Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Kamis, 25 Oktober 2012

Berkelompok Yuk!


Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang diinisiasi pemerintah, NGO hingga lembaga-lembaga donor internasional. Tidak terkecuali di tiga desa penelitian (Kelurahan Balleangin, Desa Tompobulu dan Bonto Birao Kabupaten Pangkep). Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola pengetahuan & pemanfaatan sumberdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modernisasi ‘teknologi perdesaan’.
Sederhananya bisa dikatakan kelompok adalah syarat administrasi sebelum maupun saat program akan dijalankan di suatu tempat. Misalnya, program subsidi pupuk oleh Dinas Pertanian. Petani bisa mendapatkan pupuk bersubsidi ketika dia secara administratif terdaftar sebagai salah satu anggota kelompok tani, tempat program akan dijalankan. Melalui kelompok tani kemudian pupuk-pupuk bersubsidi disalurkan ke petani. Dari kondisi ini maka tidak jarang pula ada beberapa tempat yang segera membentuk kelompok hanya untuk bisa mengakses program yang sedang atau akan dilakukan. Bahkan tidak jarang ditemukan petani yang tidak tahu menahu kehadiran namanya di salah satu kelompok tani. Maka pertanyaan paling mendasar yang bisa diajukan adalah apakah kelompok menjadi suatu kebutuhan petani?
Hal paling tampak di ketiga desa penelitian ialah infrasturktur fisik seperti sarana irigasi, jalan dan demplot-demplot yang dikelola kelompok tani. Untuk infrastruktur kesehatan, ada beberapa gedung di sekitar pusat pemerintahan desa, sarana air bersih, MCK, saluran pembuagan air (got/parit) dan pusat pemeriksaan kesehatan balita (Posyandu). Sisanya adalah fasilitas publik dan pemerintahan seperti aula pertemuan dan pengembangan gedung pemerintahan. Untuk mengetahui nama program yang mendominasi pengembangan infrasturktur fisik desa ini bisa dilihat dari papan penunjuknya, seperti ‘PNPM-Mandiri’, yang biasanya diiringi dengan tahun pengerjaannya. Ada pula NGO internasional, semisal CARE yang lebih memfokuskan programnya ke pengadaan air bersih untuk kelompok-kelompok warga—baik lewat kelompok yang sudah ada maupun dengan membuat kelompok baru.
Pembentukan kelompok di wilayah penelitian mengacu kepada struktur administrasi yang sudah ada di desa atau struktur yang lebih kecil lagi seperti dusun/lingkugan, RT hingga RW. Tujuannya agar memudahkan proses pembentukan dan koordinasi anggota dalam kelompok. Jika membandingkannya dengan mengacu stuktur yang belum ada, cara ini lebih memudahkan dalam mengidentifikasi warga yang akan diajak masuk ke kelompok dan terlibat dalam program.
Walaupun masyarakat umumnya memahami tujuan ideal dan pentingnya membentuk kelompok. Hal ini bisa kita temukan dari beberapa pahaman budaya lokal tentang gotong royong (situlung-tulung), semangat persatuan, saling mengingatkan (sipakainge’) dan solidaritas. Tetapi tidak sedikit pula individu yang masih menggunakan alasan prgmatis seperti untuk mendapat bantuan, atau agar bisa mengakses pupuk murah dan sebagainya. Nilai-nilai lokal itu belum maksimal digunakan oleh masyarakat di dalam proses berkelompok.
Kembali pada dorongan awal berkelompok di tiga desa, masih sulit untuk menemukan ada kelompok yang murni dibuat oleh masyarakat atas inisiatif sendiri berdasarkan analisis kebutuhan mereka. Bisa dikatakan dorongan/inisiatif tersebut berasal dari pihak luar, atau desakan kebutuhan petani atas input-input pertanian, atau gabungan keduanya. Hal ini di akui oleh seorang ibu, warga Bonto Birao. Menurutnya, suaminya terlibat dalam kelompok di Dusun Bonto karena menjadi keharusan dari kebijakan Pemerintah Kabupaten yang mengharuskan petani tergabung dalam kelompok tani. Akhirnya keterlibatan suaminya di kelompok dirasa tidak memberikan manfaat. Apalagi setelah terjadi keterlambatan penyaluran bantuan pupuk di kelompoknya. Pupuk yang disalurkan juga harganya sama saja dengan harga pasaran.
Hal sama juga di akui tiga petani Bonto Birao lainnya. Menurut mereka, keterlibatan mereka dalam kelompok tani tidak memberikan manfaat yang berarti. Apalagi pupuk yang didapat melalui Kelompok harganya sama dengan haraga umum di pasaran, terkadang, lebih murah sekitar 5.000 rupiah setiap karungnya.
Selain soal pupuk, pembagian traktor tangan juga tidak bisa dinikmati oleh seluruh anggota kelompok karena harus digunakan secara bergantian—harus berburu dengan jadwal musim tanam atau saat penghujan tiba. Jika petani harus menggunakan traktor secara bergiliran, maka akan memakan waktu yang cukup panjang. Sementara,  petani harus berburu waktu musim penghujan karena sebagian besar lahan petani Bonto Birao berada di bukit-bukit yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. Ketua kelompok dan pengurusnya biasanya punya kesempatan lebih menggunakan traktor bantuan tersebut karena mereka senantiasa menjadi prioritas. Akibatnya, setiap masa pengolahan lahan akhirnya mereka tetap harus menyewa traktor.
Kepentingan paling nampak dalam upaya pembentukan kelompok di tiga desa adalah modernisasi pertanian. Maka pengembangan infrastruktur desa lebih ke arah modernisasi pertanian ketimbang kebutuhan riil petani. Padahal modernisasi sistem pertanian lebih berorientasi pada kuantitas produksi dan pelipatgandaan nilai ekonomi melalui usaha agroindustri, untuk kepentingan pelaporan; dan tidak selalu berarti kesejahteraan petani.
Modernisasi pertanian yang telah menjadi pahaman banyak orang tidak selalu membuat petani mengikutnya. Contohnya,  Kelompok Petani Perempuan di Tompobulu (CARE) yang baru (berdiri 2012), kelihatan lebih aktif melakukan praktik cocok tanam secara organik. Di sana mereka membantu mengajarkan teknik penanaman dan perawatan tanaman dan tanah yang ramah lingkungan.
Kelompok lain di Tompobulu (SRP Tompobulu), mencoba alternatif dari paradigma modernisasi pertanian ke arah pertanian sustainable. Mereka berkelompok sejak 2006 hingga sekarang dengan mempraktekkan SRI untuk lahan padi mereka di bukit-bukit Tompobulu, salah satunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap input pertanian dari luar dengan memproduksinya sendiri.[1]
Contoh lain ada di Balleangin. Dari persoalan air bersih yang dialami warga hadir inisiatif untuk mengumpulkan warga . Sebuah kepastian, saat musim kemarau tiba, warga RW Demanggala dan Ce’lae akan kesulitan mendapat air bersih. Setelah membicarakan bersama-sama masalah tersebut, muncul ide untuk kelompok bernama Kelompok Air Timpuseng. Kemudian warga mengajukan sebuah proposal bantuan untuk merealisasikan rencana ini bersama-sama, termasuk bagaimana kelompok akan mengelola air bersih kedepannya.
Saat ini, di Kelurahan Balleangin, sumber air bersih yang digunakan oleh warga bersumber dari: ledeng (34,77%), sumur gali (14,13%), sumur pompa (10,88%), sungai (14,38%) dan mata air dari pegunungan yang dialirkan melalui selang (25,75%).[2]
Salah satu trend program yang mengubah ruang-ruang perempuan dalam ranah publik adalah dengan melibatkan mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan seperti Kelompok Petani Perempuan (CARE: Tompobulu tahun 2012), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (Tompobulu), Kelompok Petani Perempuan (Dinas Pertanian Kab. Pangkep: Bonto Birao untuk program Tanaman Pekarangan) dan Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga/PKK (Pemerintah Pusat sejak masa Orde Baru). Selain kelompok khusus perempuan, mereka juga secara formal ikut terlibat di beberapa program besar sekelas PNPM-Mandiri dan program lainnya.
Trend kelompok perempuan di atas bersifat formal sebagaimana organisasi berserta perangkat dan struktur bentukannya. Di aras informal, keterlibatan perempuan di dalam kelompok-kelompok—yang tidak menitik beratkan pada isu gender—juga terjadi. Dalam sebuah obrolan bersama istri-istri ‘pemegang proyek besar’ dan ‘pejabat desa’, mereka kerap mengambil peran informal dalam mempengaruhi kebijakan yang secara formal dibuat oleh suami-suami mereka. Misalnya pada bagian penentuan tempat belanja material proyek, melengkapi persuratan dan administrasi proyek, menyebarluasan informasi ‘burung’ hingga cerita-cerita miring di dalam proses pengerjaan peroyek.
Dari pemaparan di atas, maka tampak jelas kondisi yang umumnya terjadi pada kelompok-kelompok di desa. Kelompok yang dibentuk oleh karena kebutuhan program, tidak sepenuhnya menjadi kebutuhan warganya. Sebelum lebih jauh menyimpulkan permasalahan kelompok di atas, mari kita menyimak bagian-bagian yang membedakan masing-masing kelopok di tiga wilayah.
Kesamaan mengenai kondisi kelompok-kelompok di tiga desa karena adanya kemiripan struktur sosial dan faktor eksternal yang berkontribusi dalam proses pembentukannya. Tetapi, ada bagian tertentu yang membedakannya. Misalnya, dalam perjalanannya kelompok di Balleangin jauh lebih cepat berkembang dibandingkan dua desa lain. Karena akses dan jarak Kelurahan Balleangin lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten, juga menjadi pusat pemerintahan dan aktifitas ekonomi di kecamatan, menjadikan kelompok di kelurahan ini jauh lebih memiliki pengalaman organisasi yang kompleks.
Contoh lain, adanya akses Pasar Balleangin membuat wilayah ini penuh dengan kegiatan ekonomi riil di waktu-waktu tertentu. Pasar menjadi pusat interaksi, bukan hanya interaksi jual beli, tetapi juga informasi dan perluasan jaringan usaha. Kondisi ini kemudian memungkinkan bagi kelompok-kelompok usaha di Kelurahan Balleangin untuk lebih berkembang jika dibandingkan dua desa lainnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kelompok-kelompok usaha ini berkaitan dengan usaha simpan pinjam petani, jual-beli pupuk, bibit & pestisida, agribisnis dan semacamnya.
Contoh lain adalah percepatan pembangunan desa tertinggal lebih memfokuskan wilayah kerjanya di Kelurahan Balleangin karena statusnya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi kecamatan. Memang secara kontitusional sudah ada otonomi daerah, hanya saja tidak serta merta praktiknya di semua tingkatan sosial dan segala aspek kehidupan masyarakat bisa dijalankan dengan baik. Nyatanya, daerah yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten lebih memiliki akses dibandingkan desa-desa yang sulit diakses atau lebih jauh.
Ada dua jenis kelompok yang ‘unik’ di tiga desa ini yaitu Majelis Ta’lim dan kelompok pemuda yang lebih spesifik ke kategori mahasiswa. Majelis T’lim misalnya yang menjadi salah satu kelompok di masyarakat karena dorongan nilai-nilai religiusitas dan budaya yang sejak lama mereka pegang. Aktifitas mapun praktek ibadah bersama serta wadah silaturahmi anggotanya mengikat kuat hubungan sosial di antara masyarakat. Kelompok yang kedua, walaupun sifatnya tidak permanen—karena ikatan keakraban saat menyandang status sosial sebagai mahasiswa—tetapi mampu menganalisis kebutuhan lingkungannya. Namun belum ada informasi yang memadai untuk melihat dengan jelas kelompok mahasiswa di tiga desa ini, khususnya kelompok pemuda yang fokus pada masalah lingkungan atau pecinta alam.


[1] Sejak awal berkumpulnya anggota SRP Tompobulu, mereka terus berkomunikasi dengan NGO bernama Perkumpulan Payo-Payo yang berkantor di Bantimurung Maros. Walaupun awalnya kelompok ini masuk dalam kerangka program Substainable Livelihood (Senat Mahasiswa Helsinki: 2007-2009 & Kementrian Luar Negeri: 2010-2012), untuk selanjutnya SRP Tompobulu coba mengembangkan sendiri gagasannya tentang kelompok dan belajar mengatur kelompoknya secara mandiri.
[2] Berdasarkan Data dari Laporan Praktek Lapangan (PKL) Mahasiswa Akademi Keparwatan Makassar Angkatan XV, Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep, Tanggal 05 – 31 Maret 2011. Hlm.33. 

0 komentar:

Posting Komentar