Judul: Merancang-Bangun Sistem Keselamatan Rakyat: Pengalaman Kelola Bencana di Lima Kabupaten
Penulis: Ishak
Salim & Lubabun Ni’am (eds)
Pengantar: Hedar Laudjeng & Saleh Abdullah
Rangkuman: Roem Topatimassang
Penerbit/Tahun: Insist Press, Mei 2012
Halaman/Lebar: 101 halaman, 15 x 21 cm
ISBN: 602-8384-49-6
DI
BEBERAPA TEMPAT, nyatanya masih ada sistem keselamatan rakyat yang dibangun
melalui kelompok-kelompok kecil. Memadukan antara kerja-kerja kebencanaan dengan
usaha membangun gerakan sosial lebih luas. Gerakan yang melibatkan banyak
pemangku kepentingan karena memang sejatinya fakta bencana menyangkut
keselamatan orang banyak.
Buku berjudul Merancang-Bangun
Sistem Keselamatan Rakyat menawarkan cerita lain dari proses pembangunan sistem
penanggulangan bencana di Indonesia. Usaha-usaha ‘kecil’ komunitas di lima
kabupaten (Kabupaten Bengkulu Utara & Tengah, Kabupaten Ende, Kabupaten
Sinjai dan Kabupaten Maluku Tenggara) sejak bergulirnya Undang-Undang 24 Tahun
2007. Lima kabupaten berkumpul, berbagi pengalaman dan merefleksikan proses
belajar yang tengah berlangsung.
Satu-persatu praktik ‘cerdas’ penanganan
bencana di daerah—baik yang dilakukan kelompok masyarakat, NGO maupun
pemerintah daerah—hadir di tengah-tengah diskusi. Menggambarkan kerja-kerja komunitas
mengurangi risiko bencana di lingkungannya dengan memanfaatkan aneka sumberdaya;
pengetahuan lokal, hukum adat, kelembagaan, sistem sosial, sistem pendidikan
hingga kelompok-kelompok yang ada di desa. Sebuah sistem kerja bersama, dalam
ranah Pengurangan Risiko Bencana (PRB), agar mampu menjadi gerakan sosial yang
lebih luas.
Buku ini penting untuk dibaca
semua orang, khususnya mereka yang sedang atau akan bekerja di isu-isu
kebencanaan. Salah satu buku yang memperkenalkan paradigma baru dalam melihat fakta
kebencanaan dengan tetap mengacu pada konteks lokal. Studi komprehensif yang ‘mengupas’
proses legislasi yang lahir dari meja kerja legislatif (top down) kemudian menceritakan kerja-kerja kreatif di lima
kabupaten. Buku ini juga menawarkan model alternatif proses legislasi yang bisa
digunakan untuk mendukung gerakan sosial mainstreaming
PRB di segala lini kehidupan.
SALEH
ABDULLAH DAN KHAEDAR LAUJENG mengantar pembaca untuk menyimak terlebih dahulu landasan
filosofi mengenai tanggung jawab negara menjamin keselamatan warganya. Menurut
mereka (penulis), bencana menjadi kendala besar bagi masyarakat memenuhi
kebutuhan/hak dasarnya. Acuan penting tentang pemenuhan hak dasar manusia—yang
menjadi tanggung jawab negara—salah satunya adalah pemenuhan Hak Asasi Manusia
dengan menjamin keselamatan hidup. Hak tersebut sulit terwujud ketika
masyarakat dalam konteks rentan terhadap ancaman bencana, sehingga ketika
hazard hadir di tengah-tengahnya, jaminan keselamatan hidup tidak mungkin terwujud.
Paradigma baru penanganan bencana
merupakan usaha melibatkan secara penuh masyarakat dalam proses penanggulangan
bencana. Sebuah rangkaian terpadu di seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan
membuka ruang partisipasi masyarakat tanpa terkecuali. Maka model kerja seperti
ini menuntut adanya koordinasi yang baik di antara pemangku kepentingan seperti
pemerintah, NGO, lembaga-lembaga donor internasional dan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya.
Penulis juga menegaskan hakekat desentralisasi
serta penyelenggaraan pemerintahan di daerah untuk membantu pembaca menyimak
fakta-fakta penanganan bencana dalam tulisan berikutnya. Bagi penulis, penting
untuk mempertimbangkan secara seksama ‘semangat’ lokalitas agar kebijakan yang
dibuat bisa lebih memahami konteks masyarakat. Hendaknya lebih menghargai
keberagaman budaya, bisa mengadaptasi nilai-nilai dan pengetahuan lokalitas
untuk menopang penyelenggaraan pemerintahan yang ideal sesuai amanat UUD 1945.
RANGKUMAN
yang ditulis Roem Topatimassang coba memberi gambaran fakta-fakta penanganan
bencana serta relasi kuasa pada sebuah kebijakan (legalitas lembaga-lembaga
pendidikan dan riset) di lima Kabupaten. Menganalisis proses legislasi dengan
teori dasar ilmu politik kemudian mengembalikannya pada proses ideal.
Bagi penulis, draft kebijakan
sejatinya lahir dari masyarakat untuk menghindari lahirnya regulasi yang out conteks—umumnya banyak terjadi di
Indonesia. Akibatnya, lembar kebijakan yang lahir belum mampu menyelesaikan
masalah ataupun menjawab kebutuhhan masyarakatnya.
Di sisi lain, kuasa lembaga
pendidikan (universitas) maupun lembaga riset masih kuat sebagai sumber melegitimasi
bagi draft kebijakan melalui naskah akademik, legal drafting, policy paper
dan legalitas ‘pembenaran’ pengetahuan lainnya. Jika proses legislasi tidak
melalui lembaga yang dianggap ‘akademis’, maka hasilnya akan dipandang sebelah
mata saja. Sementara, ketika proses legislasi dimulai dengan menggali langsung pengetahuan
masyarakat, pandangan umum akan melihat proses tersebut kurang ‘benar’, tidak
obyektif, tidak bersandar pada ‘ilmu pengetahuan modern’ dan pandangan negatif
lainya.
Untuk menangkal pandangan di atas,
Roem mengangkat dua kasus proses legislasi untuk menguatkan argumentasinya.
Pertama cerita dari Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Sinjai, Sabir, tentang
setumpuk PERDA Inisiatif yang pernah Sinjai telurkan tanpa melalui uji akademis
(naskah akademik). Awalnya alasan keterbatasan anggaran, DPRD di Sinjai tidak punya
pilihan mengalokasikan anggaran besar untuk mendapatkan sebuah naskah
akademik—dari lembaga pendidikan maupun lembaga riset. Akhirnya DPRD memulai merancang
PERDA mereka dengan menelusuri kebutuhan masyarakat secara langsung. Mencatat
dan menganalisis bersama, kemudian mengujikannya ke publik untuk dibawa ke meja
kerja legislatif menjadi sebuah draft PERDA. Dari cara seperti ini Sabir
mengaku tidak harus dipusingkan lagi dengan anggaran karena tidak harus menyewa
jasa lembaga pendidikan atau lembaga riset dan membuat seminar besar untuk
publik untuk merancang PERDA Inisiatif. Selain ‘murah meriah’, cara ini
sebenarnya lebih efektif menjawab kebutuhan karena dibuat berdasarkan masukan
warga.
Cerita lain Roem angkat dari Malauku
Tenggara. Rancangan PERDA Tata Ruang yang dikerjakan sejak 2008 tidak kunjung
selesai. Padahal anggaran yang DPRD gunakan tidak sedikit. Bahkan DPRD sempat
menggunakan jasa konsultan dari Universitas bergengsi di Ibu Kota, Universitas
Indonesia. Setelahnya rancangan tersebut coba diujikan. Nyatanya banyak bagian
yang berbenturan dengan adat istiadat masyarakat sehingga DPRD harus
mempertimbangkan kembali rancangan ini. Kemudian DPRD kembali harus menyewa jasa Universitas
Pattimura Ambon untuk melakukan riset terhadap Tata Ruang Maluku
Tenggara—apalagi mengingat hubungannya dengan kedekatan konteks budaya. Namun
hasilnya nihil, PERDA Tata Ruang tidak kunjung menemukan titik terangnya.
Dari dua cerita di atas, Roem
coba menawarkan proses legislasi alternatif yang seharusnya bisa dijadikan
contoh bagi daerah lain, khusunya untuk kebijakan penanganan kebencanaan daerah.
Memulainya dari anasilis kebutuhan yang dilakukan bersama masyarakat, bukan
sebaliknya, memulainya dari meja kerja legislatif—yang sebenarnya output kebijakannya akan keluar dari
konteks masalah. Roem mengistilahkan proses ini—dengan mengutip Ahmad Mahmudi—sebagai
counter-draft legislation.
CERITA
LEBIH DETIL dari praktik-praktik ‘cerdas’ masyarakat bersama pemerintah di lima
Kabupaten kemudian dikemas oleh dua penulis, Ishak Salim dan Lubabun Ni’am.
Ishak menuliskan jejak-jejak penanganan bencana oleh masyarakat sekitar Kawasan
Hutan Bungeng-Ramae bersama pemerintah di Sinjai dan bagaimana hukum adat
membantu Maluku Tenggara menjaga keseimbangan ekologi kepulauan. Ni’am mengambil
sudut pandang lain yakni dengan menarasikan tahapan-tahapan pemangku
kepentingan di kabupaten Ende untuk membangun sistem penanganan bencana
berbasis masyarakat. Ni’am juga mengangkat ‘kerumitan birokrasi’ di dalam penanganan
bencana di tengah dinamika perpolitikan daerah di dua Bengkulu, Kabupaten
Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah.
Di bagian lain, kedua penulis mengkolaborasi
penjelasannya mengenai peran
lembaga-lembaga jejaring Insist di lima kabupaten, tempat dilaksanakannya
Program Pengurangan Risiko Bencana. Lembaga-lembaga yang dimaksud yakni Mitra Aksi (Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah), Nen Mas Il (Maluku Tenggara), FIRD (Ende) dan Perkumpulan Payo-Payo
(Sinjai). Lembaga-lembaga inilah yang turut mengawal gerakan sosial mainstreaming PRB dengan mendampingi
kelompok-kelompok di berbagai tingkat masyarakat—baik dengan menginisiasi
pembentukan kelompok baru maupun dengan memanfaatkan kelompok yang sudah ada
seperti kelompok tani, komunitas guru dan sebagainya. Tidak lupa penulis
menyertakan cerita-cerita pengorganisasian yang Lembaga lakukan—membangun kerjasama
dengan pemerintah daerah di semua tingkatan (kabupaten, kecamatan, desa hingga
dusun) dan legislatif (Komisi yang membidangi kebencanaan) untuk memaksimalkan
gerakan sosial yang sedang dibangun. Pemerintah daerah yang dilibatkan secara umum
meliputi seluruh SKPD serta lembaga pendukung lainnya (SAR, TAGANA, SATKORLAK, MGMP,
MKKS dan sebagainya), khususnya yang berhubungan langsung dengan penanganan
kebencanaan di daerah.
Masing-masing kabupaten, yang
dituliskan di dalam buku, memiliki ‘keunikan’ tersendiri, baik dilihat dari
inisiatif yang diambil maupun masalah yang dihadapi:
·
Cerita
dari Kabupaten Sinjai dimulai dengan gambaran konteks kebencanaan di kawasan
hutan. Sejak semula, kebijakan kehutanan kurang mempertimbangkan konteks
sebelum menelurkan sebuah kebijakan. Salah satunya kebijakan kehutanan tentang
jenis bibit untuk kawasan hutan Bungeng-Ramae. Karena bukan tumbuhan lokal,
tanaman Pinus dituding oleh masyarakat sebagai penyebab berkurangnya
sumber-sumber di sekitar hutan. Bukan hanya itu, peristiwa longsor di tahun
2006 pun mengindikasikan pinus sebagai penyebabnya—karena akar tidak mengikat
kuat tanah di daerah curam.
Longsor
ternyata bukan hanya menghabisi masyarakat di pegunungan, tetapi juga menjadi
penyebab banjir bandang di Sinjai Utara dan sekitarnya. Kemudian,
beramai-ramailah orang di hilir menyalahkan mereka yang tinggal di pegunungan.
Mereka dituduh sebagai perambah hutan yang menyebabkan petaka.
Dari
peristiwa inilah, Asikin Pella (informan dalam tulisan) bersama Payo-Payo
menginisiasi pembentukan kelompok masyarakat siaga bencana di Desa Kompang.
Kelompok kemudian lebih mengutamakan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam usaha
PRB di Kompang. Misalnya melakukan penghijauan di dalam Kawasan Hutan dengan
menanam aneka bibit yang lebih kuat menahan tanah ketika intensitas hujan
meninggi dibandingkan pinus. Kelompok juga secara aktif melakukan kajian serta
analisis kebencanaan di lingkungannya bekerja sama dengan Sekolah.
·
Pada
tulisan Maluku tenggara, Ishak mengangkat usaha masyarakat menyelesaikan
persoalannya dengan memanfaatkan hukum adat, khususnya menata keseimbangan
ekologi di daerah pesisir. Misalnya menggunakan larwul ngabal untuk mencegah perluasan kerusuhan sosial tahun 1999
silam. Hukum adat ini bahkan mengalahkan hukum formal negara dan agama.
Yayasan
Nen Mas Il, sebagai lembaga yang sejak lama—bahkan sebelum program BSM-DRR
(Building Social Movement-Disk Risk Reduction) berlangsung—berkubang dengan
masyarakat desa untuk melakukan pengorganisasian. Sebagai salah satu aktor
gerakan sosial di Maluku Tenggara, lembaga ini cukup dikenal masyarakat. Bahkan
beberapa anggotanya mampu menembus seleksi sebagai legislator tahun 2009—kemudian
semakin memperkuat bargaining position
komunitas di antara pemangku kepentingan.
Dalam
ranah penanganan kebencanaan, ‘jalan tol’ untuk menciptakan sistemnya pun dapat
terwujud. Berkat jaringan politik dan modal sosial yang ada semakin memudahkan
proses lahirnya PERDA pembentukan BPBD, yang artinya akan memuluskan akses
dalam mendapatkan aliran dana kebencanaan dari BNPB dan urusan yang berhubungan
dengan administrasi lainnya. Bahkan gerakan di Maluku Tenggara menargetkan
perampungan PERDA lain untuk menjadi pendukung gerakan sosial PRB di masa
mendatang.
· Mengutip
Gabriel, “Gubernur NTT yang penah mengatakan, kalau mau belajar penanggulangan
bencana berbasis masyarakat, pergi ke Ende!” Pernyataan ini cukup beralasan,
pasalnya kabupaten ini jauh lebih dulu memiliki Forum PRB yang dibangun dengan
melibatkan banyak pemangku kepentingan di masyarakat—berbagai tingkatan dan
profesi—walaupun di tengah proses pembentukannya banyak dipengaruhi perpolitikan
di daerah. Jauh sebelum rencana pembentukan forum tingkat kabupaten bergulir,
FIRD terus berjibaku di pelosok-pelosok desa melakukan pengorganisasian di
kominitas masyarakat.
·
Dua
Bengkulu, Bengkulu Utara dan Tengah lebih banyak membahas dinamika perpolitikan
daerah yang berdampak pada birokrasi. Kabupaten Bengkulu Utara jauh lebih maju
dalam penanganan bencana jika dibandingkan Bengkulu Tengah. Juli 2008, Bengkulu
Tengah resmi memekarkan diri sebagai kabupaten baru—sebelumnya menjadi bagian
dari Bengkulu Utara—sehingga harus membenahi internalnya terlebih dahulu.
Bahkan—karena perpolitikan daerah yang belum stabil—Bengkulu ‘muda’ ini belum
bisa menyelesaikan pemilihan Bupatinya. Kekosongan pucuk kepemimpinan
menjadikan kerja-kerja PRB harus ‘jalan di tempat’.
Maslah
lain yang mengemuka mengenai keterbatasan dana. Desakan BNPB kepada Pemerintah
Daerah untuk segera menyelesaikan perangkat hukum penanganan kebencanaan daerah
berimplikasi pada tersendatnya anggaran untuk mendanai kerja-kerja PRB.
Pemekaran
dua Bengkulu juga mendesak Mitra Aksi (Lembaga yang mendampingi BPBD) untuk
meluaskan area kerjanya. Tapi hal ini bukannya tanpa masalah karena
keterbatasan personil yang dialami Mitra Aksi menjadikan mereka (fasilitator
lapangan) harus bekerja ekstra di dua Bengkulu. Buah kerja keras Mitra Aksi dan
BPBD adalah berhasil mengintegrasikan PRB ke dalam kurikulum pendidikan formal dengan
melibatkan Dinas Pendidikan setempat dan mengorganisir warga kecamatan Air
Napal untuk menghentikan eksploitasi bahan galian C di wilayah pesisir pantai.
Yang
unik dari Bengkulu Tengah , penulis menceritakan inisiatif BPBD mentaktisi keterbatasan
anggaran mereka dengan mengakses APBD. BPBD, dengan memanfaatkan hubungan baik
mereka—ditambah sedikit ‘ancaman’—coba mendesak legislatif untuk mendapat
anggaran dalam mengoperasikan struktur baru mereka. BPBD juga membuat strukturnya
menjadi lebih fleksibel—menjadi 5 divisi dengan menambahkan Divisi Pemadam
Kebakaran di antara empat divisi pada umumnya.
SEBAGAIMANA
UMUMNYA BUKU-BUKU ‘PROGRAM’, di bagian akhir berisi rekomendasi yang berisi
saran dan rencana tindak lanjut dari proses belajar bersama lima kabupaten. Namun
buku ini hanya menekankan dua isu, yang sejatinya bisa menyertai
tindakan-tindakan penanganan kebencanaan yaitu wawasan Tata Ruang dan Politik
Ekonomi. Berikut penjabarannya:
- Hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan politik dan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat atas kepemilikan sumberdaya alam setempat serta jaminan keberlanjutan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
- Hal-hal yang sangat berkaitan dengan visi dan ideologi politik yang akan melindungi kemampuan-kemampuan produktif lokal rakyat agar bisa terlepas dari ketergantungan terhadap bantuan luar.
Dua
rekomendasi yang penting untuk menjadi bahan refleksi atas gerakan sosial yang
sedang diusahakan oleh seluruh pemangku kepentingan di isu kebencanaan. Dua hal
yang sebenarnya telah tersirat dari judul di bagian penutup,” Wawasan
Tata-Ruang & Politik Ekonomi: Pekerjaan Rumah Berikutnya”.[]




