Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat
mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang
diinisiasi pemerintah, NGO hingga lembaga-lembaga donor internasional. Tidak
terkecuali di tiga desa penelitian (Kelurahan Balleangin, Desa Tompobulu dan
Bonto Birao Kabupaten Pangkep). Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk
menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola
pengetahuan & pemanfaatan sumberdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor
riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modernisasi ‘teknologi perdesaan’.
Sederhananya bisa dikatakan kelompok adalah syarat
administrasi sebelum maupun saat program akan dijalankan di suatu tempat.
Misalnya, program subsidi pupuk oleh Dinas Pertanian. Petani bisa mendapatkan
pupuk bersubsidi ketika dia secara administratif terdaftar sebagai salah satu
anggota kelompok tani, tempat program akan dijalankan. Melalui kelompok tani
kemudian pupuk-pupuk bersubsidi disalurkan ke petani. Dari kondisi ini maka
tidak jarang pula ada beberapa tempat yang segera membentuk kelompok hanya
untuk bisa mengakses program yang sedang atau akan dilakukan. Bahkan tidak
jarang ditemukan petani yang tidak tahu menahu kehadiran namanya di salah satu
kelompok tani. Maka pertanyaan paling mendasar yang bisa diajukan adalah apakah
kelompok menjadi suatu kebutuhan petani?
Hal paling tampak di ketiga desa penelitian ialah
infrasturktur fisik seperti sarana irigasi, jalan dan demplot-demplot yang dikelola
kelompok tani. Untuk infrastruktur kesehatan, ada beberapa gedung di sekitar
pusat pemerintahan desa, sarana air bersih, MCK, saluran pembuagan air
(got/parit) dan pusat pemeriksaan kesehatan balita (Posyandu). Sisanya adalah
fasilitas publik dan pemerintahan seperti aula pertemuan dan pengembangan
gedung pemerintahan. Untuk mengetahui nama program yang mendominasi
pengembangan infrasturktur fisik desa ini bisa dilihat dari papan penunjuknya,
seperti ‘PNPM-Mandiri’, yang biasanya diiringi dengan tahun pengerjaannya. Ada
pula NGO internasional, semisal CARE yang lebih memfokuskan programnya ke
pengadaan air bersih untuk kelompok-kelompok warga—baik lewat kelompok yang
sudah ada maupun dengan membuat kelompok baru.
Pembentukan kelompok di wilayah penelitian mengacu kepada
struktur administrasi yang sudah ada di desa atau struktur yang lebih kecil lagi
seperti dusun/lingkugan, RT hingga RW. Tujuannya agar memudahkan proses
pembentukan dan koordinasi anggota dalam kelompok. Jika membandingkannya dengan
mengacu stuktur yang belum ada, cara ini lebih memudahkan dalam
mengidentifikasi warga yang akan diajak masuk ke kelompok dan terlibat dalam
program.
Walaupun masyarakat umumnya memahami tujuan ideal dan
pentingnya membentuk kelompok. Hal ini bisa kita temukan dari beberapa pahaman
budaya lokal tentang gotong royong (situlung-tulung),
semangat persatuan, saling mengingatkan (sipakainge’)
dan solidaritas. Tetapi tidak sedikit pula individu yang masih menggunakan
alasan prgmatis seperti untuk mendapat bantuan, atau agar bisa mengakses pupuk
murah dan sebagainya. Nilai-nilai lokal itu belum maksimal digunakan oleh
masyarakat di dalam proses berkelompok.
Kembali pada dorongan awal berkelompok di tiga desa, masih
sulit untuk menemukan ada kelompok yang murni dibuat oleh masyarakat atas
inisiatif sendiri berdasarkan analisis kebutuhan mereka. Bisa dikatakan
dorongan/inisiatif tersebut berasal dari pihak luar, atau desakan kebutuhan
petani atas input-input pertanian, atau gabungan keduanya. Hal ini di akui oleh
seorang ibu, warga Bonto Birao. Menurutnya, suaminya terlibat dalam kelompok di
Dusun Bonto karena menjadi keharusan dari kebijakan Pemerintah Kabupaten yang
mengharuskan petani tergabung dalam kelompok tani. Akhirnya keterlibatan
suaminya di kelompok dirasa tidak memberikan manfaat. Apalagi setelah terjadi keterlambatan
penyaluran bantuan pupuk di kelompoknya. Pupuk yang disalurkan juga harganya
sama saja dengan harga pasaran.
Hal sama juga di akui tiga petani Bonto Birao lainnya.
Menurut mereka, keterlibatan mereka dalam kelompok tani tidak memberikan
manfaat yang berarti. Apalagi pupuk yang didapat melalui Kelompok harganya sama
dengan haraga umum di pasaran, terkadang, lebih murah sekitar 5.000 rupiah
setiap karungnya.
Selain soal pupuk, pembagian traktor tangan juga tidak bisa
dinikmati oleh seluruh anggota kelompok karena harus digunakan secara
bergantian—harus berburu dengan jadwal musim tanam atau saat penghujan tiba.
Jika petani harus menggunakan traktor secara bergiliran, maka akan memakan
waktu yang cukup panjang. Sementara, petani
harus berburu waktu musim penghujan karena sebagian besar lahan petani Bonto
Birao berada di bukit-bukit yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. Ketua
kelompok dan pengurusnya biasanya punya kesempatan lebih menggunakan traktor
bantuan tersebut karena mereka senantiasa menjadi prioritas. Akibatnya, setiap
masa pengolahan lahan akhirnya mereka tetap harus menyewa traktor.
Kepentingan paling nampak dalam upaya pembentukan kelompok
di tiga desa adalah modernisasi pertanian. Maka pengembangan infrastruktur desa
lebih ke arah modernisasi pertanian ketimbang kebutuhan riil petani. Padahal
modernisasi sistem pertanian lebih berorientasi pada kuantitas produksi dan
pelipatgandaan nilai ekonomi melalui usaha agroindustri, untuk kepentingan
pelaporan; dan tidak selalu berarti kesejahteraan petani.
Modernisasi pertanian yang telah menjadi pahaman banyak
orang tidak selalu membuat petani mengikutnya. Contohnya, Kelompok Petani Perempuan di Tompobulu (CARE)
yang baru (berdiri 2012), kelihatan lebih aktif melakukan praktik cocok tanam
secara organik. Di sana mereka membantu mengajarkan teknik penanaman dan
perawatan tanaman dan tanah yang ramah lingkungan.
Kelompok lain di Tompobulu (SRP Tompobulu), mencoba alternatif
dari paradigma modernisasi pertanian ke arah pertanian sustainable. Mereka berkelompok sejak 2006 hingga sekarang dengan
mempraktekkan SRI untuk lahan padi mereka di bukit-bukit Tompobulu, salah
satunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap input pertanian dari luar
dengan memproduksinya sendiri.[1]
Contoh lain ada di Balleangin. Dari persoalan air bersih yang
dialami warga hadir inisiatif untuk mengumpulkan warga . Sebuah kepastian, saat
musim kemarau tiba, warga RW Demanggala dan Ce’lae akan kesulitan mendapat air
bersih. Setelah membicarakan bersama-sama masalah tersebut, muncul ide untuk
kelompok bernama Kelompok Air Timpuseng. Kemudian warga mengajukan sebuah
proposal bantuan untuk merealisasikan rencana ini bersama-sama, termasuk
bagaimana kelompok akan mengelola air bersih kedepannya.
Saat ini, di Kelurahan Balleangin, sumber air bersih yang digunakan oleh
warga bersumber dari: ledeng (34,77%), sumur gali (14,13%), sumur pompa
(10,88%), sungai (14,38%) dan mata air dari pegunungan yang dialirkan melalui
selang (25,75%).[2]
Salah satu trend
program yang mengubah ruang-ruang perempuan dalam ranah publik adalah dengan
melibatkan mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan seperti Kelompok Petani
Perempuan (CARE: Tompobulu tahun 2012), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan
(Tompobulu), Kelompok Petani Perempuan (Dinas Pertanian Kab. Pangkep: Bonto
Birao untuk program Tanaman Pekarangan) dan Kelompok Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga/PKK (Pemerintah Pusat sejak masa Orde Baru). Selain
kelompok khusus perempuan, mereka juga secara formal ikut terlibat di beberapa
program besar sekelas PNPM-Mandiri dan program lainnya.
Trend kelompok perempuan di atas
bersifat formal sebagaimana organisasi berserta perangkat dan struktur
bentukannya. Di aras informal, keterlibatan perempuan di dalam kelompok-kelompok—yang
tidak menitik beratkan pada isu gender—juga terjadi. Dalam sebuah obrolan
bersama istri-istri ‘pemegang proyek besar’ dan ‘pejabat desa’, mereka kerap
mengambil peran informal dalam mempengaruhi kebijakan yang secara formal dibuat
oleh suami-suami mereka. Misalnya pada bagian penentuan tempat belanja material
proyek, melengkapi persuratan dan administrasi proyek, menyebarluasan informasi
‘burung’ hingga cerita-cerita miring di dalam proses pengerjaan peroyek.
Dari pemaparan di atas, maka tampak jelas kondisi yang
umumnya terjadi pada kelompok-kelompok di desa. Kelompok yang dibentuk oleh
karena kebutuhan program, tidak sepenuhnya menjadi kebutuhan warganya. Sebelum
lebih jauh menyimpulkan permasalahan kelompok di atas, mari kita menyimak
bagian-bagian yang membedakan masing-masing kelopok di tiga wilayah.
Kesamaan mengenai kondisi kelompok-kelompok di tiga desa
karena adanya kemiripan struktur sosial dan faktor eksternal yang berkontribusi
dalam proses pembentukannya. Tetapi, ada bagian tertentu yang membedakannya.
Misalnya, dalam perjalanannya kelompok di Balleangin jauh lebih cepat
berkembang dibandingkan dua desa lain. Karena akses dan jarak Kelurahan Balleangin
lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten, juga menjadi pusat
pemerintahan dan aktifitas ekonomi di kecamatan, menjadikan kelompok di
kelurahan ini jauh lebih memiliki pengalaman organisasi yang kompleks.
Contoh lain, adanya akses Pasar Balleangin membuat wilayah
ini penuh dengan kegiatan ekonomi riil di waktu-waktu tertentu. Pasar menjadi
pusat interaksi, bukan hanya interaksi jual beli, tetapi juga informasi dan
perluasan jaringan usaha. Kondisi ini kemudian memungkinkan bagi
kelompok-kelompok usaha di Kelurahan Balleangin untuk lebih berkembang jika
dibandingkan dua desa lainnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung. Kelompok-kelompok usaha ini berkaitan dengan usaha
simpan pinjam petani, jual-beli pupuk, bibit & pestisida, agribisnis dan
semacamnya.
Contoh lain adalah percepatan pembangunan desa tertinggal
lebih memfokuskan wilayah kerjanya di Kelurahan Balleangin karena statusnya
sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi kecamatan. Memang secara kontitusional
sudah ada otonomi daerah, hanya saja tidak serta merta praktiknya di semua
tingkatan sosial dan segala aspek kehidupan masyarakat bisa dijalankan dengan
baik. Nyatanya, daerah yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten
lebih memiliki akses dibandingkan desa-desa yang sulit diakses atau lebih jauh.
Ada dua jenis kelompok yang ‘unik’ di tiga desa ini
yaitu Majelis Ta’lim dan kelompok pemuda yang lebih spesifik ke kategori
mahasiswa. Majelis T’lim misalnya yang menjadi salah satu kelompok di
masyarakat karena dorongan nilai-nilai religiusitas dan budaya yang sejak lama
mereka pegang. Aktifitas mapun praktek ibadah bersama serta wadah silaturahmi
anggotanya mengikat kuat hubungan sosial di antara masyarakat. Kelompok yang
kedua, walaupun sifatnya tidak permanen—karena ikatan keakraban saat menyandang
status sosial sebagai mahasiswa—tetapi mampu menganalisis kebutuhan
lingkungannya. Namun belum ada informasi yang memadai untuk melihat dengan
jelas kelompok mahasiswa di tiga desa ini, khususnya kelompok pemuda yang fokus
pada masalah lingkungan atau pecinta alam.
[1] Sejak
awal berkumpulnya anggota SRP Tompobulu, mereka terus berkomunikasi dengan NGO
bernama Perkumpulan Payo-Payo yang berkantor di Bantimurung Maros. Walaupun
awalnya kelompok ini masuk dalam kerangka program Substainable Livelihood
(Senat Mahasiswa Helsinki: 2007-2009 & Kementrian Luar Negeri: 2010-2012),
untuk selanjutnya SRP Tompobulu coba mengembangkan sendiri gagasannya tentang
kelompok dan belajar mengatur kelompoknya secara mandiri.
[2] Berdasarkan
Data dari Laporan Praktek Lapangan (PKL) Mahasiswa Akademi Keparwatan Makassar
Angkatan XV, Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep,
Tanggal 05 – 31 Maret 2011. Hlm.33.



0 komentar:
Posting Komentar