Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 08 Februari 2011

LUBANG NIPPONG

Sejarah Pertahanan Jepang di Masa Lalu



SEBELUMNYA telah kuceritakan tentang Pahlawan Ayam, dan mengapa istilah tersebut lahir. Walaupun masih ada beberapa pembaca yang menyangkal objek sebenarnya. Dalam tulisan ini akan menceritakan tentang sejarah orang biasa. Mungkin akan dibahas terlebih dahulu apa ide besar sejarah orang biasa yang dimaksud. Sejarah orang biasa telah populer di Indonesia, jauh sebelum aku mengenalnya lewat tulisan Bambang Purwanto, seorang dosen sejarah “biasa” di UGM. Menurutnya, sejarah bangsa ini selain ditulis oleh dominasi laki-laki, juga militer. Militer disini pun ditentukan lagi siapa yang pantas untuk dituliskan dalam sejarahnya, baik peristiwa, aktor, maupun ideologi yang menjadi pondasi sejarah tersebut. Peristiwanya yah pasti tentang kejadian luar biasa seperti perang, kudeta berdarah, pemilu, dan peristiwa sosial politik besar lainnya. Kemudian peristiwa tersebut harus berhubungan dengan aktor terkenal, tokoh nasional, pemimpin perang, para jenderal dan tokoh besar lainnya, tidak dengan orang-orang kecil seperti petani, guru, murid dan lain-lain. Peristiwa yang dijadikan sejarah selanjutnya dibingkai dalam sebuah nilai untuk menanamkan kepercayaan mendalam, agar seluruh pembaca sejarah patuh pada pembuat sejarah. Semboyannya pasti, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai penguasa (penulis sejarah tunggal) dan sejarah tunggalnya”. Seperti inilah gambaran sejarah Indonesia dituliskan saat rezim militer kuat.

Mari kita telaah lebih “nakal”. Sejak sekolah, buku sejarah harus dicetak massal dan seragam dibawah kontrol Jaksa Agung. Sejarah yang bertentangan dengan kepentingan penguasa dilarang beredar dan jika ketahuan akan dibakar. Jadi tidak ada sejarah alternatif. Tidak heran jika sebagian besar buku-buku Pramodya Ananta Tour lebih banyak di pemanggangan api daripada di perpustakan. Mungkin karena Pramudya bukan penguasa dan tidak ikut perang melawan PKI saat itu. Aku juga tertarik dengan tulisan Nurhady Sirimorok di media elektronik Panyingkul. Dia berpendapat sejarah Indonesi lebih didominasi oleh peristiwa-peristiwa kejayaan pertempuran, dimana militer adalah pahlawan besarnya. Kemudian menanyakan dengan sangat kritis tentang, bagimana posisi pekerja medis dan tukang masak yang sebagian besar adalah perempuan dalam sejarah tersebut? Kenapa nama mereka tidak turut menghiasi kegemerlapan kemenangan perang merebut kemerdekaan? Apakah perang bisa dimenangkan jika tentara-tentara itu kelaparan? Siapa yang merawat mereka saat terluka? Mengapa kesaksian mereka tidak dijadikan sebagai referensi sejarah yang kelak akan dibaca oleh anak cucunya? Kalau kuantitas jenis kelamin laki-laki dalam daftar pahlawan nasional, tidak perlu dibahas lagi, sudah jelas siapa yang menulis sejarah ini. Setelah tahu, apa yang harus kita lakukan?

Sejarah penguasa dapat membangun kepercayaan di kepala khalayak bukan hanya karena penguasa semakin kuat, tetapi sipil yang semkin lemah untuk menghadirkan sejarhnya dalam versi lain. Kemampuan menuliskan sejarah orang biasa oleh orang biasa bukanlah bakat atau keahlian khusus. Ketekunan menelorkan wacana alternatif kepada khalayak adalah amunisi yang baik untuk melawan dominasi tersebut. Mulailah dengan mengumpulkan serpihan-serpihan cerita  masyarakat, misalnya yang paling dekat, nenek, mbah atau datuk. Kemudian nenek tetangga dan seterusnya, dengan merujuk waktu masa hidup mereka. Sejarah lisan adalah salah satu tools yang dapat digunakan. Dengan model ini, kita dapat mendengar pengalaman sejarah orang biasa dari tangan kedua pengalaman, misalnya orang tuanya nenek kita. Jika nenek kita lahir tahun 1940-an, maka kita dapat mendengar kejadian tahun 1920-an dari nenek kita. Terbayang tidak mendengar sejarah tempat kita dahulu, di tahun 1920-an, padahal rencana reproduksi ari-ari nenek kita pun belum ada. Lebih teknisnya, suruh saja nenek cerita, kemudian direkam dan buat transkripsi wawancaranya. Setelah itu, tuliskan dan jangan lupa kolaborasi dengan buku bacaan yang tidak perlu rumit untuk dimengerti. Perlu aku ingatkan, bahwa tulisan ini bukan sedang membahas teknik penelitian, hanya ingin memberi gambaran tentang sejarah orang biasa, yang ditulis sebagai counter wacana dominan penguasa.

***

BAIKLAH, akan kumulai ceritanya dengan pagi ini. Umur pagi jika dibandingkan dengan umurku, jelas aku jauh lebih muda. Hanya saja, para guru dari Universitas Indonesia Timur dan aku sempat menjadi tua karena menunggu pemandu jalan. Yah, pemandu ini punya tugas baru, yakni mengambil bantuan bahan pangan untuk kami selama di desa Tassese, sumbangan dari organisasi pedagang pasar Terong, SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong). Seperti biasa, perjalanan dimulai dengan saling menunggu, terutama saat pengisian bahan bakar kendaraan. Konsekuensi keterlmbatan berangkat adalah berkurangnya waktu mengajar guru-guru ini di SMPN 3 Tassese. Sekolah ini memiliki tiga kelas, dan belum memiliki alumni seorangpun. Wajar saja, karena sekolah ini baru ada setelah menerima hutang luar negeri dari tetangganya tahun 2007 lalu. Murid-murid memang telah menikmati gedung yang layak, bahkan sangat indah untuk ukuran “sekolah kampung” (maaf menggunakan istilah “sekolah kampung”, karena sangat sulit mendapatkan padanannya saat penulisan), namun tidak dengan gurunya. Itulah alasan perjalanan kami ke Tassese.

Dua minggu lalu, Pahlawan Ayam begitu terkejut merasakan jauhnya perjalanan murid-murid untuk menduduki kursi santainya di sekolah. Pahlawan Ayam berserta Peri Pengetahuan mengikuti murid-murid menuju perjalanan pulang untuk merasakan langsung semangatnya. Berbeda dengan hari ini, kami  yang dijanjikan akan mencoba merasakan semangat dari perjalanan guru menuju sekolah. Kini, giliran rumah Ibu Sartika menjadi tujuannya. Aku, pahlawan ayam dan empat orang guru tahu bahwa langit telah sangat gelap. Sesaat lagi hujan pasti akan turun. Keinginan melihat Lubang (penamaan untuk sebuah gua buatan manusia oleh penduduk setempat) adalah dorongan paling kuat untuk mengindahkan mendung. Walhasil, belum sampai setengah perjalanan, kami harus basah oleh hujan, tanpa ada satupun tempat berteduh di sepanjangnya. Kami belum saling mengenal sebelumnya, kecuali aku dan Pahlawan Ayam. Di sepnjang perjalnan itulah kami mulai mengenal. Baiklah, akan aku perkenalkan satu persatu guru-guru ini.

Guru pertama aku namakan saja Al Mubarokah. Dia adalah seorang perempuan berambut ikal, dengan bandol separuh – sebenarnya telah rusak karena patah, bukan bentuk sebenarnya yang separuh – yang digunakan untuk menahan kerapihan rambutnya. Ada tiga hal yang kuketahui sebelumnya dari dia. Pertama, niatnya untuk ikut kerena prihatin mendengar kondisi sekolah melalui seorang teman. Kedua adalah namanya. Aku tahu namanya dua hari sebelum keberangkatan. Dan yang terakhir adalah, dia mudah terkejut seraya mengucapkan apa saja diluar kendali (latah). Al Mubarokah adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di sangat suka perjalanan yang melibatkan indranya secara langsung, terutama indra penglihatan. Ini bisa dilihat dari kesigapannya saat sesi pemotretan bersama, bahkan sendiri sekalipun. Yang paling mencolok dari perempuan ini adalah kata “Sumpah” yang kerap hadir ketika dia berusaha meyakinkan lawan bicaranya.

Guru kedua adalah teman lama Al Mubarokah, Al Ikhlas. Dia adalah laki-laki bertubuh mungil (dia suka dengan penggunaan mungil daripada kecil karena terdengar lebih manis) dengan rambut depan yang kerap menutupi sebagin tengkorak depan kepala. Al Ikhlas adalah teman kecil Al Mubarokh sejak mereka diimunisasi oleh orang tua mereka. Aku menyaksikan begitu hati-hatinya Al Ikhlas menjaga Al Mubarokah selama perjalanan. Pengawasan yang begitu ketat, hingga aku begitu yakin mereka benar-benar telah berteman sejak kecil. Pertama kali melihat dia, ke-diam-an adalah konsep yang melekat pada Al Ikhlas, namun tidak setelah mengenalnya lebih jauh. Dia adalah laki-laki yang cerewet, dengan banyak koleksi lelucon yang mencairkan suasana kaku kami selama perjalanan.

Guru ketiga bernama Al Akshom. Ibunya adalah seorang bidan. Dia berasal dari sebuah desa terpencil di Pinrang, desa Ulu Saddang. Tubuhnya cukup ideal dengan tinggi normal untuk laki-laki dewasa. Aku pernah kedesanya di Pinrang beberapa bulan lalu. Di sekolah desanya juga mengalami nasib yang hampir sama dengan yang terjadi pada sekolah di Tassese. Dia memilih untuk keluar dari desa Ulu Saddang bersama orang tuanya setelah menetap selama lima tahun disana. Tidak banyak yang aku ketahui dari sikap diamnya. Tapi tetap saja diam itu harus bersaing dengan bahasa non verbalnya saat sesi pemotretan.

Guru keempat adalah Baiturrahman. Jika pernah sekali melihatnya, pertemuan kedua pasti bisa langsung membedakannya dari tiga guru sebelumnya. Kata kuncinya adalah “Rambut”. Rambutnya begitu khas, karena ikal rambutnya dibiarkan tergerai ke atas (tanpa sedikitpun bermaksud mendiskreditkan fisik). Dari rambut inilah kemudian Baiturrahmn sangat disukai oleh murid-murid kelas II. Suatu kali seorang murid bernyanyi dengan melafazkan namanya dengn merdu. Murid tersebut tidak sabar untuk diajar olehnya, saat dia sedang menyampaikan materinya di kelas III. Dengan suara serek-serek, menambah ketampanan Baiturahman di mata dan hati murid-murid kelas dua.

***

SEPERTI diceritakan di awal, hujan menyertai perjalanan kami menuju rumah ibu Sartika. Hutan begitu rimbun dengan semak, karena sejak beberapa minggu lalu musim hujan membasahi hutan. Jalan yang licin menggesek serat-serat alas kaki kami. Lumpur dengan mudah menempeli permukaan alas kaki, sehingga langkah kami diperberat olehnya. Penujuk separuh jalan kami adalah Pahlawan Ayam. Kemudian digantikan oleh seorang petani yang kami temui di tengah perjalanan. Petani itu bersama istri dan anaknya sedang mencangkuli sawah yang mulai becek oleh hujan. Pahlawan Ayam digantikan oleh petani itu, karena Pahlawan Ayam lupa jalan menuju rumah Ibu Sartika. Setelah menempuh perjalanan panjang menyusuri hutan liar, kami beristirahat sejenak sambil mendengarkan arahan ibu Sartika tentang Lubang yang akan kami datangi. Kemudian kami dibuatkan obor dari sebatang bambu kecil berisikan minyak tanah, dengan sumbu dari serabut kelapa. Katanya, kami memerlukan ini untuk masuk kedalam Lubang, karena disana sangat gelap. Tidak jarang, kami akan menemukan beberapa jenis binatang berbahaya seperti ular, babi hutan dan binatang lainnya.

Lubang terletak di puncak bukit yang tinggi. Jika berdiri di atas sana, maka nampak kota Makassar dan pantai Losari oleh mata. Setelah sekejap menikmati pemandangan dari ketinggian, kami memasuki bagian inti perjalanan, menelusuri gelapnya Lubang. Menurut Pak Lawang, Lubang merupkan tempat persembunyian bagi pemberontak DI/TII dari kejaran tentara pemerintah. Namun Lubang ini telah ada sejak masuknya tentara Dai Nippon Jepang. Mereka membuat banyak Lubang di Tassese untuk menahan serangan sekutu pada masa Perang Dunia II yang berakhir dengan kekalahan Jepang setelah dua kota utamanya dihancurkan oleh sekutu dengan Bom Atom. Namun hanya beberapa yang masih tersisa, karena tidak mmpu lagi menahan serapan air hujan. Lorong di dalamnya saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Selain gelap, yang pertama kami temui saat masuk adalah segerombolan burung walet (yang awalnya aku kira itu kelelawar) berhamburan keluar karena merasa terganggu oleh kehadiran kami. Dua orang anak-anak yang menyertai perjalanan kami menuju lubang, begitu riang mengusir burung-burung dengan ranting pohon, sementara dua anak yang lebih besar lainnya tetap terjaga mengawasi keselamatan kami.

Tentu saja Jepang menempatkan Lubang pertahnannya di Tassese, karena letaknya yang tinggi, sehingga mudah dalam mengawasi pergerakan musuh. Bukan hanya jepang, DI/TII pun turut memanfaatkan ketinggian dalam bertahan sekaligus memantau musuh-musuhnya. Aku bisa membayangkannya saat berada di dalam salah satu mulut Lubang – tempat meletakkn senapan mesin – begitu srategisnya letak bukit ini sebagai tempat pertahanan saat perang. Sekarang, Lubang ini bukan lagi tempat bertahan atau berlindung, karena perang telah berakhir. Sekarang telah disulap oleh anak-anak Tassese sebagai tempat bermain mereka.

Pak Ruddin kemudian mempertegas pernyataan pak Lawang terkait asal mula adanya Lubang ini. “Itu Lubang tentara Nipong kami menyebutnya, karena dulu orang tua saya bercerita seperti itu”, ucap pak Ruddin dengan dialek Makassarnya. Inilah serpihan sejarah besar Tassese yang tidak sempat dituliskan oleh penguasa, karena Tassese bagi penguasa bukanlah tempat penting seperti ibu kota. Tetapi bagi pak Ruddin dan masyarakat Tassese lainnya, Tassese adalah tanah kelahiran mereka yang dianggap tidak kalah  pentingnya dari ibu kota.

Sepulang dari Lubang, kami disambut dengan hidangan istimewa oleh ibu Sartika dan secangkir teh dan kopi hangat. Setelah cukup istirahat, kami kembali ke rumah pak Ruddin, karena besok harus kembali mengajar. Sasaran utama setelah tiba adalah mencuci pakaian basah kami, karena sebagian dari kami tidak membawa persediaan pakaian yang cukup.

Seperti hari-hari awal para guru (volunteers) mengajar, murid-murid tetap bersemangat mengikuti pelajaran. Para gurupun sejak awal telah menyiapkan pembagian kerja, siapa yang mengjar di kelas I, siapa di kelas II dan siapa di kelas III. Saat jam istirahat, beberapa murid menawarkan kepada kami untuk mengunjungi air terun yang ada di Tassese sebelum kami pulang sore ini. setelah makan siang, mereka langsung mendatangi tempat istirahat kami, seolah tangan-tangan ini ditarik lembut untuk segera berkemas mengikuti mereka ke tempat kesayangan. Air terjun adalah pertemuan penutup perjalnan minggu ini, dan segera menyempatkan untuk berfoto bersama dengan anak-anak murid. Al Ikhlas telah duduk di atas kendaraannya sambil berucap, “Tidak sabar menunggu minggu depan. Pokoknya harus kembali ketempat ini!” seiring laju kendaraan kami meningglkan Tassese.

Catatan tahun lalu bersama PILAR (Pintu Belajar).

PARANGLUARA'

Lembah Desa Indah Nan Subur



JUMAT sore, dua kendaraan motor melintasi punggung aspal berair. Ban karetnya sesekali menghidari kubangan, sesekali pasrah menghambur air di dalamnya. Kubangan di atas jalan seperti sumur, dengan pecahan batu gunung yang terpisah kecil-kecil dari aspal di pinggirannya. Sepertinya hujan senang membuat lubang di jalan. Begitu banyak kubangan hingga memaksaku untuk mengambil jalur terluar jalan yang membuat banyak air terpingkal dari daun semak-semak yang tertabrak kemudi.

Semak itu sedang semangat-semangatnya tumbuh hingga menyeberang melalui parit, masuk ke jalan. Daunnya yang lebat ditempeli air sisa-sisa hujan pagi tadi. Sawah pun tidak mau kalah, memeluk dan menyambut riang air hujan, kemudian membagikan kepada padi-padi penduduk. Titik-titik hujan di permukaan genangan air sawah seperti gelombang senyum kecil, berhiaskan lesung padi hijau di pipinya.

Sudah dua minggu ini, sepanjang jalan masuk  desa Tassese ramai oleh potongan bambu dan laki-laki menggenggam parang dan linggis. Serbuk gergaji tidak banyak bergerak saat motorku melaju disampingnya, karena air memaksanya untuk tidak pergi kemana-mana.  Geraman mesin beselingan dengan hentakan pukulan kayu menghantam batangan bambu masuk di lubang yang telah disiapkan sebelumnya. Lubang berbaris rapih di depan rumah-rumah. Lubang itu pasti bentukan linggis, sebab linggis tidak mampu lagi berbohong padaku yang menyaksikan sisa tanah dan lelah yang menempeli tubuhnya. Basah keringat di tubuh linggis bercampur dengan air hujan. Keringat itu adalah tetesan semangat pembuatnya yang kini juga basah dan terduduk menikmati istirahat.

Penduduk mempersiapkan banyak Pancasila – sebutan penduduk untuk merujuk pagar depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu – di depan rumah masing-masing. Sementara Perempuan dan anak-anak terlihat membungkuk-bungkuk menata tanah untuk ditanamai bunga, sayur, maupun tanaman kebutuhan dapur seperti kunyit, talas, cabe dan lain-lain. Ini bukan lahan pertanian konvensional, hanya memanfaatkan luas pekarangan rumah untuk dikelola. Ukurannya pun hanya 2.5x4 meter persegi. Kerja mereka adalah perintah Kepala Desa yang hendak mengikuti lomba. Semuanya seperti terlatih untuk tersenyum kepada siapapun yang melintas saat mereka bekerja. Aku puas melihat senyum menyambut itu, mungkin bukan bagian dari perintah Kepala Desa.

***

DESA Tassese memiliki dua pusat haparan lahan pertanian yang ditanami padi. Hanya tanaman padi. Lahan ini terletak di sebelah Timur dan Barat ibukota desa. Hamparannya tidak berbentuk dataran, tetapi bukit-bukit. Hamparan di sebelah Timur, dikelilingi oleh hutan yang telah nyaris gundul akibat penebangan. Kemudian hamparan di sebelah Barat, tebing berbatu memagari hijaunya. Kalaupun ada lahan berbukit, biasanya penududuk menanaminya dengan coklat, kopi atau jagung. Itupun hanya sedikit. Tidak ada tanaman lain yang dibudidayakan penduduk, sebagian besar hanya bertumpu pada tanaman padi.

“Tidak pernah kami kekurangan beras, persediaan kami selalu cukup untuk dimakan dan dijual”, tegas ibu Maimunah. Dengan menggunakan lahan basah tadah hujan, padi hibrida milik petani mampu menguning dua kali dalam setahun.

Kebutuhan akan beras bagi penduduk Tassese memang sangat tercukupi, bahkan untuk memuaskan hasrat konsumsi lain. Namun, tanpa disadari model tanam monoculture seperti ini, sangat membatasi kedaulatan pangan mereka. Misalnya saja mereka masih harus mengkonsumsi sayur-sayuran dari luar desanya. Padahal jika dilihat, jenis tanah, ketinggian dan suhu sangat memungkinkan mereka untuk menanam sendiri tanpa harus bergantung dari luar. Ini dapat aku rasakan ketika menanyakan kepada isteri pak Ruddin bahwa aku membutuhkan cabe. Lalu dia mengatakan bahwa sudah seminggu ini tidak belanja di pasar, jadi tidak ada cabe! Untuk cabe saja, harus mengkonsumsi dari pasar. Padahal lahan mereka masih cukup luas untuk sebuah tanaman cabe, bahkan tanaman lain untuk kebutuhan dapur lainnya. Ketergantungan terhadap kebutuhan pangan lain seperti cabe, serai, tomat mungkin tidak serumit ketergantungan terhadap kebutuhan ikan, karena memang sulit membudidayakannya di dataran tinggi dengan bukit yang terjal.

Model tanam seragam ini bukan hanya menumbuhkan ketergantungan saja, tetapi juga menjadikan kurangnya keragaman jenis tanaman. Andai saja petani di Tassese mau menanam jenis selain beras – tetapi tidak mengganggu ketersediaan kebutuhan akan berasnya – pastinya tanaman tersebut bisa menutupi kebutuhan lain yang belum terpenuhi. Bahkan Tassese bisa saja menjadi pemasok hasil pertanian selain beras. Selain itu, petani juga bisa mengkonsumsi sayuran yang lebih segar, karena dapat langsung memetiknya dari lahan sendiri saat dibutuhkan. Minimal dapat mengurangi konsumsi mie instan sebagai lauk-pauk mereka. Jika mampu mengurangi ketergantungan kebutuhan dari luar desanya, maka petani akan mampu mengurangi biaya konsumsinya. Nah, biaya ini tentunya bisa digunakan untuk kebutuhan lain, terutama biaya pengelolaan lahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Terutama biaya produksi beras yang masih sangat tinggi dengan harga jual yang rendah.

Biaya produksi beras petani Tassese masih sangat mahal. Petani masih menggantungkan kebutuhan mereka akan bibit dan pupuk dari pasar, baik yang bersubsidi (dari pemerintah) maupun tidak bersubsidi (dari swasta). Karena pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia seperti Urea, TSP dan ZA – tidak bisa diproduksi sendiri oleh petani karena membutuhkan laboratorium – maka  petani harus membelinya dari Dinas Pertanian melalui GAPOKTAN atau langsung membelinya di pasar atau toko-toko pertanian. Jika ditelaah dengan seksama, maka biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk akan lebih besar dibadingkan petani membuat sendiri pupuknya. Pupuk yang memungkinkan untuk petani buat adalah pupuk organik, karena bahan-bahannya – seperti kotoran ternak, sisa pembakaran dapur, daun-daun dan ranting – mudah ditemukan disekitar Tassese.

***

LAHAN yang sangat luas dimiliki oleh petani Tassese, tetapi mengapa tidak mampu menjadi pendorong kemajuan bagi masyarakatnya? Apakah petani Tassese tidak lagi kreatif dalam memajukan kualitas hidup? Atau ada sebuah sistem “kelaparan” yang terus memakan hasil keringat petani? Untuk melihat mekanisme sistem sosial besar yang berlaku di Tassese – melakukan analisis kritis – perlu melihat mekanisme kerja institusi pemegang kebijakan maupun kepentingan di baliknya.

Institusi terdekat petani dalam lingkup desa, ada yang namanya GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani). Lembaga ini memang memiliki kekuatan untuk mengorganisir petani dengan baik, karena sebagai lembaga formal, juga sebagai perpanjangan tangan institusi besar negara. Jadi kepercayaan petani terhadap lembaga ini sangat kuat. Jika ditarik ke masa silam, terutama akhir 1960-an, petani begitu takutnya di cap sebagai “PKI” – pengistilahan yang digunakan oleh masyarakat Tassese. Adapun yang dianggap sebagai “PKI” ialah mereka yang membangkang dari wacana yang ditelorkan rezim. Jadi apa yang diucapkan oleh rezim, maka harus diikuti atau siap-siap dicap sebagai “PKI”. Rezim ini menggunakan institusi-institusi pemerintahannya di segala tingkatan, dari pusat hingga desa. “Dulu ada orang-orang yang menjanjikan alat-alat pertanian kepada kami jika kami memilih masuk di organisasinya. Tentunya kami mau, karena gratis. Orang-orang itu adalah PKI. Ternyata cangkul, sabit dan linggis yang dijanjikan tidak ada, dan banyak saudara kami yang ditangkap setelahnya. Padahal hanya menandatangani surat yang kami tidak tahu isinya, maklumlah karena saat itu belum bisa baca tulis. Setelah itu, semua warga tidak mau lagi percaya dengan orang luar dan cenderung mengikuti apa yang dikatakan oleh Kepala Desa atau Camat karena mereka pemerintah”, Sambil tertawa Kepala Dusun menceritakan mengapa penduduk mendengarkan apa yang menjadi ucapan dan perintahnya.

Dari ketakutan akan pelabelan, kemudian GAPOKTAN sebagai institusi pemerintah mewujudkan kepentingan negara melalui kebijakannya. Ada dua kebijakan yang menurutku sangat merugikan petani, pertama adalah penyeragaman jenis tanaman sebagai komoditas desa. Penyeragaman inilah yang kemudian menjadikan petani masih bergantung pada luar karena tidak mampu memenuhinya sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, model tanam seperti ini akan menghilangkan kedaulatan pangan petani. Istilah komoditas unggul menjadi kilah penyeragaman jenis tanaman dan menlanggengkan ketergantungan. Kemudian petani secara halus dipaksa menanam jenis padi yang sama dari Dinas Pertanian. Memang awalnya petani ditawarkan hasil yang lebih banyak dari jenis padi lokal, dan masa tanam yang relatif singkat. Namun tanpa disadari, petani kini menggantungkan diri kepada bibit hibrida dari Dinas Pertanian dan berhenti untuk membuat bibit sendiri. Kemudian, karena bibit hibrida membutuhkan pupuk khusus, maka Dinas Pertanian memiliki jualan baru. Bertambahlah biaya tanam petani.

Yang lebih parah lagi, petani yang tidak tergabung dalam GAPOKTAN, maka akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bibit dan pupuk, lalu berlahan akan “mati suri”. Jika petani mau bertahan dengan pola tanam lama, yakni dengan menggunakan bibit hasil sendiri, memakai pupuk olahan sendiri dan jenis tanaman lokal dengan beragam jenis tanaman, maka kebertahanan petani akan pangan akan lebih kuat. Jadi dengan hegemoninya, negara melalui institusinya telah membuat kerusakan model bertanam petani dengan penyeragaman tersebut. Kini, sangat sulit untuk melakukan perubahan model tanam – mengganti bibit hibrida dengan bibit lokal, mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik – karena tanah petani telah resisten terhadap tanaman lokal. Selain itu muncul pula bermacam hama penyakit tanaman, karena rusaknya ekosistem lingkungan. Predator alami – seperti ular, katak dan lain-lain – yang dulu menjadi sahabat petani, kini berkurang populasinya akibat penggunaan pupuk kimia.

Kedua adalah penyeragaman musim tanam dan adanya konsep Panen Raya. Untuk kesekian kalinya, Dinas Pertanian melalui penyuluhnya coba merasionalkan kepentingannya di GAPOKTAN tentang musim tanam. Musim hujan adalah alasan yang paling mungkin diterima petani, karena sebagian besar menggunakan sistem lahan basah tadah hujan. Solusi jangka pendeknya adalah menanam secara bersamaan di awal musim hujan. Sementara solusi jangka panjang, seperti membangun sarana irigasi tidak mendapat peluang. Jika sebagian besar hidup masyarakat di Tassese digantungkan pada pertanian, mengapa begitu banyak anggaran yang dikeluarkan hanya untuk menyediakan bibit hibrida, pupuk kimia dan gajih penyuluh saja. Bukankah petani sejak lama telah memiliki sistem tanam yang bisa memenuhi kebutuhannya. Bukankah sistem lahan basah irigasi bisa menjadi salah satu solusi menarik?

Kemudian hadirlah beberapa masalah dari penyeragaman ini, pertama hadirnya spekulan harga bibit dan pupuk saat musim tanam, serta makelar rente pemberi kredit berbunga tinggi. Pada masa tanam ini, tiba-tiba saja bibit dan pupuk menjadi sesuatu yang langka dan mahal. Maka yang terjadi adalah petani harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan masa tanam. Tidak jarang, mencari pinjaman adalah langkah paling mungkin ditempuh, bahkan dengan bunga tinggi. Kedua, hadir pula konsep Panen raya. Secara serentak petani memanen hasil tanamnya. Serentak pula menjemur dan menggiling gabah menjadi padi dan serempak menjual. Akibatnya, padi melimpah di pasaran. Harganya pun menjadi jatuh, sama seperti hukum penawaran-permintaan dalam ilmu ekonomi.

***

INI bukanlah sesuatu yang baru, Ayah menegaskan hal itu. Tetapi jujur, aku baru tersadar akan nasib petani yang memberiku makan dua bulan ini. Beras yang aku kunyah bersama mereka. Ayah dengan pendapatnya menganggap aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk petani itu. Ada nada keraguan dari penjelasannya. Aku menangkapnya seperti itu. Aku memang belum berbuat apa-apa di Tassese. Mungkin saat ini hanya bisa merekam kegiatanku bersama volunteers, bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai ajang jalan-jalan atau berwisata. Aku juga merasakan seperti itu jika melihat beberapa foto aktifitasku. Apakah aku salah jika menikmati aktifitasku? Atau aku harus menampilkan foto kesedihanku saat berada di sana?

Dua bulan ini, aku belum melakukan apa-apa, itu adalah sebuah kebenaran. Untuk keputusan melanjutkan atau berhenti sampai di bulan Maret, aku belum pula berani turut menentukan. Sungguh ada beberapa undangan untuk melanjutkannya, tetapi aku butuh undangan yang lebih banyak. Aku menginginkan kalimat, “Ayo kita perpanjang saja keberadaan PILAR di Tassese! Terus mengoceh dan belajar dari manusia-manusia Tassese, hingga kemudian mereka menjadikan PILAR sebagai bagian dari dirinya, atau bosan dan mengusir kita!”. Aku ingin PILAR memaksaku untuk terus bersamanya.

Catatan tahun lalu bersama PILAR (Pintu Belajar).

Ternak Sapi, Pupuk Organik dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi



KOMPANG, desa dingin di atas perbukitan Sinjai Tengah yang penuh dengan pinus. Pohon peminum banyak air di dalam kawasan hutan lindung. Di desa ini tanaman padinya sedikit. Seminggu sudah berada di sini, memandang sawah pun sulit. Padahal makanan yang tersaji di di banyak piring penduduk adalah nasi yang sekarang sudah semakin sulit. Seperti apa yang dilakukan mereka untuk memenuhi pangan dengan lahan padi yang menyempit?

            Bukannya petani tidak ingin menanam padi. Kondisi alam yang membuatnya rumit. Terjalnya bukit-bukit  menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk mempertahankan jenis tanaman ini.

Ada beberapa alasan mengapa petani semakin enggan menanam padi, selain biaya produksinya yang semakin mahal—harga bibit, pupuk dan pestisida—juga membutuhkan tenaga ekstra untuk mengolah lahan berbukit. Pertama, harga jualnya tidak sebanding dengan biaya produksi [nantilah dihitung pastinya di tulisan lain]. Kedua, menanam ataupun tidak menanam padi, kondisinya tetap saja petani harus membelinya karena luas lahan yang tidak seberapa. Ketiga, alasannya lebih cenderung subyektif dari pernyataan Samsuddin, yakni ingin mengembangkan perkebunannya saja—kopi, cengkeh dan coklat—karena padi tidak memberikan keuntungan bagi ekonomi keluarganya. Sementara, butuh tenaga lebih untuk mengurus lahan pertanian padi ini. Ketiga alasan inilah yang kemudian menjadikan Samsuddin memutuskan untuk memberikan sawahnya kepada keluarganya.

Kerentanan akan kebutuhan pangan sebenarnya sedang mengancam petani di Kompang, terutama kebutuhan pokok yang satu itu, beras. Namun untuk kebutuhan lain, seperti sayur dan buah-buahan masih bisa dipenuhi sendiri. Hanya untuk lauk ikan dan beras saja saat ini yang harus dibeli. Kemudian, bagaimana nasib lahan pertanian di desa Kompang nantinya? Apakah dengan kerentanan pangan ini petani bisa terus mempertahankan kualitas hidupnya?

***

SAPOLOHE [banyak rumah atau pemukiman], salah satu kelompok tani yang ada di desa Kompang. Anggotanya kini sekitar 35 orang petani. Jumat sore, aku bersama Imran dan Dedy bergegas ke rumah ketua kelompok tani Sapolohe. Bukan bergegas Imran, terburu-buru! Bahkan untuk menugguku. Aku yang harus mempercepat gerakan mandiku. Akhirnya aku harus menyusulnya bersama Dedy karena Imran telah lebih dulu pergi.

            Setiba di rumah ketua kelompok tani Sapolohe, Imran nampak sedang bercerita dengan Samsuddin dan kedua anak laki-lakinya di depan rumah. Di atas kaki lima rumah Samsuddin, tertutupi terpal biru, ada setumpuk pupuk organik (jenis pupuk kandang) terbungkus oleh karung-karung kemasan.  Pupuk ini menjadi pembuka pembicaraan kami. Aku ikut saja ceplas ceplos sambil mencari informasi mengenai kelompok yang diketuai oleh Samsuddin ini.

Dalam hati aku mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Karno, ‘perbanyaklah bertanya dan mendengar cerita-cerita orang desa, jangan sampai mereka yang mendengarkan ceritamu. Tidak akan ada informasi yang akan didapatkan kalau kau yang banyak cerita!’, seperti itu pesan yang aku ingat saat itu.

Ini tahun pertama bagi bantuan pupuk organik. Di desa Kompang, Cuma hanya tiga kelompok tani saja—dari 13 kelompok tani yang ada—yang mendapatkan bantuan pupuk ini. Kelompok tani dianjurkan untuk membuat proposal permintaan sebelumnya. Samsuddin menerima bantuan ini kemarin. Ada kurang lebih 105 karung pupuk yang sampai ke tangan Samsuddin. Untuk satu karung pupuk berisi 50 kilogram. Masing-masing petani mendapatkan jatah pupuk organik bantuan sebanyak tiga karung (150 kilogram). Harga pasaran pupuk jenis ini umumnya berkisar 100 ribu rupiah per karung. Sedikit lebih mahal jika dibandingkan pupuk kimia yang selama ini digunakan oleh petani. Pupuk ini dibawa dari kabupaten tetangga, Bulukumba.

Baru kali ini petani mendapatkan bantuan pupuk untuk jenis organik. Selama ini petani menggunakan pupuk kimia jenis Urea, MPK dan ZA. Artinya, petani baru akan mempelajari dan mengujicobakan pupuk organik ini di lahan mereka. Samsuddin sendiri masih belum bisa menentukan peruntukan pupuk ini, akan digunakan untuk tanaman perkebunannya—komoditi ekspor seperti kopi, cengkeh, dan coklat—atau tanaman padinya. Untuk keunggulan dan kekurangan penggunaan pupuk, tentu belum terbongkar rahasianya.

***

SAMSUDDIN mengaku sangat senang karena pernah pergi melihat kondisi petani di Jawa. Dia senang karena SRP PAYO-PAYO memberikan jalan kepada dirinya dan teman-teman petani yang lain untuk belajar bersama di Solo. Banyak pelajaran yang dia dapatkan, terutama mengenai manfaat dan keuntungan memelihara sapi. Setidaknya, hal ini yang paling membekas dalam benaknya sepulang dari Solo.

            Samsuddin menyoroti mengenai keunggulan memelihara sapi yang dia pelajari dari petani di Jawa. ‘Satu kali kerja, tapi dapat tiga keuntungan’, celotehnya.

            Kemudian melanjutkannya dengan penjelasan mengenai apa yang dilakukan petani di jawa yang bisa diambil sebagai contoh. Misalnya, dengan memelihara sapi, selain mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan dagingnya, juga bisa mendapatkan keuntungan lain karena kotorannya bisa digunakan sebagai pupuk dan kebutuhan energi alternatif seperti biogas. Petani di Jawa memelihara sapi dengan mengandangkannya, tidak seperti petani di Kompang pada umumnya. Petani hanya mengikat sapinya di pohon cengkeh, pohon coklat atau pohon lainnya yang banyak terdapat rumput pakan di sekitarnya.

Petani di Jawa mengandangkannya dan menanam rumput di ladang. Biasanya pada pagi hari, petani mengambil rumputnya untuk diberikan kepada sapi di kandangnya. Upaya penggemukan ternak istilahnya, agar sapi bisa dijual  dengan harga yang lebih mahal.

Ini bisa menjadi sumber perokonomian baru bagi petani. Saat ini, semakin banyak petani yang mencoba untuk memelihara sapi. Karena sudah banyak contoh petani yang mencoba beternak sapi dan mendapat keuntungan dari hasil ternaknya. Apakah kepergian beberapa petani Kompang ke Solo benar-benar menjadi satu-satunya faktor yang mendorong petani untuk memelihara sapi? Apakah hal ini akan berdampak pada aktifitas bertani penduduk? Setidaknya kedimpulan awalku, dari beberapa aktifitas yang dilakukan SRP PAYO-PAYO di desa Kompang, mengajak petani Kompang belajar bersama petani di Solo adalah yang paling berkesan.

***

PROGRAM KKBE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) ternyata menjadi faktor lain yang memuluskan niat petani di Kompang untuk coba memelihara sapi. Kredit berbunga rendah ini—karena sebagian bunga ditutupi oleh subsidi dari pemerintah—disalurkan melalui BRI (Bank Rakyat Indonesia) cabang Sinjai. Masing-masing petani diberikan pinjaman sejumlah 25 juta rupiah per kepala dengan bunga 0,1 % dan lama pembayaran selama tiga tahun. Syaratnya mudah. Petani cukup terdaftar di salah satu kelompok tani yang terdaftar di desanya, kemudian menjaminkan sertifikat tanah dan rumah kepada bank. Maka sejumlah uang pun langsung dicairkan.

            Kredit inilah kemudian yang digunakan petani untuk membeli sapi kemudian melakukan penggemukan. Untuk uang sejumlah 25 juta rupiah, petani bisa membeli sapi lima sampai tujuh ekor. Jika tekun memeliharanya, harga jual sapi bisa mencapai enam sampai delapan juta rupiah per ekornya. Tentu setelah melakukan penggemukan sebelumnya.

            Pihak bank berjanji bahwa petani bisa meminjam dalam jumlah lebih besar jika telah melunasi kreditnya. Dengan catatan, tidak ada yang bermasalah di seputar penunggakan pembayaran di tiga tahun pertama. Kerja sama yang baik di awal akan menjamin kelajutan program kredit ini. Jadi, jika petani ingin program ini berjalan berkelanjutan, mereka harus menaati semua aturan perjanjian yang sudah disepakati sebagai perwujudan kepercayaan pihak bank kepada petani.

Walaupun program ini mudah secara teknis dan mudah bagi petani untuk melunasinya—karena bunga yang kecil dan jangka pengembalian yang panjang—masih ada petani yang masih enggan menggunakan keredit ini. Alasannya sederhana dan sangat umum, tidak mau terikat dengan hutang, ‘tidak nyenyak tidur kalau ada hutang’, takut tidak bisa membayar dan takut rumahnya disegel oleh pihak bank dan polisi.

Sabtu, 05 Februari 2011

Portal Pencuri dan Motor Jepang 'Bau Cengkeh'



SEHARI setiba di desa Kompang rasanya seperti baru melewatinya satu jam. Bukan karena aktifitas yang padat, tetapi waktu tidur yang berlebihan. Udara yang sejuk, bahkan nyaris menjadi sangat dingin saat malam mejadikan jadwal istirahat semakin mendominasi. Apalagi setelah lima jam perjalanan yang melelahkan. Jalan berbukit, berkelok dan semakin menelikuk berusaha menghindari lubang-lubang jalan.

            Saat seperti ini sangat mirip dengan bayanganku saat membaca cerita-cerita pengorganisiran dalam buku-buku maupun artikel-artikel. Suasana membingungkan di mana terjadi kelangkaan inisiatif dalam beraktifitas. Belum bisa menentukan apa yang ingin dilakukan. Hanya bisa mereka-reka metode apa cocok digunakan esok. Membayangkan pembicaraan dengan petani-petani di kebun mereka, ikut dalam pembicaraan sore ibu-ibu, membeli rokok di warung sembari mencari informasi, sampai masuk di dalam kantor birokrasi untuk mengosiasikan pertemuan. Sayangnya semua masih hayalan. Berhayal banyak hal, nyatanya masih terduduk diam di teras rumah menghitung jumlah kendaraan yang melintas di depanku.

Jumlah motor yang masuk di desa Kompang saat ini sangat banyak. Untuk satu pengusaha jual beli motor seperti pak Udin saja, sudah ada sekitar 20 buah motor yang terjual dari tangannya di desa ini. Semakin banyak peminat kendaraan asal negara matahari terbit ini. Pak Udin termasuk pedagang motor yang ulet. Selain di Kompang, dia juga menjual motornya di beberapa daerah lain seperti Palopo, Sengkang, Toraja, hingga di provinsi lain seperti Sulawesi Barat. Dari informasi pak desa, meningkatnya daya beli penduduknya mungkin karena membaiknya penghasilan petani dari penjualan tanaman cengkeh.

***

SEJAK pertama kali ke desa Kompang, ada fenomena baru yang cukup menggelisahkan, razia dan palang jalanan. Warga di beberapa desa sekitar kota—sebelum masuk ke wilayah kota Sinjai—melakukan ronda malam dengan memalang jalanan. Palang jalan bisa berupa portal bambu atau meletakkan benda apapun yang bisa memperlambat pengendara yang akan melintasinya.

Apa yang dilakukan warga ini bukanlah aktifitas rutin yang dilakukan sejak lama, tetapi sebuah reaksi dari beberapa kasus pencurian yang semakin marak terjadi. Di wilayah kota, sudah ada beberapa rumah yang jadi korban. Harta benda raib saat ditinggal penghuninya kerja. Tidak terkecuali rumah yang berada di samping kantor polisi. Kemudian pencurian ini merembet ke daerah-daerah desa. Kali ini ternak petani menjadi sasarannya. Nah, untuk mencegah pencuri-pencuri ini, warga menginisiasi ronda malam dengan menutup jalur keluar Sinjai dengan palang-palang. Memintai kartu identitas orang-orang yang dicurigai masuk dalam sindikat pencurian ini.

Dari sebuah cerita di sebuah bengkel, ada salah satu pencuri yang pernah tertangkap. Pencuri itu masih sangat muda, bisa dikatakan masih anak-anak. Saat tertangkap dan dibawa ke kantor polisi, dia menolak untuk memberikan informasi tentang aktifitas dan informasi terkait teman-temannya. Bahkan anak ini tidak takut sama sekali saat dipaksa dan diancam untuk memberikan informasi, malah mengancam balik dan bersedia untuk dibunuh. Hanya satu informasi yang dia berikan. Dia mengatakan ada sekitar seratus orang temannya yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Sinjai dengan tugas sama seperti dirinya. Mereka semua berasal dari kabupaten Gowa. Hanya itu. dari informasi inilah kemudian warga terus menjaga kewaspadaannya dengan merutinkan kembali ronda malam di beberapa titik di desa masing-masing.

Pemalangan warga ini bukan hanya membuat was-was pencuri, tetapi juga warga dari daerah lain yang akan melintas. Bahkan kabarnya ada salah seorang anak SMU yang tewas menabrak pelang bambu karena tidak melihatnya saat melaju di jalan. Pernah juga sebelumnya sebuah mobil hancur dihantam warga karena menolak untuk menghentikan kendaraannya oleh peronda yang membawa sejata tajam, parang misalnya. Pemilik kendaraan menyangka peronda ini sekelompok orang mabuk yang ingin memeras, dan peronda menyangka mobil ini berisikan para pencuri karena menolak untuk diperiksa. Akhirnya kejadian pun tidak bisa terhindarkan.

Untuk saling mengingatkan, warga terus saling menghimbau kepada sesamanya untuk berhati-hati saat menggunakan kendaraan pada malam hari. Untuk tidak takut dan pergi dengan tergesa-gesa saat diberhentikan para peronda agar tidak memunculkan kecurigaan, terutama saat malam.

***

PAK Asikin, seperti biasanya asik dengan televisinya. Saat aku datang bersama teman-teman, topik pembicaraan maling pajak, Gayus Tambunan, menjadi topik hangat salah satu program acara TV ONE. Dan seperti biasanya pula, teh hangat terhidang, siap diseruput. Kemudian, kejutan! Mucullah bubur jagung pulu, jagung yang sebulan ini membuatku penasaran. Penasaran ingin merasakannya karena cerita-cerita orang desa Soga tentang misteri kenikmatan jagung pulu.

Sembari bercerita, pak Asikin menggulung rokoknya. Di tengah-tengah gulungan dia berkomentar mengenai harga tembakau yang semakin mahal. Bahkan sampai harga 20 ribu rupiah. Harga ini lebih mahal dari sebungkus rokok Surya yang dulunya sudah dianggap rokok bergengsi di desa ini—karena memang harganya lebih mahal (11 ribu rupiah) dari rokok-rokok yang biasa dijual di desa-desa. Meningkatnya harga tembakau ini karena semakin kurangnya petani yang menanam tembakau akibat anomali cuaca pada tahun 2010 kemarin. Akibatnya, banyak tanaman yang rusak, bahkan gagal memanen.

Pak Asikin adalah tokoh yang cukup dikenal oleh warga sekitar desa Kompang. Selain tokoh berpengaruh, dia juga saat ini mengemban tanggung jawab sebagai kepada dusun. Dengan adanya fenomena palang-memalang ini, pak Asikin juga kebagian jatah ronda malam. Tidak heran, tiap malam akan banyak sekelompok laki-laki dewasa berkumpul di rumahnya untuk melakukan koordinasi ronda yang ada di beberapa titik di desa Kompang.

Saat aku menanyai masalah ini, dia hanya berpesan, ‘kalau ada yang mencegat dan ingin bertanya, usahakan jangan lari, kalau ingin selamat’. Yah, aku ingin selamat. Selamat dari masalah-masalah pencurian, karena aku bukan pencuri yang mereka maksud. Penduduk desa Kompang juga tentu ingin selamat. Harta benda mereka bisa selamat dari pencuri-pencuri itu. Pencuri juga ingin selamat tentunya.

Jumat, 04 Februari 2011

Kisah Tiga Pedagang di Tassese

Kisah Pedagang Sapi, Pedagang Organ Anak dan Pedagang Organ Alam 




RAHMAT, murid kelas IX di SMP Satap Negeri Tassese, pendiam. Sepintas orang-orang akan menganggapnya pelit. Hanya senyum yang biasa dia berikan. Bukan kalimat panjang, apalagi cerita.

            Pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Rahmat telah lenyap dari rumah untuk mencari rumput pakan sapi kesayangan. Menyusuri pematang berbukit dengan sebilah sabit dan karung berlipat di kedua tangannya. Jika kesulitan mendapatkan rumput saat pagi, biasanya Rahmat terlambat pergi ke sekolah. Padahal jarak dari rumah ke sekolahnya hanya 50 meter saja. Dalam sehari biasanya Rahmat harus menyediakan dua sampai tiga karung rumput, untuk 7 ekor sapi. Satu karung saat pagi dan satu karung sepulang sekolah atau sore.

            Sapi Rahmat harusnya sudah berjumlah sembilan ekor. Dia menjualnya dua ekor dua tahun lalu. Kemudian induk sapi melahirkan lagi dua ekor tahun 2010. Sehingga jumlahnya tidak berkurang dan tidak bertambah, tetap tujuh ekor sapi dengan ukuran yang beragam.

            Sudah dua tahun terakhir, penduduk semakin gemar memelihara sapi. Tentunya sapi memberikan keuntungan yang cukup besar. Dengan memelihara sapi, mereka bisa menjadikannya infestasi dan membiayai kebutuhan lain bagi keluarga, seperti pendidikan, untuk membeli kendaraan (sepeda motor) dan untuk acara-acara syukuran (pernikahan, khitan, akikah dan lain-lain).

            Ini dimulai oleh seorang pengusaha yang juga purnawirawan kepolisian, Yusuf Manggabarani yang mengajak masyarakat untuk memelihara sapi. Yusuf membagikan dua ekor sapi kepada penduduk untuk dipelihara. Sebagai imbalannya, dia akan mendapatkan satu ekor sapi dari dua ekor sapi yang telah diternak oleh penduduk. Dengan antusias penduduk kemudian menyepakatinya dan mulai memelihara sapi yang dibantukan oleh Yusuf. Sebuah aktifitas yang kini juga dilakoni oleh Rahmat.

***

SEKELOMPOK anak mengendap-endap mendekat. Punggung menunduk. Bukan hanya tidak ingin terlihat, juga buat mereka mudah menjangkau batu di tanah. Semuanya bersiap melempar sasaran yang duduk di teras kantor desa sore itu. Sasaran yang mereka anggap setan pemotong kepala, pemakan jantung, penyongkel hati!

            Orang yang duduk di teras kantor desa adalah aku. Aku yang sedang asik mencari signal handphone karena di tempat inilah biasanya penduduk menghubungi kerabat mereka. Tempat yang paling banyat terdapat signal. Letaknya sangat tinggi sehingga dari sini bisa melihat pemandangan yang luas ke arah bawah. Melihat genangan air yang ditahan oleh bendungan bili-bili, bedengan-bedengan kebun dan sawah, beberapa kelompok pohon yang semakin sedikit jumlahnya, juga aliran jalan berkelok-kelok yang kerap aku lewati. Tempat yang mempertemukanku dengan kabar burung si setan pembunuh anak-anak.

            “oh, kak Agung pade’. Hampir... Kami kira setang i...”, terengah-engah mendekatiku.
            Aku terkejut, begitu juga sekelompok anak yang mengira akulah setan pembunuh itu. kemudian mereka mulai menceritakan kejadian yang hampir saja membuatku celaka. Menurut mereka, korbannya sudah banyak walaupun belum ada korban di desa Tassese. Sampai 300 anak! Tentu aku tidak menerima begitu saja informasi tersebut, kemudian bergegas pergi menuju rumah Rizal, teman sekelas Rahmat yang tidak masuk sekolah tadi pagi.

***

BEBERAPA minggu lalu, mungkin sudah sebulan ini menyebar cepat kabar burung pembunuhan seorang anak. Pelaku memenggal kepalanya, mengambil organ kemudian membuang mayatnya. Bagi Rizal ini sudah menjadi hal yang biasa. Setiap tahun selalu ada kabar seperti itu. Tapi korbannya tidak sebanyak yang dikabarkan anak-anak di kantor desa. Hanya satu orang saja.

Kecurigaan Rizal, pelaku dibayar untuk melakukan itu. organ yang didapatkan kemudian dijual kepada pemesannya. Aku langsung membayangkan kasus-kasus perdagangan organ anak di sebuah tayangan film berjudul... tapi, apa mungkin kasus seperti ini sudah sampai di tempat sedamai ini? Setidaknya itu menurut pengalamanku selama lebih setahun yang kerap berkunjung ke desa ini.

***

SEBUAH truk Hino dengan bak kayu menepi di depan rumah Rizal. Orang-orang di rumah ini kemudian menjadi sibuk dengan kedatangannya. Tidak terkecuali ibu Rizal yang berpamitan kepdaku dan bergegas membuntuti tuk tersebut.

“Saya tinggal dulu de’ nah, ada kayu mau diambilkan di belakang...”, memeberi alasan kemudian lenyap dari pandanganku menuju belakang rumah.

Tidak lama, Rizal menemaniku di teras rumah panggungnya. Akupun mulai menanyai apa hubungan truk yang baru datang dengan kayu-kayu yang ibunya maksud. “Itu truk milik polisi kak. Biasa datang untuk ambil kayu.” Rizal memulai ceritanya.

Aku teringat pembicaraanku dengan Pak Lawang, guru Rizal di sekolah yang juga adalah omnya Rahmat. Menurut pak Lawang, kondisi desa sudah berubah, tidak seperti dulu lagi. Sekarang semakin banyak penebangan hutan. Kalau dulu, aparat masih memiliki niat baik untuk menjaga agar tidak ada penebangan hutan. Namun sekarang, bagaimana jika aparatnya adalah salah satu dari pedagang kayu?

Hal ini banyak disesalkan oleh pak Lawang. Harusnya aparat menjaga hutan agar tidak terjadi penebangan lagi. Tetapi kini justru merekalah yang melakukannya dan semakin mudah warga menebang karena yang membeli kayu-kayu adalah aparat.

***

MEGA, guru SD di Desa Bilalang. Guru yang sering aku kunjungi sepulang dari desa Tassese. Membagikan buku-buku bacaan untuknya dan beberapa guru yang sering berkumpul di rumahnya. Berdiskusi dengan mereka, bercerita banyak hal tentang pendidikan.

            Aku pun menceritakan mengenai kabar burung penjualan organ anak. Menurutnya cerita tersebut memang sering kerap diproduksi oleh orang-orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Supaya anak-anak mereka tidak bermain terlalu jauh. Mungkin supaya mudah memerintahkan mereka untuk pulang atau membantu tugas-tugas di rumah. Biasanya juga, kabar burung ini muncul saat musim tanam akan tiba. Agar anak-anak tidak bermain ke tempat yang jauh, direproduksilah berita ini untuk menakut-nakuti mereka. Yah, kalau mereka hanya bermain di sekitar desa maka akan mudah meminta anak-anak untuk membantu orang tua di sawah yang akan ditanami.

            Namun, bagaimana dengan cerita aparat pembalak hutan? Tentu cerita penjualan organ anak tidak sama denga cerita penjualan kayu. Kisah penjualan kayu sangat nyata! Kisah sekelompok orang yang mengambil organ alam untuk keuntungan pribadi.

Tetapi, kenapa cerita penjualan organ alam ini tidak seheboh cerita penjualan organ anak? Apakah penjualan organ alam ini tidak sesadis penjualan organ anak?

***

KETIGA pedagang ini tentu ingin melajutkan hidup mereka, sama seperti induk kucing yang kini coba bertahan hidup di tempat tinggalku. Berteduh di sebagian atapku tanpa izin, berbagi kain kotor—yang biasa kugunakan untuk membersihkan kotoran di lantai dapur—bersama tiga anaknya, memakan sisa nasi dan sepotong kepala ikan dari tong sampah yang tergeletak. Aku tidak yakin dia juga menikmati musik yang kuputar keras saat pagi, atau lagu sepi saat malam. Beberapa pukulan telak di tubuhnya kerap diterima ketika mencoba mencuri sedikit makanan yang sebenarnya tidak ingin kumakan.

            Seandainya saja bahasaku sama seperti kucing itu, mungkin aku bisa mendengar harapannya, tangisannya, candaannya bahkan permintaannya. Aku salah paham! Salah untuk mengerti usaha-usahanya bertahan hidup.

            Untuk seandainya lagi! Kucing itu bisa berdagang. Apa dia akan menjual sampah makanan yang dia temukan di tong sampahku, cemilan hasil curian semalam dari atas meja kerja yang aku tinggalkan saat tertidur atau menjual ketiga anaknya yang kurus dengan kotoran menumpuk di mata-mata mereka? Apa dia membutuhkan modal? Sebuah truk? Bagaimana dengan warung? Bagaimana dengan sebuah pasar? Perlu lisensi? Apa dia punya pangkat agar barang dagangannya lebih aman? Usaha lain untuk sampingan?

            Kini aku katakan, ‘jual lah semua yang kau miliki! Untuk hidupmu, tentu saja.