiah perkilogramnya.

            Biasanya, sepulang sekolah Cici akan melanjutkannya dengan berjualan. Jika ada waktu senggang, dua temannya, Lulu dan Bila—yang juga membantu orang tuanya berjualan—akan menemaninya untuk bermain.

             Sejak lahir, Cici tinggal bersama ibunya di tengah-tengah lingkungan pasar Terong yang ramai dengan aktifitas jual beli. Di pasar itulah Cici bermain, berjualan, bergaul, mendapat informasi hingga memiliki pengetahuan berdagangnya. Walaupun sudah sejak lama menemani orang tuanya berjualan, namun Cici mengaku baru saat umur 10 tahun dia dipercaya untuk melayani pembeli secara mandiri.

            Sejak kelas 6 SD, Cici telah mengenal internet dan memiliki account di jaringan sosial facebook. Jadi dalam dua hari, biasanya dia menyempatkan untuk memeriksa laporan masuknya. Dia menyiapkan waktu sekitar dua jam untuk menyelesaikan semua urusannya di dunia maya dengan biaya 5 ribu rupiah.

Untuk urusan sekolah, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah (PR) secara berkelompok, Cici biasanya akan mengunjungi teman-teman sekolahnya. Selama ini, teman sekolah yang masuk dalam kelompoknya juga tinggal di lingkungan pasar (Karuwisi).

Pada masa tanam padi—Februari dan April—biasanya Cici hanya tinggal bersama ibu dan kedua adiknya. Ayah Cici pada masa tanam ini memilih untuk berada di sawahnya di luar kota. Barulah setelah musim tanam selesai, ayahnya kembali tinggal bersama Cici.

***

MARYANI, anak ke dua dari pasangan pedagang pasar Terong, Nursiah (41tahun) dan Abdul Majid (44 tahun). Sejak kecil, Maryani dididik sangat keras oleh pasar Terong dan ibunya.

Maryani menceritakan masa kecilnya saat membantu ibunya untuk berjualan kopi di jalan Bayam. Jalan yang sedikit becek saat hujan bercampur potongan-potongan sayur busuk yang memadat karena terinjak. Air got yang berwarna hitam dengan bau amis tempat pembuangan air sisa pedagang ikan yang ada di sekitarnya. Maryani tergopoh-gopoh menenteng enam termos sekaligus di kedua tangannya yang masih mungil. Di sepanjang jalan masuk menuju warung berbentuk lapak milik ibunya, bayangan tenda warna-warni bergantian melewati wajahnya.

Setiap hari, Maryani memaksakan tubuhnya untuk beranjak dari istirahat sejak pagi buta. Menggoreng pisang, meniriskan minyak sisa gorengan kemudian memasukkannya ke dalam ember besar dengan garis tengah 45 centimeter untuk di bawa ke pasar. Tidak lupa rebusan air panas dalam termos untuk menyeduh kopi dan teh. Pada hari tertentu, menu sara’ba turut masuk dalam daftar jualan keluarga ini.

Bukan hanya membantu ibunya untuk menyiapkan dagangan, Maryani juga harus menyiapkan dirinya untuk langsung berangkat ke sekolah setelah menata dagangan di pasar. Sepulang sekolah, Maryani akan menggantikan tuugas ibunya untuk melayani pelanggan setia lapak kopi.

Karena padatnya aktifitas Maryani—sekolah dan membantu berjualan di lapak kopi—tidak jarang dia terlambat pulang dari sekolah. Keterlambatannya bisa karena keperluan tugas, juga karena Maryani yang tidak bisa menahan keinginanknya untuk bisa mendapat waktu lebih untuk bermain bersama teman sebayanya sepulang dari sekolah. Keterlambatan ini harus dibayar dengan sikap keras ibunya. Terkadang dalam bentuk verbal, terkadang pula betis yang dia gunakan untuk bermain harus menerima pukulan keras hingga dia menangis.

Tapi tidak semua yang Maryani dapatkan dari sikap keras ibunya berdampak buruk untuknya, karena dari sikap keras tersebutlah dia kini menjadi pekerja keras yang ulet, seulet Nursiah, kata teman-temannya. Maryani yang kini memiliki empat orang anak—seorang lagi insyaAllah lahir dalam waktu dekat—anak tertua sekarang duduk di kelas III SMP.

Jika Nursiah sangat populer di pasar Terong, Maryani tidak mau kalah. Dia sangat populer di pasar Malam.[2] Maryani biasanya memiliki lapak yang cukup luas jika dibanding lapak pedagang lain yang ada di pasar Malam. Dia menawarkan aneka pakaian seperti kaos oblong, pakaian perempuan, jeans dan lainnya. Ternyata, bukan hanya Maryani saja yang aktif di pasar Malam, tetapi Nursiah juga. Hanya saja, lapak milik Nursiah tidak sebesar lapak milik anaknya. Hanya ukuran 2x3 meter saja. Berbeda dengan lapak milik Maryani, bisa mencapai tiga kali lipatnya.



[1] Never land, sebuah tempat dalam cerita film ‘Peterpan’ di mana semua orang akan menjadi anak-anak selamanya.
[2] Pasar yang dibuka saat malam dan berpindah-pindah lokasi. Misalnya malam ini di lapangan Manuruki, pekan depan di lapangan Tamalate. Biasanya pasar malam tidak hanya terdapat pedagang saja, tetapi juga ada beberapa wahana permainan sederhana yang disewakan untuk anak-anak, misalnya bianglala,komedi putar dan lain-lain. 

0 komentar:

Posting Komentar