OBAT penutup sakit kali ini, air perasan kunyit dicampur madu. Kunyit menurut Aji mampu membunuh virus di dalam saluran pencernaan. Aku meramunya sendiri. Mulai dari memarut, memeras hingga mencampurkan bahan pelengkapnya ke dalam gelas. Reaksinya, perutku menjadi hangat dan tanganku berubah menjadi kuning.
Dalam kondisi lelah, virus salmoenella typhi bisa menyerang manusia, tepatnya di saluran pencernaan dan menyebar keseluruh tubuh. Bakteri ini berkembang biak di kelenjar getah bening usus. Gejalanya mudah diketahui, mulai dari demam, suhu badan tidak teratur, nafas menjadi sangat panas, badan lemah dan ngilu di sekujur persendian.
Memang seminggu ini aku banyak bergaul dengan istilah 'sakit'. Sehari sebelum berangkat ke Kabupaten Sidrap, Habibi, Ishak dan Tomi demam. Sampai di Sindrap, giliran Aji demam dan besoknya aku menyusul. Parahnya lagi, Zainal, si pemateri Pemetaan Partisipatif juga ikutan demam. Akhirnya pelatihan harus ditunda dua hari untuk pengambilan data di lapangan.
Satu hari selepas pulih dari demam, aku bergegas menulis kembali. Awalnya karena bercak kuning di telapak tangan, sisa kunyit yang aku peras. Aku langsung teringat dengan ibuku.
Walaupun dia tidak pernah mengakui dirinya sebagai seorang mantri (juru pengobatan), ada beberapa tetangga yang mempercayai ibuku memiliki kemampuan khusus mengobati bermacam penyakit. Media pengobatannya hanya berupa kunyit, kapur sirih dan tampah beras/parang.
Aplikasinya, kunyit utuh diparut bersama lumuran kapur sirih di atas tampah/parang. Jika warnanya sangat merah, berarti ada ruh jahat yang mengganggu kesehatan si pasien. Artinya, kemungkinan untuk bisa sembuh, lebih besar. Kemudian parutan kunyit di oleskan di beberapa bagian tubuh dengan membentuk tanda silang. Biasanya dimulai dari kening, lengan, sikut, telapak tangan, perut, punggung, lutut, dan telapak kaki. Terakhir ibuku membaca selawat Nabi dan membuang peralatannya sejauh mungkin sebagai simbol penyakit yang telah dibuang.
Nah, sejak kecil aku kerap disembuhkan dengan cara ini. Entah itu adalah sugesti atau kebenaran yang belum bisa dibuktikan secara medis, nyatanya aku bisa bertahan dari penyakit-penyakitku hingga saat ini. Biasanya pengobatan ini adalah ‘jurus’ terakhir, jika semua obat dari dokter praktek atau dari petugas Puskesmas tidak mampu lagi menyembuhkan.
Pengobatan ala ibuku ini didapatkan secara turun temurun. Nenekku lah yang mengajarkannya. Seingatku, dari saudara ibuku yang menguasai teknik ini hanya ibuku dan adiknya, Darmatasyah. Kemudian turun lagi ke kakak perempuanku, Widya dan Lidya.
Tahun-tahun kemudian berlalu, ibuku pun semakin tua. Kini tidak ada lagi orang-orang yang percaya dengan teknik penyembuhannya. Bahkan tekniknya tidak bisa mengobati penyakit yang dideritanya lima tahun terakhir, penipisan usus. Saudara hingga anaknya pun tidak pernah mencoba untuk menyembuhkan ibuku dengan teknik ini, padahal mereka juga dahulu mempelajarinya. Bahkan membuat rujukan pengobatan di rumah sakit yang penuh bahan-bahan kimia berbahaya.
Tapi aku masih percaya dengan pengobatan ibuku. Aku masih percaya dengan kunyit yang banyak disekitarku. Bahkan aku bisa mendapatkannya secara gratis dari kebun-kebun dan halaman orang-orang desa. Percaya dengan warna cerahnya yang akan membawaku pada kesembuhan. Semoga.[]



0 komentar:
Posting Komentar