Lembah Desa Indah Nan Subur
JUMAT sore, dua kendaraan motor melintasi punggung aspal berair. Ban karetnya sesekali menghidari kubangan, sesekali pasrah menghambur air di dalamnya. Kubangan di atas jalan seperti sumur, dengan pecahan batu gunung yang terpisah kecil-kecil dari aspal di pinggirannya. Sepertinya hujan senang membuat lubang di jalan. Begitu banyak kubangan hingga memaksaku untuk mengambil jalur terluar jalan yang membuat banyak air terpingkal dari daun semak-semak yang tertabrak kemudi.
Semak itu sedang semangat-semangatnya tumbuh hingga menyeberang melalui parit, masuk ke jalan. Daunnya yang lebat ditempeli air sisa-sisa hujan pagi tadi. Sawah pun tidak mau kalah, memeluk dan menyambut riang air hujan, kemudian membagikan kepada padi-padi penduduk. Titik-titik hujan di permukaan genangan air sawah seperti gelombang senyum kecil, berhiaskan lesung padi hijau di pipinya.
Sudah dua minggu ini, sepanjang jalan masuk desa Tassese ramai oleh potongan bambu dan laki-laki menggenggam parang dan linggis. Serbuk gergaji tidak banyak bergerak saat motorku melaju disampingnya, karena air memaksanya untuk tidak pergi kemana-mana. Geraman mesin beselingan dengan hentakan pukulan kayu menghantam batangan bambu masuk di lubang yang telah disiapkan sebelumnya. Lubang berbaris rapih di depan rumah-rumah. Lubang itu pasti bentukan linggis, sebab linggis tidak mampu lagi berbohong padaku yang menyaksikan sisa tanah dan lelah yang menempeli tubuhnya. Basah keringat di tubuh linggis bercampur dengan air hujan. Keringat itu adalah tetesan semangat pembuatnya yang kini juga basah dan terduduk menikmati istirahat.
Penduduk mempersiapkan banyak Pancasila – sebutan penduduk untuk merujuk pagar depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu – di depan rumah masing-masing. Sementara Perempuan dan anak-anak terlihat membungkuk-bungkuk menata tanah untuk ditanamai bunga, sayur, maupun tanaman kebutuhan dapur seperti kunyit, talas, cabe dan lain-lain. Ini bukan lahan pertanian konvensional, hanya memanfaatkan luas pekarangan rumah untuk dikelola. Ukurannya pun hanya 2.5x4 meter persegi. Kerja mereka adalah perintah Kepala Desa yang hendak mengikuti lomba. Semuanya seperti terlatih untuk tersenyum kepada siapapun yang melintas saat mereka bekerja. Aku puas melihat senyum menyambut itu, mungkin bukan bagian dari perintah Kepala Desa.
***
DESA Tassese memiliki dua pusat haparan lahan pertanian yang ditanami padi. Hanya tanaman padi. Lahan ini terletak di sebelah Timur dan Barat ibukota desa. Hamparannya tidak berbentuk dataran, tetapi bukit-bukit. Hamparan di sebelah Timur, dikelilingi oleh hutan yang telah nyaris gundul akibat penebangan. Kemudian hamparan di sebelah Barat, tebing berbatu memagari hijaunya. Kalaupun ada lahan berbukit, biasanya penududuk menanaminya dengan coklat, kopi atau jagung. Itupun hanya sedikit. Tidak ada tanaman lain yang dibudidayakan penduduk, sebagian besar hanya bertumpu pada tanaman padi.
“Tidak pernah kami kekurangan beras, persediaan kami selalu cukup untuk dimakan dan dijual”, tegas ibu Maimunah. Dengan menggunakan lahan basah tadah hujan, padi hibrida milik petani mampu menguning dua kali dalam setahun.
Kebutuhan akan beras bagi penduduk Tassese memang sangat tercukupi, bahkan untuk memuaskan hasrat konsumsi lain. Namun, tanpa disadari model tanam monoculture seperti ini, sangat membatasi kedaulatan pangan mereka. Misalnya saja mereka masih harus mengkonsumsi sayur-sayuran dari luar desanya. Padahal jika dilihat, jenis tanah, ketinggian dan suhu sangat memungkinkan mereka untuk menanam sendiri tanpa harus bergantung dari luar. Ini dapat aku rasakan ketika menanyakan kepada isteri pak Ruddin bahwa aku membutuhkan cabe. Lalu dia mengatakan bahwa sudah seminggu ini tidak belanja di pasar, jadi tidak ada cabe! Untuk cabe saja, harus mengkonsumsi dari pasar. Padahal lahan mereka masih cukup luas untuk sebuah tanaman cabe, bahkan tanaman lain untuk kebutuhan dapur lainnya. Ketergantungan terhadap kebutuhan pangan lain seperti cabe, serai, tomat mungkin tidak serumit ketergantungan terhadap kebutuhan ikan, karena memang sulit membudidayakannya di dataran tinggi dengan bukit yang terjal.
Model tanam seragam ini bukan hanya menumbuhkan ketergantungan saja, tetapi juga menjadikan kurangnya keragaman jenis tanaman. Andai saja petani di Tassese mau menanam jenis selain beras – tetapi tidak mengganggu ketersediaan kebutuhan akan berasnya – pastinya tanaman tersebut bisa menutupi kebutuhan lain yang belum terpenuhi. Bahkan Tassese bisa saja menjadi pemasok hasil pertanian selain beras. Selain itu, petani juga bisa mengkonsumsi sayuran yang lebih segar, karena dapat langsung memetiknya dari lahan sendiri saat dibutuhkan. Minimal dapat mengurangi konsumsi mie instan sebagai lauk-pauk mereka. Jika mampu mengurangi ketergantungan kebutuhan dari luar desanya, maka petani akan mampu mengurangi biaya konsumsinya. Nah, biaya ini tentunya bisa digunakan untuk kebutuhan lain, terutama biaya pengelolaan lahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Terutama biaya produksi beras yang masih sangat tinggi dengan harga jual yang rendah.
Biaya produksi beras petani Tassese masih sangat mahal. Petani masih menggantungkan kebutuhan mereka akan bibit dan pupuk dari pasar, baik yang bersubsidi (dari pemerintah) maupun tidak bersubsidi (dari swasta). Karena pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia seperti Urea, TSP dan ZA – tidak bisa diproduksi sendiri oleh petani karena membutuhkan laboratorium – maka petani harus membelinya dari Dinas Pertanian melalui GAPOKTAN atau langsung membelinya di pasar atau toko-toko pertanian. Jika ditelaah dengan seksama, maka biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk akan lebih besar dibadingkan petani membuat sendiri pupuknya. Pupuk yang memungkinkan untuk petani buat adalah pupuk organik, karena bahan-bahannya – seperti kotoran ternak, sisa pembakaran dapur, daun-daun dan ranting – mudah ditemukan disekitar Tassese.
***
LAHAN yang sangat luas dimiliki oleh petani Tassese, tetapi mengapa tidak mampu menjadi pendorong kemajuan bagi masyarakatnya? Apakah petani Tassese tidak lagi kreatif dalam memajukan kualitas hidup? Atau ada sebuah sistem “kelaparan” yang terus memakan hasil keringat petani? Untuk melihat mekanisme sistem sosial besar yang berlaku di Tassese – melakukan analisis kritis – perlu melihat mekanisme kerja institusi pemegang kebijakan maupun kepentingan di baliknya.
Institusi terdekat petani dalam lingkup desa, ada yang namanya GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani). Lembaga ini memang memiliki kekuatan untuk mengorganisir petani dengan baik, karena sebagai lembaga formal, juga sebagai perpanjangan tangan institusi besar negara. Jadi kepercayaan petani terhadap lembaga ini sangat kuat. Jika ditarik ke masa silam, terutama akhir 1960-an, petani begitu takutnya di cap sebagai “PKI” – pengistilahan yang digunakan oleh masyarakat Tassese. Adapun yang dianggap sebagai “PKI” ialah mereka yang membangkang dari wacana yang ditelorkan rezim. Jadi apa yang diucapkan oleh rezim, maka harus diikuti atau siap-siap dicap sebagai “PKI”. Rezim ini menggunakan institusi-institusi pemerintahannya di segala tingkatan, dari pusat hingga desa. “Dulu ada orang-orang yang menjanjikan alat-alat pertanian kepada kami jika kami memilih masuk di organisasinya. Tentunya kami mau, karena gratis. Orang-orang itu adalah PKI. Ternyata cangkul, sabit dan linggis yang dijanjikan tidak ada, dan banyak saudara kami yang ditangkap setelahnya. Padahal hanya menandatangani surat yang kami tidak tahu isinya, maklumlah karena saat itu belum bisa baca tulis. Setelah itu, semua warga tidak mau lagi percaya dengan orang luar dan cenderung mengikuti apa yang dikatakan oleh Kepala Desa atau Camat karena mereka pemerintah”, Sambil tertawa Kepala Dusun menceritakan mengapa penduduk mendengarkan apa yang menjadi ucapan dan perintahnya.
Dari ketakutan akan pelabelan, kemudian GAPOKTAN sebagai institusi pemerintah mewujudkan kepentingan negara melalui kebijakannya. Ada dua kebijakan yang menurutku sangat merugikan petani, pertama adalah penyeragaman jenis tanaman sebagai komoditas desa. Penyeragaman inilah yang kemudian menjadikan petani masih bergantung pada luar karena tidak mampu memenuhinya sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, model tanam seperti ini akan menghilangkan kedaulatan pangan petani. Istilah komoditas unggul menjadi kilah penyeragaman jenis tanaman dan menlanggengkan ketergantungan. Kemudian petani secara halus dipaksa menanam jenis padi yang sama dari Dinas Pertanian. Memang awalnya petani ditawarkan hasil yang lebih banyak dari jenis padi lokal, dan masa tanam yang relatif singkat. Namun tanpa disadari, petani kini menggantungkan diri kepada bibit hibrida dari Dinas Pertanian dan berhenti untuk membuat bibit sendiri. Kemudian, karena bibit hibrida membutuhkan pupuk khusus, maka Dinas Pertanian memiliki jualan baru. Bertambahlah biaya tanam petani.
Yang lebih parah lagi, petani yang tidak tergabung dalam GAPOKTAN, maka akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bibit dan pupuk, lalu berlahan akan “mati suri”. Jika petani mau bertahan dengan pola tanam lama, yakni dengan menggunakan bibit hasil sendiri, memakai pupuk olahan sendiri dan jenis tanaman lokal dengan beragam jenis tanaman, maka kebertahanan petani akan pangan akan lebih kuat. Jadi dengan hegemoninya, negara melalui institusinya telah membuat kerusakan model bertanam petani dengan penyeragaman tersebut. Kini, sangat sulit untuk melakukan perubahan model tanam – mengganti bibit hibrida dengan bibit lokal, mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik – karena tanah petani telah resisten terhadap tanaman lokal. Selain itu muncul pula bermacam hama penyakit tanaman, karena rusaknya ekosistem lingkungan. Predator alami – seperti ular, katak dan lain-lain – yang dulu menjadi sahabat petani, kini berkurang populasinya akibat penggunaan pupuk kimia.
Kedua adalah penyeragaman musim tanam dan adanya konsep Panen Raya. Untuk kesekian kalinya, Dinas Pertanian melalui penyuluhnya coba merasionalkan kepentingannya di GAPOKTAN tentang musim tanam. Musim hujan adalah alasan yang paling mungkin diterima petani, karena sebagian besar menggunakan sistem lahan basah tadah hujan. Solusi jangka pendeknya adalah menanam secara bersamaan di awal musim hujan. Sementara solusi jangka panjang, seperti membangun sarana irigasi tidak mendapat peluang. Jika sebagian besar hidup masyarakat di Tassese digantungkan pada pertanian, mengapa begitu banyak anggaran yang dikeluarkan hanya untuk menyediakan bibit hibrida, pupuk kimia dan gajih penyuluh saja. Bukankah petani sejak lama telah memiliki sistem tanam yang bisa memenuhi kebutuhannya. Bukankah sistem lahan basah irigasi bisa menjadi salah satu solusi menarik?
Kemudian hadirlah beberapa masalah dari penyeragaman ini, pertama hadirnya spekulan harga bibit dan pupuk saat musim tanam, serta makelar rente pemberi kredit berbunga tinggi. Pada masa tanam ini, tiba-tiba saja bibit dan pupuk menjadi sesuatu yang langka dan mahal. Maka yang terjadi adalah petani harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan masa tanam. Tidak jarang, mencari pinjaman adalah langkah paling mungkin ditempuh, bahkan dengan bunga tinggi. Kedua, hadir pula konsep Panen raya. Secara serentak petani memanen hasil tanamnya. Serentak pula menjemur dan menggiling gabah menjadi padi dan serempak menjual. Akibatnya, padi melimpah di pasaran. Harganya pun menjadi jatuh, sama seperti hukum penawaran-permintaan dalam ilmu ekonomi.
***
INI bukanlah sesuatu yang baru, Ayah menegaskan hal itu. Tetapi jujur, aku baru tersadar akan nasib petani yang memberiku makan dua bulan ini. Beras yang aku kunyah bersama mereka. Ayah dengan pendapatnya menganggap aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk petani itu. Ada nada keraguan dari penjelasannya. Aku menangkapnya seperti itu. Aku memang belum berbuat apa-apa di Tassese. Mungkin saat ini hanya bisa merekam kegiatanku bersama volunteers, bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai ajang jalan-jalan atau berwisata. Aku juga merasakan seperti itu jika melihat beberapa foto aktifitasku. Apakah aku salah jika menikmati aktifitasku? Atau aku harus menampilkan foto kesedihanku saat berada di sana?
Dua bulan ini, aku belum melakukan apa-apa, itu adalah sebuah kebenaran. Untuk keputusan melanjutkan atau berhenti sampai di bulan Maret, aku belum pula berani turut menentukan. Sungguh ada beberapa undangan untuk melanjutkannya, tetapi aku butuh undangan yang lebih banyak. Aku menginginkan kalimat, “Ayo kita perpanjang saja keberadaan PILAR di Tassese! Terus mengoceh dan belajar dari manusia-manusia Tassese, hingga kemudian mereka menjadikan PILAR sebagai bagian dari dirinya, atau bosan dan mengusir kita!”. Aku ingin PILAR memaksaku untuk terus bersamanya.
Catatan tahun lalu bersama PILAR (Pintu Belajar).



0 komentar:
Posting Komentar