“HUTAN
LINDUNG pada konteks sekarang, sudah seharusnya kita mengubahnya menjadi
LINDUNGI HUTAN! Hubungan yang lebih menguntungkan antara hutan dengan manusia.
Bukan merugikan salah satunya.”
Dua
penggalan kalimat Asikin Pella (60 tahun) di atas menjadi pesan awal dalam
diskusi Kelompok Tani Sipakatau dengan puluhan peserta dari SMPN SATAP Karangko
5 Februari 2012. Berawal dari inisiatif warga, kemudian mendorong sekolah dan
kelompok masyarakat lain menggelar diskusi terbuka di dalam kawasan Hutan
Lindung Desa Kompang. Peserta yang sebagian besar adalah murid kelas VII, VIII
dan IX antusias mengikuti kegiatan. Diskusi ini merupakan salah satu dari
serangkaian kegiatan penanaman pohon yang bertema “Usaha Anak Mengurangi Risiko
Bencana”.
*
BUNGENG
& RAMAE merupakan kawasan hutan yang letaknya berdampingan, tidak terpisah.
Dulunya, menurut Asikin, pada zaman pemerintahan Belanda, dua kawasan ini
memiliki luas sekitar 500 hektar. Sekarang, lanjutnya, luas itu bertambah. Sayang
sekali, Asikin tidak bisa mengira-ngira sekarang luasnya berapa. Bahkan, Kepala
Desa Kompang sampai aparat Dinas Kehutanan (yang hadir pada acara penanaman
pohon) juga tak mengetahui pasti luasnya. Kawasan ini masuk dalam wilayah
administrasi Desa Kompang, Bonto Lempangan, Patongko, Arbika, Bonto Salama dan
Gantarang. Menurut Asikin, ada sekitar 300 hektar lahan kawasan hutannya masih
memprihatinkan dan perlu dihijaukan kembali.
Sudah
bermacam usaha PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dilakukan di Desa Kompang, baik
melalui pemerintah, inisiasi kelompok di masyarakat hingga organisasi kemasyarakatan
yang bekerja di seputar lingkungan. Usaha-usaha tersebut di antaranya: Program KBR
(Kebun Bibit Rakyat) oleh Dinas Kehutanan melalui kelompok-kelompok tani sejak
2010, SRP Payo-Payo dengan penanaman Pohon Aren bersama Kelompok Tani Sipakatau
tahun 2008, SMPN SATAP Karangko dengan dengan Program Pendidikan Bencana 2011
hingga sekarang dan masih banyak usaha individu lain.
Awal
2012 ini, sekolah menyegarkan kembali usaha penghijauan kawasan hutan melalui
Pendidikan Bencananya. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pihak di dalam
masyarakat seperti Kelompok Tani Sipakatau, Pemerintah Desa, SRP Payo-Payo
serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Kegiatan
penghijauan tidak lepas dari peran guru SMPN yang menyisipkan Pendidikan
Bencana ke dalam aktifitas OSIS—selain di dalam aktifitas belajar-mengajar di
sekolah, baik mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada maupun
sebagai mata pelajaran baru di Muatan Lokal. Lebih jauh lagi, Kasim (Guru SMPN
SATAP Karangko) berencana menjadikan kegiatan ini bagian dari kegiatan rutin
OSIS di sekolah. Kepala Sekolah pun mengiyakan rencana ini dan siap mendukung
segala aktifitas OSIS selama kegiatan itu masih bersifat positif untuk siswa.
**
SATU
TAHUN sudah penerapan Pendidikan Bencana dilakukan di SMPN SATAP Karangko. Gerakan
sosial dipelopori oleh lima sekolah di Kabupaten Sinjai yakni 2 SMPN dan 3 SDN.[1]
SRP Payo-Payo (organisasi jejaring Insist Yogyakarta) merupakan organisasi yang
mendampingi proses Pendidikan Bencana hingga tahap evaluasi (rencananya akan
dilakukan Februari 2012). Sejak persiapan hingga proses penerapan, sekolah
terus coba melibatkan berbagai pihak di masyarakat guna memaksimalkan gerakan
sosial ini. Tentunya ada beberapa pihak lain yang turut mendukung proses
seperti Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Bakominfo dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sinjai.
Setelah
melihat berbagai hambatan yang dihadapi—dari rekaman proses dari persiapan hingga
penerapan—menimbang ‘pintu masuk’ PRB yang ‘pas’ pun dilakukan. Apakah akan
menjadikannya sebagai mata pelajaran baru atau mengintegrasikannya saja.
Mempertimbangkan begitu banyak hal, mulai dari bahan ajar yang kurang, proses
penilaian yang sulit, penyesuaian praktek pembelajaran dengan dokumen-dokumen
kurikulum (RPP dan Silabus), rumitnya menentukan standar kompetensi dan
keberhasilan pembelajaran hingga bentuk laporan pendidikannya. Padahal ada
bagian lain yang perlu menjadi bahan pertimbangan lainya seperti melihat proses
dalam ranah metode pembelajaran.
Bukan
bemaksud mengesampingkan ranah kurikulum ataupun kebijakan, tetapi hemat
penulis perlu menyimak hal-hal yang langsung berhubungan proses belajar yakni
pada metodenya. Sebaik apapun perangkat pendidikan yang ada (hukum dan konsep),
jika metode penyampaiannya masih menggunakan model lama—porsi lebih banyak
ceramah dan penugasan tertulis—maka sulit melihat perkembangan keberhasilan
Pendidikan Bencana yang dilakukan.
Di
sinilah Kasim coba menutupi kelemahan proses Pendidikan Bencana dengan mengembangkan
model belajar, khususnya di kelas VII. Dia membawa anak-anak lebih dekat
melihat dan mengenal lingkungan desa Kompang yang dipenuhi dengan ancaman tanah
longsor. Membuat apa yang dipelajari murid menjadi lebih dekat dan nyata.
Bagi
Kasim, PRB tidak cukup jika hanya dibicarakan dan direncanakan saja. Perlu
melihat semua peluang agar anak-anak bisa memahami PRB dengan maksimal. Dari alasan
tersebut Kasim mulai merancang strategi untuk mengintegrasikan PRB dalam mata
pelajaran yang dia pegang yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Proses
belajarnya pun tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga mengunjungi langsung
objek yang sedang dibahas.[2]
Anak-anak
perlu mendapatkan pemahaman secara dini mengenai PRB agar bisa lebih maju di
masa mendatang dalam menghadapi kejadian bencana yang bisa datang kapanpun.
Inisiatif
Kasim ini kemudian bertemu ‘jalannya’ setelah Kelompok Tani Sipakatau dan
Pemerintah Desa Kompang menyambut baik kerjasama penanaman pohon—sebagai bagian
dari Pendidikan Bencana—yang diinisiasi oleh SMPN SATAP Karangko. Sebuah gerakan
yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak kelompok di masyarakat dalam Usaha
Pengurangan Risiko Bencana di Desa Kompang.
***
MINGGU
pagi, pukul 08.30, peserta berkumpul setengah jam lebih awal dari kesepakatan.
Beberapa anak mengkoordinir teman-temannya untuk mengambil bibit-bibit di tempat
penangkaran milik Kelompok Tani Sipakatau. Setelahnya, guru mulai mengabsen
peserta yang akan mengikuti kegiatan penanaman sekaligus mencatat jumlah bibit
yang dibawa masing-masing peserta. Kurang lebih 120 peserta penanaman hadir
yang terdiri dari 90 orang murid, 2 orang guru, 9 orang kelompok tani, dan 7
orang lainnya. Satu peserta kemudian membawa lebih dari 2 bibit. Jadi ada
sekitar 300 bibit yang dibawa untuk ditanam.
Jalan
menanjak menyambut peserta di awal perjalanan. Masyarakat membangun jalan beton
ini pada 2008 silam melalui dana bantuan PNPM Mandiri. Jalan inilah yang
membuka akses ke wilayah-wilayah terpencil Desa Kompang, seperti Pari-parigi,
Patontongan dan Lappara.
Peserta
melangkah satu persatu mengikuti jalan besar yang semakin mengecil menjadi
jalan setapak. Dari kejauhan peserta nampak seperti rangkaian kereta api yang
meliuk-liuk. Peserta pun mulai membaur dalam perjalanan ini, antara murid dan
anggota kelompok tani maupun dengan masyarakat.
Pationgi
menjadi titik penghijauannya. Tempat ini berada di Dusun Barugae, Desa kompang.
Pada 2006 silam, Pationgi menjadi salah satu titik longsor. Walaupun wilayah
sangat curam, peserta penghijauan masih bisa menjangkaunya. Semak-semak berduri
masih mendominasi bukit-bukit dengan beberapa jenis pohon beragam jenis yang
jaraknya tidak rapat. Jadi cukup beralasan jika pelaksana memilih Pationgi
sebagai tempat pelaksanaan penanaman pohon.
Setiba
di lokasi penanaman yang miring, anggota kelompok tani bergegas untuk menebas semak sebelum peserta
melaluinya. Beberapa lainnya mulai menggali tanah. Setelah menyingkirkan semak,
masing-masing peserta mulai mencari lokasi terbaik untuk menanam bibit yang
dibawa. Sesekali terdengar suara peringatan, baik dari guru maupun anggota
kelompok tani, agar peserta memperhatikan jarak tanam. Sementara murid riuh
sorai dalam kelompok-kelompoknya menikmati kegiatan penanaman mereka.
Dua hari
sebelum kegiatan, sekolah memberikan pembekalan kepada murid-murid untuk
mempermantap proses belajarnya. Salah satunya adalah memberikan penugasan agas
mereka juga melakukan diskusi dengan anggota kelompok tani saat di lapangan. Mencatat
jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan berikut klasifikasi pohon berdasarkan
ciri-ciri fisiknya.
Lebih
lanjut panitia membawa peserta ke tempat datar untuk melanjutkan diskusi.
Sebagai pembuka, Ansar (Kepala Desa Kompang) memberikan sepatah kata untuk
peserta sebelum membuka diskusi. Kemudian dilanjutkan oleh Asikin Pella (Ketua
Kelompok Tani Sipakatau) dan salah seorang Alumni Fakultas Kehutanan Unhas yang
bekerja di Forum Hutan Kemasyarakatan.
Diskusi
berjalan dengan dinamis. Pembicara yang terdiri dari kelompok masyarakat,
pemerintah desa dan tokoh-tokoh kemasyarakatan memaparkan penjelasan seputar
masalah lingkungan dengan sangat sederhana. Peserta kemudian menanggapi serta
melemparkan beberapa pertanyaan. Reski Oktaviani (14 tahun), yang juga sebagai
Ketua Osis, mengawali pertanyaan seputar manfaat dari usaha menjaga kelestarian
lingkungan. Selanjutnya, giliran murid-murid yang lain mengajukan pertanyaan.
Ada satu
catatan penting dalam diskusi ini yakni mengenai usaha pengurangan risiko
bencana dan usaha menghadapi perubahan iklim. Dua tema yang mendapat perhatian
khusus bagi peserta walaupun sebenarnya masih sulit bagi murid seumuran
mereka—kisaran 13 sampai 15 tahun—untuk memahami konsep-konsep yang dipaparkan.
Seusai
melakukan diskusi, peserta segera membenahi perlengkapan mereka kembali untuk
menuju bendungan. Tempat ini ditunjuk oleh mereka sebagai tempat beristirahat
setelah beraktifitas seharian. Di antara mereka ada yang membawa perlengkapan
memasak maupun bahan-bahan masakan—bahan mentah maupun makanan jadi.
Dari
lokasi penanaman pohon, bendungan hanya berjarak kurang lebih 1 kilometer saja.
Bendungan ini memiliki pemandangan batu-batu alam berukuran ‘raksasa’ dengan
selang seling pepohonan. Tempat ini awalnya adalah aliran sungai kecil yang
jernih. Kemudian beberapa petani membendung air untuk mengatur alirannya.
Kemudian air tersebut digunakan sebagai sumber irigasi persawahan. Namun
beberapa tahun terakhir, tempat ini kerap menjadi tempat rekreasi bagi warga
sekitar.
Menurut
salah satu guru yang mendampingi, Ridwan, baru kali ini ada kegiatan di luar
jam sekolah yang melibatkan seluruh siswa. Apalagi bentuknya adalah rekreasi.
Anak-anak akan mengingat dengan baik keseluruhan proses karena kegiatan dikemas
dengan santai.
Keseluruhan
proses baru selesai menjelang sore, setelah masing-masing kelas menyelesaikan
menu masakan yang mereka rencanakan. Sekitar pukul 15.10 WITA, rombongan
kemudian meninggalkan tempat untuk kembali ke rumah masing-masing.[]
[1] Ada lima sekolah yang menerapkan Pendidikan
Bencana dalam skema program Membangun Gerakan Sosial Dalam Usaha Pengurangan
Risiko Bencana. Tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Sinjai seperti SMPN
SATAP Tassoso, SDN 66 Gantarang, SDN 122 Mangottong dan SDN 104 Kalaka.
[2] Tanggal 21 September 2011 silam, Kasim membawa
murid-muridnya menuju titik-titik longsor 2006. Di sana, murid membuat laporan
perjalanannya. Laporan perjalanan ini merupakan tugas dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Kasim mengintegrasikan PRB di dalamnya dengan mengangkat tema
Bencana Longsor. Dari sini kemudian berlanjut pada tugas-tugas lain seperti
pembuatan naskah derama dan mementaskannya (dijelaskan lebih jauh pada tulisan
lainnya, ‘Pendidikan Bencana di Atas Tanah Longsor).






0 komentar:
Posting Komentar