Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 08 Februari 2011

Ternak Sapi, Pupuk Organik dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi



KOMPANG, desa dingin di atas perbukitan Sinjai Tengah yang penuh dengan pinus. Pohon peminum banyak air di dalam kawasan hutan lindung. Di desa ini tanaman padinya sedikit. Seminggu sudah berada di sini, memandang sawah pun sulit. Padahal makanan yang tersaji di di banyak piring penduduk adalah nasi yang sekarang sudah semakin sulit. Seperti apa yang dilakukan mereka untuk memenuhi pangan dengan lahan padi yang menyempit?

            Bukannya petani tidak ingin menanam padi. Kondisi alam yang membuatnya rumit. Terjalnya bukit-bukit  menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk mempertahankan jenis tanaman ini.

Ada beberapa alasan mengapa petani semakin enggan menanam padi, selain biaya produksinya yang semakin mahal—harga bibit, pupuk dan pestisida—juga membutuhkan tenaga ekstra untuk mengolah lahan berbukit. Pertama, harga jualnya tidak sebanding dengan biaya produksi [nantilah dihitung pastinya di tulisan lain]. Kedua, menanam ataupun tidak menanam padi, kondisinya tetap saja petani harus membelinya karena luas lahan yang tidak seberapa. Ketiga, alasannya lebih cenderung subyektif dari pernyataan Samsuddin, yakni ingin mengembangkan perkebunannya saja—kopi, cengkeh dan coklat—karena padi tidak memberikan keuntungan bagi ekonomi keluarganya. Sementara, butuh tenaga lebih untuk mengurus lahan pertanian padi ini. Ketiga alasan inilah yang kemudian menjadikan Samsuddin memutuskan untuk memberikan sawahnya kepada keluarganya.

Kerentanan akan kebutuhan pangan sebenarnya sedang mengancam petani di Kompang, terutama kebutuhan pokok yang satu itu, beras. Namun untuk kebutuhan lain, seperti sayur dan buah-buahan masih bisa dipenuhi sendiri. Hanya untuk lauk ikan dan beras saja saat ini yang harus dibeli. Kemudian, bagaimana nasib lahan pertanian di desa Kompang nantinya? Apakah dengan kerentanan pangan ini petani bisa terus mempertahankan kualitas hidupnya?

***

SAPOLOHE [banyak rumah atau pemukiman], salah satu kelompok tani yang ada di desa Kompang. Anggotanya kini sekitar 35 orang petani. Jumat sore, aku bersama Imran dan Dedy bergegas ke rumah ketua kelompok tani Sapolohe. Bukan bergegas Imran, terburu-buru! Bahkan untuk menugguku. Aku yang harus mempercepat gerakan mandiku. Akhirnya aku harus menyusulnya bersama Dedy karena Imran telah lebih dulu pergi.

            Setiba di rumah ketua kelompok tani Sapolohe, Imran nampak sedang bercerita dengan Samsuddin dan kedua anak laki-lakinya di depan rumah. Di atas kaki lima rumah Samsuddin, tertutupi terpal biru, ada setumpuk pupuk organik (jenis pupuk kandang) terbungkus oleh karung-karung kemasan.  Pupuk ini menjadi pembuka pembicaraan kami. Aku ikut saja ceplas ceplos sambil mencari informasi mengenai kelompok yang diketuai oleh Samsuddin ini.

Dalam hati aku mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Karno, ‘perbanyaklah bertanya dan mendengar cerita-cerita orang desa, jangan sampai mereka yang mendengarkan ceritamu. Tidak akan ada informasi yang akan didapatkan kalau kau yang banyak cerita!’, seperti itu pesan yang aku ingat saat itu.

Ini tahun pertama bagi bantuan pupuk organik. Di desa Kompang, Cuma hanya tiga kelompok tani saja—dari 13 kelompok tani yang ada—yang mendapatkan bantuan pupuk ini. Kelompok tani dianjurkan untuk membuat proposal permintaan sebelumnya. Samsuddin menerima bantuan ini kemarin. Ada kurang lebih 105 karung pupuk yang sampai ke tangan Samsuddin. Untuk satu karung pupuk berisi 50 kilogram. Masing-masing petani mendapatkan jatah pupuk organik bantuan sebanyak tiga karung (150 kilogram). Harga pasaran pupuk jenis ini umumnya berkisar 100 ribu rupiah per karung. Sedikit lebih mahal jika dibandingkan pupuk kimia yang selama ini digunakan oleh petani. Pupuk ini dibawa dari kabupaten tetangga, Bulukumba.

Baru kali ini petani mendapatkan bantuan pupuk untuk jenis organik. Selama ini petani menggunakan pupuk kimia jenis Urea, MPK dan ZA. Artinya, petani baru akan mempelajari dan mengujicobakan pupuk organik ini di lahan mereka. Samsuddin sendiri masih belum bisa menentukan peruntukan pupuk ini, akan digunakan untuk tanaman perkebunannya—komoditi ekspor seperti kopi, cengkeh, dan coklat—atau tanaman padinya. Untuk keunggulan dan kekurangan penggunaan pupuk, tentu belum terbongkar rahasianya.

***

SAMSUDDIN mengaku sangat senang karena pernah pergi melihat kondisi petani di Jawa. Dia senang karena SRP PAYO-PAYO memberikan jalan kepada dirinya dan teman-teman petani yang lain untuk belajar bersama di Solo. Banyak pelajaran yang dia dapatkan, terutama mengenai manfaat dan keuntungan memelihara sapi. Setidaknya, hal ini yang paling membekas dalam benaknya sepulang dari Solo.

            Samsuddin menyoroti mengenai keunggulan memelihara sapi yang dia pelajari dari petani di Jawa. ‘Satu kali kerja, tapi dapat tiga keuntungan’, celotehnya.

            Kemudian melanjutkannya dengan penjelasan mengenai apa yang dilakukan petani di jawa yang bisa diambil sebagai contoh. Misalnya, dengan memelihara sapi, selain mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan dagingnya, juga bisa mendapatkan keuntungan lain karena kotorannya bisa digunakan sebagai pupuk dan kebutuhan energi alternatif seperti biogas. Petani di Jawa memelihara sapi dengan mengandangkannya, tidak seperti petani di Kompang pada umumnya. Petani hanya mengikat sapinya di pohon cengkeh, pohon coklat atau pohon lainnya yang banyak terdapat rumput pakan di sekitarnya.

Petani di Jawa mengandangkannya dan menanam rumput di ladang. Biasanya pada pagi hari, petani mengambil rumputnya untuk diberikan kepada sapi di kandangnya. Upaya penggemukan ternak istilahnya, agar sapi bisa dijual  dengan harga yang lebih mahal.

Ini bisa menjadi sumber perokonomian baru bagi petani. Saat ini, semakin banyak petani yang mencoba untuk memelihara sapi. Karena sudah banyak contoh petani yang mencoba beternak sapi dan mendapat keuntungan dari hasil ternaknya. Apakah kepergian beberapa petani Kompang ke Solo benar-benar menjadi satu-satunya faktor yang mendorong petani untuk memelihara sapi? Apakah hal ini akan berdampak pada aktifitas bertani penduduk? Setidaknya kedimpulan awalku, dari beberapa aktifitas yang dilakukan SRP PAYO-PAYO di desa Kompang, mengajak petani Kompang belajar bersama petani di Solo adalah yang paling berkesan.

***

PROGRAM KKBE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) ternyata menjadi faktor lain yang memuluskan niat petani di Kompang untuk coba memelihara sapi. Kredit berbunga rendah ini—karena sebagian bunga ditutupi oleh subsidi dari pemerintah—disalurkan melalui BRI (Bank Rakyat Indonesia) cabang Sinjai. Masing-masing petani diberikan pinjaman sejumlah 25 juta rupiah per kepala dengan bunga 0,1 % dan lama pembayaran selama tiga tahun. Syaratnya mudah. Petani cukup terdaftar di salah satu kelompok tani yang terdaftar di desanya, kemudian menjaminkan sertifikat tanah dan rumah kepada bank. Maka sejumlah uang pun langsung dicairkan.

            Kredit inilah kemudian yang digunakan petani untuk membeli sapi kemudian melakukan penggemukan. Untuk uang sejumlah 25 juta rupiah, petani bisa membeli sapi lima sampai tujuh ekor. Jika tekun memeliharanya, harga jual sapi bisa mencapai enam sampai delapan juta rupiah per ekornya. Tentu setelah melakukan penggemukan sebelumnya.

            Pihak bank berjanji bahwa petani bisa meminjam dalam jumlah lebih besar jika telah melunasi kreditnya. Dengan catatan, tidak ada yang bermasalah di seputar penunggakan pembayaran di tiga tahun pertama. Kerja sama yang baik di awal akan menjamin kelajutan program kredit ini. Jadi, jika petani ingin program ini berjalan berkelanjutan, mereka harus menaati semua aturan perjanjian yang sudah disepakati sebagai perwujudan kepercayaan pihak bank kepada petani.

Walaupun program ini mudah secara teknis dan mudah bagi petani untuk melunasinya—karena bunga yang kecil dan jangka pengembalian yang panjang—masih ada petani yang masih enggan menggunakan keredit ini. Alasannya sederhana dan sangat umum, tidak mau terikat dengan hutang, ‘tidak nyenyak tidur kalau ada hutang’, takut tidak bisa membayar dan takut rumahnya disegel oleh pihak bank dan polisi.

0 komentar:

Posting Komentar