Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 18 Januari 2012

PRB Sebagai Sebuah Konsep Sekaligus Tindakan Sehari-Hari



BENCANA sepertinya telah menjadi akrab di telinga sebagian besar orang. Apalagi setelah dua kejadian besar yang pernah terjadi—Tsunami di Aceh tahun 2004 dan Gempa Bumi di Yogyakarta tahun 2006 silam—bencana kerap hadir sebagai sajian media. Memberitakan kerusakan yang diakibatkan serta memakan banyak korban jiwa. Dua kejadian ini pula yang mendesak pemerintah Indonesi segera mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Bencana Nasional dan membentuk sebuah badan khusus bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai pusat komandonya.

Meskipun telah banyak yang mengetahui apa itu bencana, tetapi tidak banyak yang benar-benar memahami akar masalah dari fenomena bencana. Bencana masih dipandang secara parsial, yakni masih melihatnya pada salah satu siklus bencana saja—pada saat bencana. Tidak memahami fenomena kebencanaan secara keseluruhan siklusnya—sebelum, saat dan sesudah terjadinya bencana. Hal ini memperlihatkan gambaran penanganan bencana yang masih menitik beratkan pada aspek tanggap darurat saja. Belum banyak menyentuh siklus kebencanaan lainnya, seperti sebelum terjadinya bencana (usaha mengurangi risiko bencana) dan setelah terjadinya bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

Jika tindakan merupakan cerminan dari apa yang dipahami, maka penanganan kebencanaan yang ada saat ini merupakan wujud pemahaman terhadap bencana. Jika tindakan untuk menyelesaikan permasalahan kebencanaan masih menitik beratkan pada salah satu siklus bencana saja, maka dapat diasumsikan bahwa pemahaman atas fenomena kebencanaan yang ada saat ini, masih perlu dikoreksi.

Masalah kebencanaan bukan hanya sekedar melihat fenomena perubahan alam dan dampak yang dihadirkan, tetapi juga melihat akar masalah yang semakin kompleks di masyarakat. Perubahan alam yang berwujud ancaman bencana, tidak lepas dari perubahan ekologi yang terjadi. Perubahan ekologi ini bisa disebabkan karena perubahan sistem pertanian, pergeseran pola tanam, pemenuhan kebutuhan pangan, perubahan demografi, terkikisnya solidaritas sosial, ketidakmampuan menentukan ruang-ruang ekologi (ruang pemukiman, ruang pertanian, ruang konservasi hutan) dan kondisi masyarakat yang rentan.

Apa itu kerentanan? Mengapa ada kelompok masyarakat yang rentan dan ada yang tidak? Kerentanan biasanya diakibatkan minimnya pengetahuan mengenai ancaman di lingkungannya, belum memiliki perangkat untuk bisa mengurangi risiko bencana. Hal ini terjadi karena masih sulitnya akses informasi kebencanaan, sehingga tidak semua kelompok masyarakat bisa mendapat informasi yang memadai.

Hal lain yang menjadi persoalan adalah, penanganan masalah kebencanaan masih dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah semata. Padahal, masalah bencana menyangkut keselamatan hidup manusia dan menjadi tanggung jawab semua orang untuk bisa melakukannya. Peran aktifnya masyarakat bukan berarti ingin melepaskan tanggung jawab negara begitu saja atau ingin mengurangi kewenangan pemerintah. Tetapi, sebuah usaha untuk mejadikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai sebuah gerakan sosial. Atau, berusaha menjadikan PRB—baik secara konsep maupun tindakan—sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Mengapa menjadi sangat penting untuk membicarakan masalah kebencanaan? Seberapa mendesakkah masyarakat untuk memahami fenomena kebencanaan dan mengetahui masalah-masalah yang menyertainya? Mari kita simak alasan-alasannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada.

Mereka yang Hidup di Tengah-Tengah Ancaman Bencana

PENGURANGAN Risiko Bencana atau Disaster Risk Reduction (DRR) merupakan salah satu konsep yang banyak digunakan untuk melihat fenomena kebencanaan secara menyeluruh. Sebuah usaha yang dilakukan manusia untuk mengurangi risiko dari hazard atau ancaman yang ada di lingkungan, tempat manusia hidup.

Dalam konteks kabupaten Sinjai, sebagian wilayahnya berupa pegunungan batuan muda dengan sudut kemiringan tanah antara 20 hingga 40 derajat, serta curah hujan yang cukup tinggi. Setiap tahunnya, wilayah Sinjai mengalami musim penghujan antara bulan November hingga Februari. Kondisi inilah yang membuat sebagian besar wilayah Sinjai, seperti kecamatan Sinjai Tengah, Sinjai Barat dan Sinjai Borong menjadi langganan longsor.

Sementara, wilayah di bawahnya—Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Selatan—menjadi ‘bak penampungan’ air yang turun deras dari wilayah perbukitan dan menyebabkan banjir. Pada kasus bencana tahun 2006 silam, korban jiwa sebagian besar diakibatkan oleh banjir bandang. Banjir bandang yang merupakan lanjutan dari pristiwa longsor di wilayah Sinjai Tengah. Air yang mengalir deras, membawa berton-ton lumpur hasil longsoran tanah yang terjadi sesaat sebelumnya.

Dari fakta bencana dan peristiwa kebencanaan yang ada, secara tegas mejelaskan bagaimana masyarakat Sinjai sebenarnya hidup bersama ancaman bencana yang ada di lingkungannya. Hal ini dipertegas oleh temuan BNPB (Novenber 2010) yang menyatakan kabupaten Sinjai sebagai salah satu kabupaten yang memiliki tingkatan ancaman bencana sangat tinggi di SulSel.

Pada umumnya, ada dua cara pandang manusia dalam melihat fakta kebencanaan: Pertama, melihat bencana sebagai sebuah gejala alam yang digariskan oleh Sang Pencipta dan patut diterima oleh manusia yang tidak bisa dihindari. Pendangan kedua, sebenarnya juga sepakat dengan pandangan pertama di beberapa hal, yakni melihat bencana sebagai sebuah gejala alam ataupun gejala sosial. Hanya saja pandangan ini melihat lebih dalam ke akar masalah. Melihat bencana bukanlah sesuatu yang harus diterima dengan ‘pasrah’. Manusia perlu melakukan usaha-usaha untuk mengurangi risiko yang bisa diakibatkan oleh ancaman.

Usaha yang dimaksudkan adalah dengan memperkuat kapasitas masyarakat, memelihara lingkungan, mengenal lebih dalam ancaman yang ada di lingkungannya. Tujuannya untuk menghindari adanya korban dan dampak sosial yang lebih parah saat bencana itu hadir maupun setelahnya.

Usaha-usaha PRB ini meliputi tiga siklus kebencanaan, yakni sebelum, saat dan setelah bencana terjadi. Mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman, memperbaiki kualitas lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem, hingga merencanakan rehabilitasi dan rekonstruksi setelah bencana terjadi. Menjadikan usaha PRB sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari—khususnya kelompok masyarakat rentan (anak-anak, perempuan dan lansia)—di tengah-tengah lingkungan yang penuh ancaman.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana masyarakat memulai usaha PRB? Atau, dimulai dari mana usaha PRB idealnya dilakukan?

Sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, tulisan ini akan menganalisis terlebih dahulu status penanganan kebencanaan di kabupaten Sinjai secara umum. Analisis dilakukan dengan melakukan profiling—sebuah alat untuk melihat kelemahan sekaligus kekuatannya dengan menggunakan komponen-komponen usaha PRB.

Catatan Merah Usaha Pengurangan Risiko Bencana

TIGA pekan lalu, kabupaten Sinjai bersama empat kabupaten lainnya—Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Ende dan Maluku Tenggara—melakukan Lokakarya 'Berjejaring dan Berbagi Pelajaran dari Program Pengurangan Risiko Bencana'. Dari masing-masing kabupaten yang terdiri atas perwakilan legislator, pemerintah (BPBD dan Pemerintah Desa), komunitas masyarakat desa dan LSM lokal.

Salah satu item Lokakarya adalah melakukan profiling untuk melihat status penanganan kebencanaan di masing-masing daerah. Cukup mengejutkan bagi peserta lokakarya, karena dari beberapa komponen usaha PRB menunjukkan warna merah, yang berarti komponen tersebut belum ada atau belum pernah dilakukan. Adapun komponen-komponen tersebut meliputi: Regulasi, Kelembagaan, RAD (Rencana Aksi Daerah), Pendidikan, Pangkalan Data dan Sumber Daya.

Dari hasil profiling ini, maka bisa diasumsikan komponen-komponen yang dimaksudkan masih perlu dilengkapi, untuk memaksimalkan usaha PRB yang akan atau sedang dibangun masyarakat bersama pemerintah.

Dalam komponen regulasi misalnya, belum pernah ada Perda yang mengatur tentang BPBD, baik Perda mengenai Pengurangan Risiko Bencana, Perda tentang Rencana Penanggulangan Rencana Daerah ataupun Perda lainnya yang sensitif terhadap isu PRB. Payung hukum saat ini masih berupa Peraturan Bupati mengenai tata kelola organisasi BPBD. Ini menunjukkan masih lemahnya payung hukum pada tingkat kabupaten Sinjai untuk memperkuat pelaksanaan penanganan masalah kebencanaan maupun usaha PRB yang diupayakan. Payung hukum ini penting karena akan menjadi panduan bagi seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah dalam bertindak.

Untuk komponen kelembagaan, kabupaten Sinjai memiliki banyak lembaga yang fokus dengan isu kebencanaan. Hanya saja, kerja-kerja lembaga masih belum terkoordinasi dengan baik. Sementara, ruang koordinasi bagi lembaga-lembaga ataupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah kebencanaan belum pernah ada. Ruang untuk bertemunya berbagai pihak dalam membicarakan, merencanakan, maupun menyusun langkah strategis dalam skala kabupaten. Ruang komunikasi yang dimaksud, di beberapa daerah biasanya berupa Forum, Paguyuban ataupun Kelompok Kerja.

Tiga komponen PRB berikutnya, yakni RAD, Pengkalan Data dan Pendidikan, kabupaten Sinjai memiliki ‘raport merah’ yang sangat parah. Seluruh statusnya masih berwarna merah. Tetapi bukan berarti belum ada usaha untuk memulainya. Misalkan saja, SRP PAYO-PAYO, Diknas Kabupaten Sinjai bersama lima sekolah di kabupaten Sinjai telah memulai penyusunan kurikulum Pendidikan Bencana. Saat ini, Pendidikan Bencana yang diusahakan sudah pada tahap penerapan Pendidikan Bencana untuk melihat seberapa besar peluang maupun hambatan yang mungkin ditemui oleh sekolah, guru maupun murid dalam prosesnya.

Menjadikan PRB Bagian Hidup Kita

SEBUAH pekerjaan panjang jika ingin memperbaiki ‘raport merah’ penanganan kebencanaan di Indonesia, khususnya di kabupaten Sinjai. PRB adalah upaya manusia untuk menyelamatkan spesiesnya dari perubahan ekologi ekstrim. Memperbaiki daya adaptasi manusia untuk menghadapi lingkungan yang terus berubah, baik pada lingkup paradigma maupun tindakan. Memaknai kembali salah satu tujuan utama berkelompok, berkomunitas dan bernegara, yakni menjamin keselamatan hidup seluruh  manusia di dalamnya. Sekali lagi, PRB bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam satu malam—dalam cerita rakyat, ‘Proyek Sangkuriang’ misalnya.

Ada beberapa ajuan yang ingin diuraikan dalam tulisan ini. Uraian tersebut disusun mengikuti urutan profiling yang dibuat dalam lokakarya di kabupaten Ende:

Pertama mengenai regulasi. Perlu adanya peraturan perundang-undangan khusus kebencanaan di tingkat daerah. Peraturan perundang-undangan inilah yang menegaskan keseluruhan kerja PRB berserta perangkatnya, baik yang berada dalam struktur pemerintahan, maupun di luarnya. Peraturan yang mampu memperkuat kinerja lembaga-lembaga kebencanaan sekaligus sebagai legalitas formal sebagai acuan. Jika melihat konteks desentralisasi demokrasi yang sedang berjalan, maka peluang untuk melahirkan Peraturan Daerah mengenai penanganan kebencanaan terbuka sangat luas.

Bukan hanya peraturan  perundang-undangan yang khusus mengatur kebencanaan saja, tetapi juga peraturan lain yang lebih sensitif dengan muatan PRB. Misalkan dalam penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), harus memiliki pengkajian mendalam mengenai area rawan bencana, kebijakan pertanian yang memperhatikan ekosistem dan aturan tata guna lahan, menyisihkan sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk penanganan kebencanaan atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah desa(RPJMDes) yang meliputi usaha-usaha PRB.

Kedua, secara kelembagaan. Jika berbicara masalah kelembagaan, maka yang paling banyak menjadi sorotan saat ini adalah badan khusus yang menangani masalah kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di usianya yang masih belia, perlu berbenah diri sesegera mungkin. Dengan tanggung jawab yang begitu besar—karena tugasnya yang berhubungan dengan hidup manusia—mengharuskan lembaga ini memaksimalkan peran dan fungsinya di masyarakat. Menunjukkan kepada masyarakat bahwa lembaga ini mampu berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh banyak orang. Berusaha untuk mengejar ekspektasi masyarakat terhadap lembaga pemerintah ini.

Selain BPBD, ada begitu banyak lembaga lain yang juga fokus dengan masalah kebencanaan, seperti PMI, SAR, Tim Reaksi Cepat Daerah dan sebagainya. Hanya saja belum mampu mengkoordinasikan dengan baik pekerjaannya, dengan pekerjaan lembaga lain. Masing-masing memiliki cara kerja kelembagaan yang berbeda. Untuk memaksimalkannya, dibutuhkan koordinasi yang kuat agar tidak terjadi tumpang tindih di dalam melakukan usaha PRB. Pada banyak kasus bencana di Indonesia, masing-masing lembaga bekerja dengan modelnya sendiri, sehingga banyak peran yang bertumpuk di salah satu bagian saja dan melupakan bagian yang lain. Misalnya kasus erupsi Merapi. Begitu banyak dapur umum yang dibuat. Karena tidak terkoordinasi baik, ada beberapa dapur umum yang berlebihan di satu tempat dan kurang di tempat yang lain.

Hal penting lain, perlu untuk membuat media belajar bersama bagi pihak-pihak yang berkepentingan di penanganan masalah kebencanaan. Sebuah ruang untuk interaksi banyak pihak, menyusun strategi hingga mereproduksi perangkat-perangkat hukum penanganan bencana. Di beberapa daerah, misalkan kabupaten Ende menyebut media belajar bersama itu sebagai Forum Kebencanaan Kabupaten.

Kelembagaan lain yang perlu disoroti adalah bagaimana membangun sebuah sistem untuk memonitor serta mengevaluasi pelaksanaan penanggulangan bencana. Memilah apa yang perlu dibenahi dalam penanganan kebencanaan, apa yang harus dipertahankan dan apa yang tidak dibutuhkan lagi—karena tidak sesuai lagi dengan konteks kekinian.

Ketiga adalah membuat Rencana Aksi Daerah. Rencana ini meliputi contigency plan, renstra BPBD dan Rencana Pengurangan Risiko Bencana Daerah. Rencana strategis yang disusun bersama—multi pihak dan multi sektoral—sebagai acuan teknis usaha mainstreaming (pengarus-utamaan) PRB di daerah.

Keempat adalah membuat pusat-pusat informasi kebencanaan maupun media komunikasi bersama yang bisa diakses secara luas. Ini merupakan langkah untuk menyebarluaskan gerakan PRB di suatu wilayah. Jika melihat mekanisme kerja media massa, maka pusat-pusat informasi ini bisa menjadi media pembelajaran yang efisien bagi masyarakat. Hanya saja, yang perlu menjadi catatan adalah pusat informasi ini bisa lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan serta mengemasnya sedemikian rupa agar menjadi menarik. Kemudian, perlu juga melibatkan komunitas masyarakat dalam hal memberikan informasi-informasi kebencanaan di wilayahnya, sehingga bisa menjadi media komunikasi yang lebih interaktif sifatnya.

Kelima, mengintegrasikan PRB dalam sistem pendidikan formal. Pendidikan merupakan sarana transformasi pengetahuan yang memungkinkan bagi semua anak-anak—usia sekolah khusunya dan salah satu kelompok rentan—bisa mengakses Pendidikan Bencana. Jadi, sangat beralasan jika memilih pendidikan formal sebagai salah satu strategi dalam usaha pengarusutamaan PRB di suatu wilayah. Menciptakan sebuah pendidikan yang berbasis PRB sebagai strategi jangka panjang. Selain itu, pendidikan juga bisa dijadikan sebagai bahan pelajaran mengenai masalah kebencanaan atau yang biasa diistilahkan sebagai wadah melahirkan pengetahuan baru, khususnya tentang kebencanaan. pengetahuan yang dimaksud bukan hanya pengetahuan formal saja, tetapi juga menitik beratkan pada pengetahuan lokal masyarakat.

Keenam, mengenai sumber daya dan sumber dana. Efek dari desentralisasi ternyata bukan hanya pada pendistribusian kewenangan penanganan kebencanaan saja, tetapi juga pada tanggung jawab pendanaan. BPBD—sebagai perpanjangan tangan BNPB di daerah—kemudian didesak untuk turut mengambil peran dalam mendanai kerja-kerjanya sendiri, terutama pada bagian pendanaan oprasional badan. Pemerintah pusat menyertakan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mendanai sendiri lembaga-lembaganya, dengan rasionalisasi bahwa hal tersebut menjadi linier dengan penyerahan kewenangan.

Melihat kondisi seperti ini, maka pemerintah daerah sudah seharusnya mulai memikirkan untuk mengalokasikan sebagian dari APBDnya untuk masalah-masalah kebencanaan. Kabupaten Ende dalam konteks ini mungkin sedikit lebih maju, karena Forum Kebencanaan Daerahnya sudah pada tahap pengajuan usul pengalokasian dana 20 persen dari APBDnya, untuk mendanai gerakan Forum Kebencanaan Kabupaten.

Memang, sejatinya masalah dana adalah masalah klasik yang kerap menjadi hambatan. Apalagi jika melihat kebutuhan-kebutuhan—dalam proses profiling—dalam penangaan masalah kebencanaan membutuhkan cukup banyak sumber dana, seperti perlengkapan evakuasi, tempat evakuasi, gudang logistik, sistem peringatan dini, perlengkapan komunikasi, kendaraan oprasional dan lain-lain. Belum lagi jika menyoroti sumberdaya manusia di dalam lembaga-lembaga kebencanaan sebagai penggeraknya yang masih perlu mendapatkan penguatan kapasitas.

PRB adalah sebuah gerakan yang membutuhkan keterlibatan semua pihak, mengingat hubungannya dengan kelangsungan ekosistem dan seluruh mahluk di dalamnya. PRB tidak bisa hanya mengkaji persoalan bencana semata (bersifat sektoral), tetapi berkaitan pula dengan perubahan iklim, demografi, infrastruktur, sistem sosial budaya masyarakat, keberagaman hayati, tata guna lahan, ketahanan pangan, kesehatan, dan masih banyak lagi.

Bukan hanya itu, PRB juga idealnya masuk ke banyak bagian kehidupan manusia, seperti interaksi manusia dengan lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam, pemenuhan kebutuhan pokok, interaksi sosial masyarakat hingga proses lahirnya pengetahuan lokal di masyarakat. Jadi dapat diasumsikan PRB sebagai ide tentang nilai-nilai kemanusiaan yang coba mengatur pola hubungan manusia dengan alamnya, meningkatkan kuwalitas hidup manusia mahluk hidup lain beserta lingkungannya. PRB juga menjadi tahapan tindakan manusia untuk mengurangi dampak merugikan dari perubahan alam. Ide dan tindakan itulah yang dikatakan sebagai gerakan sosial PRB.[]

0 komentar:

Posting Komentar