Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 13 Februari 2012

Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana



“HUTAN LINDUNG pada konteks sekarang, sudah seharusnya kita mengubahnya menjadi LINDUNGI HUTAN! Hubungan yang lebih menguntungkan antara hutan dengan manusia. Bukan merugikan salah satunya.”

Dua penggalan kalimat Asikin Pella (60 tahun) di atas menjadi pesan awal dalam diskusi Kelompok Tani Sipakatau dengan puluhan peserta dari SMPN SATAP Karangko 5 Februari 2012. Berawal dari inisiatif warga, kemudian mendorong sekolah dan kelompok masyarakat lain menggelar diskusi terbuka di dalam kawasan Hutan Lindung Desa Kompang. Peserta yang sebagian besar adalah murid kelas VII, VIII dan IX antusias mengikuti kegiatan. Diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan penanaman pohon yang bertema “Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana”.

*

BUNGENG & RAMAE merupakan kawasan hutan yang letaknya berdampingan, tidak terpisah. Dulunya, menurut Asikin, pada zaman pemerintahan Belanda, dua kawasan ini memiliki luas sekitar 500 hektar. Sekarang, lanjutnya, luas itu bertambah. Sayang sekali, Asikin tidak bisa mengira-ngira sekarang luasnya berapa. Bahkan, Kepala Desa Kompang sampai aparat Dinas Kehutanan (yang hadir pada acara penanaman pohon) juga tak mengetahui pasti luasnya. Kawasan ini masuk dalam wilayah administrasi Desa Kompang, Bonto Lempangan, Patongko, Arbika, Bonto Salama dan Gantarang. Menurut Asikin, ada sekitar 300 hektar lahan kawasan hutannya masih memprihatinkan dan perlu dihijaukan kembali.

Sudah bermacam usaha PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dilakukan di Desa Kompang, baik melalui pemerintah, inisiasi kelompok di masyarakat hingga organisasi kemasyarakatan yang bekerja di seputar lingkungan. Usaha-usaha tersebut di antaranya: Program KBR (Kebun Bibit Rakyat) oleh Dinas Kehutanan melalui kelompok-kelompok tani sejak 2010, SRP Payo-Payo dengan penanaman Pohon Aren bersama Kelompok Tani Sipakatau tahun 2008, SMPN SATAP Karangko dengan dengan Program Pendidikan Bencana 2011 hingga sekarang dan masih banyak usaha individu lain.

Awal 2012 ini, sekolah menyegarkan kembali usaha penghijauan kawasan hutan melalui Pendidikan Bencananya. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pihak di dalam masyarakat seperti Kelompok Tani Sipakatau, Pemerintah Desa, SRP Payo-Payo serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Kegiatan penghijauan tidak lepas dari peran guru SMPN yang menyisipkan Pendidikan Bencana ke dalam aktifitas OSIS—selain di dalam aktifitas belajar-mengajar di sekolah, baik mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada maupun sebagai mata pelajaran baru di Muatan Lokal. Lebih jauh lagi, Kasim (Guru SMPN SATAP Karangko) berencana menjadikan kegiatan ini bagian dari kegiatan rutin OSIS di sekolah. Kepala Sekolah pun mengiyakan rencana ini dan siap mendukung segala aktifitas OSIS selama kegiatan itu masih bersifat positif untuk siswa.

**

SATU TAHUN sudah penerapan Pendidikan Bencana dilakukan di SMPN SATAP Karangko. Gerakan sosial dipelopori oleh lima sekolah di Kabupaten Sinjai yakni 2 SMPN dan 3 SDN.[1] SRP Payo-Payo (organisasi jejaring Insist Yogyakarta) merupakan organisasi yang mendampingi proses Pendidikan Bencana hingga tahap evaluasi (rencananya akan dilakukan Februari 2012). Sejak persiapan hingga proses penerapan, sekolah terus coba melibatkan berbagai pihak di masyarakat guna memaksimalkan gerakan sosial ini. Tentunya ada beberapa pihak lain yang turut mendukung proses seperti Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Bakominfo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sinjai.

Setelah melihat berbagai hambatan yang dihadapi—dari rekaman proses dari persiapan hingga penerapan—menimbang ‘pintu masuk’ PRB yang ‘pas’ pun dilakukan. Apakah akan menjadikannya sebagai mata pelajaran baru atau mengintegrasikannya saja. Mempertimbangkan begitu banyak hal, mulai dari bahan ajar yang kurang, proses penilaian yang sulit, penyesuaian praktek pembelajaran dengan dokumen-dokumen kurikulum (RPP dan Silabus), rumitnya menentukan standar kompetensi dan keberhasilan pembelajaran hingga bentuk laporan pendidikannya. Padahal ada bagian lain yang perlu menjadi bahan pertimbangan lainya seperti melihat proses dalam ranah metode pembelajaran.

Bukan bemaksud mengesampingkan ranah kurikulum ataupun kebijakan, tetapi hemat penulis perlu menyimak hal-hal yang langsung berhubungan proses belajar yakni pada metodenya. Sebaik apapun perangkat pendidikan yang ada (hukum dan konsep), jika metode penyampaiannya masih menggunakan model lama—porsi lebih banyak ceramah dan penugasan tertulis—maka sulit melihat perkembangan keberhasilan Pendidikan Bencana yang dilakukan.

Di sinilah Kasim coba menutupi kelemahan proses Pendidikan Bencana dengan mengembangkan model belajar, khususnya di kelas VII. Dia membawa anak-anak lebih dekat melihat dan mengenal lingkungan desa Kompang yang dipenuhi dengan ancaman tanah longsor. Membuat apa yang dipelajari murid menjadi lebih dekat dan nyata.

Bagi Kasim, PRB tidak cukup jika hanya dibicarakan dan direncanakan saja. Perlu melihat semua peluang agar anak-anak bisa memahami PRB dengan maksimal. Dari alasan tersebut Kasim mulai merancang strategi untuk mengintegrasikan PRB dalam mata pelajaran yang dia pegang yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Proses belajarnya pun tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga mengunjungi langsung objek yang sedang dibahas.[2]

Anak-anak perlu mendapatkan pemahaman secara dini mengenai PRB agar bisa lebih maju di masa mendatang dalam menghadapi kejadian bencana yang bisa datang kapanpun.

Inisiatif Kasim ini kemudian bertemu ‘jalannya’ setelah Kelompok Tani Sipakatau dan Pemerintah Desa Kompang menyambut baik kerjasama penanaman pohon—sebagai bagian dari Pendidikan Bencana—yang diinisiasi oleh SMPN SATAP Karangko. Sebuah gerakan yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak kelompok di masyarakat dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana di Desa Kompang.

***

MINGGU pagi, pukul 08.30, peserta berkumpul setengah jam lebih awal dari kesepakatan. Beberapa anak mengkoordinir teman-temannya untuk mengambil bibit-bibit di tempat penangkaran milik Kelompok Tani Sipakatau. Setelahnya, guru mulai mengabsen peserta yang akan mengikuti kegiatan penanaman sekaligus mencatat jumlah bibit yang dibawa masing-masing peserta. Kurang lebih 120 peserta penanaman hadir yang terdiri dari 90 orang murid, 2 orang guru, 9 orang kelompok tani, dan 7 orang lainnya. Satu peserta kemudian membawa lebih dari 2 bibit. Jadi ada sekitar 300 bibit yang dibawa untuk ditanam.

Jalan menanjak menyambut peserta di awal perjalanan. Masyarakat membangun jalan beton ini pada 2008 silam melalui dana bantuan PNPM Mandiri. Jalan inilah yang membuka akses ke wilayah-wilayah terpencil Desa Kompang, seperti Pari-parigi, Patontongan dan Lappara.

Peserta melangkah satu persatu mengikuti jalan besar yang semakin mengecil menjadi jalan setapak. Dari kejauhan peserta nampak seperti rangkaian kereta api yang meliuk-liuk. Peserta pun mulai membaur dalam perjalanan ini, antara murid dan anggota kelompok tani maupun dengan masyarakat.

Pationgi menjadi titik penghijauannya. Tempat ini berada di Dusun Barugae, Desa kompang. Pada 2006 silam, Pationgi menjadi salah satu titik longsor. Walaupun wilayah sangat curam, peserta penghijauan masih bisa menjangkaunya. Semak-semak berduri masih mendominasi bukit-bukit dengan beberapa jenis pohon beragam jenis yang jaraknya tidak rapat. Jadi cukup beralasan jika pelaksana memilih Pationgi sebagai tempat pelaksanaan penanaman pohon.

Setiba di lokasi penanaman yang miring, anggota kelompok tani  bergegas untuk menebas semak sebelum peserta melaluinya. Beberapa lainnya mulai menggali tanah. Setelah menyingkirkan semak, masing-masing peserta mulai mencari lokasi terbaik untuk menanam bibit yang dibawa. Sesekali terdengar suara peringatan, baik dari guru maupun anggota kelompok tani, agar peserta memperhatikan jarak tanam. Sementara murid riuh sorai dalam kelompok-kelompoknya menikmati kegiatan penanaman mereka.

Dua hari sebelum kegiatan, sekolah memberikan pembekalan kepada murid-murid untuk mempermantap proses belajarnya. Salah satunya adalah memberikan penugasan agas mereka juga melakukan diskusi dengan anggota kelompok tani saat di lapangan. Mencatat jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan berikut klasifikasi pohon berdasarkan ciri-ciri fisiknya.

Lebih lanjut panitia membawa peserta ke tempat datar untuk melanjutkan diskusi. Sebagai pembuka, Ansar (Kepala Desa Kompang) memberikan sepatah kata untuk peserta sebelum membuka diskusi. Kemudian dilanjutkan oleh Asikin Pella (Ketua Kelompok Tani Sipakatau) dan salah seorang Alumni Fakultas Kehutanan Unhas yang bekerja di Forum Hutan Kemasyarakatan.

Diskusi berjalan dengan dinamis. Pembicara yang terdiri dari kelompok masyarakat, pemerintah desa dan tokoh-tokoh kemasyarakatan memaparkan penjelasan seputar masalah lingkungan dengan sangat sederhana. Peserta kemudian menanggapi serta melemparkan beberapa pertanyaan. Reski Oktaviani (14 tahun), yang juga sebagai Ketua Osis, mengawali pertanyaan seputar manfaat dari usaha menjaga kelestarian lingkungan. Selanjutnya, giliran murid-murid yang lain mengajukan pertanyaan.

Ada satu catatan penting dalam diskusi ini yakni mengenai usaha pengurangan risiko bencana dan usaha menghadapi perubahan iklim. Dua tema yang mendapat perhatian khusus bagi peserta walaupun sebenarnya masih sulit bagi murid seumuran mereka—kisaran 13 sampai 15 tahun—untuk memahami konsep-konsep yang dipaparkan.

Seusai melakukan diskusi, peserta segera membenahi perlengkapan mereka kembali untuk menuju bendungan. Tempat ini ditunjuk oleh mereka sebagai tempat beristirahat setelah beraktifitas seharian. Di antara mereka ada yang membawa perlengkapan memasak maupun bahan-bahan masakan—bahan mentah maupun makanan jadi.

Dari lokasi penanaman pohon, bendungan hanya berjarak kurang lebih 1 kilometer saja. Bendungan ini memiliki pemandangan batu-batu alam berukuran ‘raksasa’ dengan selang seling pepohonan. Tempat ini awalnya adalah aliran sungai kecil yang jernih. Kemudian beberapa petani membendung air untuk mengatur alirannya. Kemudian air tersebut digunakan sebagai sumber irigasi persawahan. Namun beberapa tahun terakhir, tempat ini kerap menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar.

Menurut salah satu guru yang mendampingi, Ridwan, baru kali ini ada kegiatan di luar jam sekolah yang melibatkan seluruh siswa. Apalagi bentuknya adalah rekreasi. Anak-anak akan mengingat dengan baik keseluruhan proses karena kegiatan dikemas dengan santai.

Keseluruhan proses baru selesai menjelang sore, setelah masing-masing kelas menyelesaikan menu masakan yang mereka rencanakan. Sekitar pukul 15.10 WITA, rombongan kemudian meninggalkan tempat untuk kembali ke rumah masing-masing.[]


[1]  Ada lima sekolah yang menerapkan Pendidikan Bencana dalam skema program Membangun Gerakan Sosial Dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana. Tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Sinjai seperti SMPN SATAP Tassoso, SDN 66 Gantarang, SDN 122 Mangottong dan SDN 104 Kalaka.
[2]  Tanggal 21 September 2011 silam, Kasim membawa murid-muridnya menuju titik-titik longsor 2006. Di sana, murid membuat laporan perjalanannya. Laporan perjalanan ini merupakan tugas dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kasim mengintegrasikan PRB di dalamnya dengan mengangkat tema Bencana Longsor. Dari sini kemudian berlanjut pada tugas-tugas lain seperti pembuatan naskah derama dan mementaskannya (dijelaskan lebih jauh pada tulisan lainnya, ‘Pendidikan Bencana di Atas Tanah Longsor).

0 komentar:

Posting Komentar