Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sabtu, 27 Oktober 2012

Merancang-Bangun Sistem Keselamatan Rakyat



                                            Judul: Merancang-Bangun Sistem Keselamatan Rakyat: Pengalaman Kelola Bencana di Lima Kabupaten
Penulis: Ishak Salim & Lubabun Ni’am (eds)
Pengantar: Hedar Laudjeng & Saleh Abdullah
Rangkuman: Roem Topatimassang
Penerbit/Tahun: Insist Press, Mei 2012
Halaman/Lebar: 101 halaman, 15 x 21 cm
ISBN: 602-8384-49-6

DI BEBERAPA TEMPAT, nyatanya masih ada sistem keselamatan rakyat yang dibangun melalui kelompok-kelompok kecil. Memadukan antara kerja-kerja kebencanaan dengan usaha membangun gerakan sosial lebih luas. Gerakan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan karena memang sejatinya fakta bencana menyangkut keselamatan orang banyak.

Buku berjudul Merancang-Bangun Sistem Keselamatan Rakyat menawarkan cerita lain dari proses pembangunan sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Usaha-usaha ‘kecil’ komunitas di lima kabupaten (Kabupaten Bengkulu Utara & Tengah, Kabupaten Ende, Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Maluku Tenggara) sejak bergulirnya Undang-Undang 24 Tahun 2007. Lima kabupaten berkumpul, berbagi pengalaman dan merefleksikan proses belajar yang tengah berlangsung.

Satu-persatu praktik ‘cerdas’ penanganan bencana di daerah—baik yang dilakukan kelompok masyarakat, NGO maupun pemerintah daerah—hadir di tengah-tengah diskusi. Menggambarkan kerja-kerja komunitas mengurangi risiko bencana di lingkungannya dengan memanfaatkan aneka sumberdaya; pengetahuan lokal, hukum adat, kelembagaan, sistem sosial, sistem pendidikan hingga kelompok-kelompok yang ada di desa. Sebuah sistem kerja bersama, dalam ranah Pengurangan Risiko Bencana (PRB), agar mampu menjadi gerakan sosial yang lebih luas.

Buku ini penting untuk dibaca semua orang, khususnya mereka yang sedang atau akan bekerja di isu-isu kebencanaan. Salah satu buku yang memperkenalkan paradigma baru dalam melihat fakta kebencanaan dengan tetap mengacu pada konteks lokal. Studi komprehensif yang ‘mengupas’ proses legislasi yang lahir dari meja kerja legislatif (top down) kemudian menceritakan kerja-kerja kreatif di lima kabupaten. Buku ini juga menawarkan model alternatif proses legislasi yang bisa digunakan untuk mendukung gerakan sosial mainstreaming PRB di segala lini kehidupan.

SALEH ABDULLAH DAN KHAEDAR LAUJENG mengantar pembaca untuk menyimak terlebih dahulu landasan filosofi mengenai tanggung jawab negara menjamin keselamatan warganya. Menurut mereka (penulis), bencana menjadi kendala besar bagi masyarakat memenuhi kebutuhan/hak dasarnya. Acuan penting tentang pemenuhan hak dasar manusia—yang menjadi tanggung jawab negara—salah satunya adalah pemenuhan Hak Asasi Manusia dengan menjamin keselamatan hidup. Hak tersebut sulit terwujud ketika masyarakat dalam konteks rentan terhadap ancaman bencana, sehingga ketika hazard hadir di tengah-tengahnya, jaminan keselamatan hidup tidak mungkin terwujud.

Paradigma baru penanganan bencana merupakan usaha melibatkan secara penuh masyarakat dalam proses penanggulangan bencana. Sebuah rangkaian terpadu di seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan membuka ruang partisipasi masyarakat tanpa terkecuali. Maka model kerja seperti ini menuntut adanya koordinasi yang baik di antara pemangku kepentingan seperti pemerintah, NGO, lembaga-lembaga donor internasional dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Penulis juga menegaskan hakekat desentralisasi serta penyelenggaraan pemerintahan di daerah untuk membantu pembaca menyimak fakta-fakta penanganan bencana dalam tulisan berikutnya. Bagi penulis, penting untuk mempertimbangkan secara seksama ‘semangat’ lokalitas agar kebijakan yang dibuat bisa lebih memahami konteks masyarakat. Hendaknya lebih menghargai keberagaman budaya, bisa mengadaptasi nilai-nilai dan pengetahuan lokalitas untuk menopang penyelenggaraan pemerintahan yang ideal sesuai amanat UUD 1945.

RANGKUMAN yang ditulis Roem Topatimassang coba memberi gambaran fakta-fakta penanganan bencana serta relasi kuasa pada sebuah kebijakan (legalitas lembaga-lembaga pendidikan dan riset) di lima Kabupaten. Menganalisis proses legislasi dengan teori dasar ilmu politik kemudian mengembalikannya pada proses ideal.

Bagi penulis, draft kebijakan sejatinya lahir dari masyarakat untuk menghindari lahirnya regulasi yang out conteks—umumnya banyak terjadi di Indonesia. Akibatnya, lembar kebijakan yang lahir belum mampu menyelesaikan masalah ataupun menjawab kebutuhhan masyarakatnya.

Di sisi lain, kuasa lembaga pendidikan (universitas) maupun lembaga riset masih kuat sebagai sumber melegitimasi bagi draft kebijakan melalui naskah akademik, legal drafting, policy paper dan legalitas ‘pembenaran’ pengetahuan lainnya. Jika proses legislasi tidak melalui lembaga yang dianggap ‘akademis’, maka hasilnya akan dipandang sebelah mata saja. Sementara, ketika proses legislasi dimulai dengan menggali langsung pengetahuan masyarakat, pandangan umum akan melihat proses tersebut kurang ‘benar’, tidak obyektif, tidak bersandar pada ‘ilmu pengetahuan modern’ dan pandangan negatif lainya.

Untuk menangkal pandangan di atas, Roem mengangkat dua kasus proses legislasi untuk menguatkan argumentasinya. Pertama cerita dari Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Sinjai, Sabir, tentang setumpuk PERDA Inisiatif yang pernah Sinjai telurkan tanpa melalui uji akademis (naskah akademik). Awalnya alasan keterbatasan anggaran, DPRD di Sinjai tidak punya pilihan mengalokasikan anggaran besar untuk mendapatkan sebuah naskah akademik—dari lembaga pendidikan maupun lembaga riset. Akhirnya DPRD memulai merancang PERDA mereka dengan menelusuri kebutuhan masyarakat secara langsung. Mencatat dan menganalisis bersama, kemudian mengujikannya ke publik untuk dibawa ke meja kerja legislatif menjadi sebuah draft PERDA. Dari cara seperti ini Sabir mengaku tidak harus dipusingkan lagi dengan anggaran karena tidak harus menyewa jasa lembaga pendidikan atau lembaga riset dan membuat seminar besar untuk publik untuk merancang PERDA Inisiatif. Selain ‘murah meriah’, cara ini sebenarnya lebih efektif menjawab kebutuhan karena dibuat berdasarkan masukan warga.

Cerita lain Roem angkat dari Malauku Tenggara. Rancangan PERDA Tata Ruang yang dikerjakan sejak 2008 tidak kunjung selesai. Padahal anggaran yang DPRD gunakan tidak sedikit. Bahkan DPRD sempat menggunakan jasa konsultan dari Universitas bergengsi di Ibu Kota, Universitas Indonesia. Setelahnya rancangan tersebut coba diujikan. Nyatanya banyak bagian yang berbenturan dengan adat istiadat masyarakat sehingga DPRD harus mempertimbangkan kembali rancangan ini. Kemudian  DPRD kembali harus menyewa jasa Universitas Pattimura Ambon untuk melakukan riset terhadap Tata Ruang Maluku Tenggara—apalagi mengingat hubungannya dengan kedekatan konteks budaya. Namun hasilnya nihil, PERDA Tata Ruang tidak kunjung menemukan titik terangnya.

Dari dua cerita di atas, Roem coba menawarkan proses legislasi alternatif yang seharusnya bisa dijadikan contoh bagi daerah lain, khusunya untuk kebijakan penanganan kebencanaan daerah. Memulainya dari anasilis kebutuhan yang dilakukan bersama masyarakat, bukan sebaliknya, memulainya dari meja kerja legislatif—yang sebenarnya output kebijakannya akan keluar dari konteks masalah. Roem mengistilahkan proses ini—dengan mengutip Ahmad Mahmudi—sebagai counter-draft legislation.

CERITA LEBIH DETIL dari praktik-praktik ‘cerdas’ masyarakat bersama pemerintah di lima Kabupaten kemudian dikemas oleh dua penulis, Ishak Salim dan Lubabun Ni’am. Ishak menuliskan jejak-jejak penanganan bencana oleh masyarakat sekitar Kawasan Hutan Bungeng-Ramae bersama pemerintah di Sinjai dan bagaimana hukum adat membantu Maluku Tenggara menjaga keseimbangan ekologi kepulauan. Ni’am mengambil sudut pandang lain yakni dengan menarasikan tahapan-tahapan pemangku kepentingan di kabupaten Ende untuk membangun sistem penanganan bencana berbasis masyarakat. Ni’am juga mengangkat ‘kerumitan birokrasi’ di dalam penanganan bencana di tengah dinamika perpolitikan daerah di dua Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah.

Di bagian lain, kedua penulis mengkolaborasi penjelasannya  mengenai peran lembaga-lembaga jejaring Insist di lima kabupaten, tempat dilaksanakannya Program Pengurangan Risiko Bencana. Lembaga-lembaga yang dimaksud  yakni Mitra Aksi (Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah), Nen Mas Il (Maluku Tenggara), FIRD (Ende) dan Perkumpulan Payo-Payo (Sinjai). Lembaga-lembaga inilah yang turut mengawal gerakan sosial mainstreaming PRB dengan mendampingi kelompok-kelompok di berbagai tingkat masyarakat—baik dengan menginisiasi pembentukan kelompok baru maupun dengan memanfaatkan kelompok yang sudah ada seperti kelompok tani, komunitas guru dan sebagainya. Tidak lupa penulis menyertakan cerita-cerita pengorganisasian yang Lembaga lakukan—membangun kerjasama dengan pemerintah daerah di semua tingkatan (kabupaten, kecamatan, desa hingga dusun) dan legislatif (Komisi yang membidangi kebencanaan) untuk memaksimalkan gerakan sosial yang sedang dibangun. Pemerintah daerah yang dilibatkan secara umum meliputi seluruh SKPD serta lembaga pendukung lainnya (SAR, TAGANA, SATKORLAK, MGMP, MKKS dan sebagainya), khususnya yang berhubungan langsung dengan penanganan kebencanaan di daerah.

Masing-masing kabupaten, yang dituliskan di dalam buku, memiliki ‘keunikan’ tersendiri, baik dilihat dari inisiatif yang diambil maupun masalah yang dihadapi:
·         Cerita dari Kabupaten Sinjai dimulai dengan gambaran konteks kebencanaan di kawasan hutan. Sejak semula, kebijakan kehutanan kurang mempertimbangkan konteks sebelum menelurkan sebuah kebijakan. Salah satunya kebijakan kehutanan tentang jenis bibit untuk kawasan hutan Bungeng-Ramae. Karena bukan tumbuhan lokal, tanaman Pinus dituding oleh masyarakat sebagai penyebab berkurangnya sumber-sumber di sekitar hutan. Bukan hanya itu, peristiwa longsor di tahun 2006 pun mengindikasikan pinus sebagai penyebabnya—karena akar tidak mengikat kuat tanah di daerah curam.
Longsor ternyata bukan hanya menghabisi masyarakat di pegunungan, tetapi juga menjadi penyebab banjir bandang di Sinjai Utara dan sekitarnya. Kemudian, beramai-ramailah orang di hilir menyalahkan mereka yang tinggal di pegunungan. Mereka dituduh sebagai perambah hutan yang menyebabkan petaka.
Dari peristiwa inilah, Asikin Pella (informan dalam tulisan) bersama Payo-Payo menginisiasi pembentukan kelompok masyarakat siaga bencana di Desa Kompang. Kelompok kemudian lebih mengutamakan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam usaha PRB di Kompang. Misalnya melakukan penghijauan di dalam Kawasan Hutan dengan menanam aneka bibit yang lebih kuat menahan tanah ketika intensitas hujan meninggi dibandingkan pinus. Kelompok juga secara aktif melakukan kajian serta analisis kebencanaan di lingkungannya bekerja sama dengan Sekolah.
·         Pada tulisan Maluku tenggara, Ishak mengangkat usaha masyarakat menyelesaikan persoalannya dengan memanfaatkan hukum adat, khususnya menata keseimbangan ekologi di daerah pesisir. Misalnya menggunakan larwul ngabal untuk mencegah perluasan kerusuhan sosial tahun 1999 silam. Hukum adat ini bahkan mengalahkan hukum formal negara dan agama.
Yayasan Nen Mas Il, sebagai lembaga yang sejak lama—bahkan sebelum program BSM-DRR (Building Social Movement-Disk Risk Reduction) berlangsung—berkubang dengan masyarakat desa untuk melakukan pengorganisasian. Sebagai salah satu aktor gerakan sosial di Maluku Tenggara, lembaga ini cukup dikenal masyarakat. Bahkan beberapa anggotanya mampu menembus seleksi sebagai legislator tahun 2009—kemudian semakin memperkuat bargaining position komunitas di antara pemangku kepentingan.
Dalam ranah penanganan kebencanaan, ‘jalan tol’ untuk menciptakan sistemnya pun dapat terwujud. Berkat jaringan politik dan modal sosial yang ada semakin memudahkan proses lahirnya PERDA pembentukan BPBD, yang artinya akan memuluskan akses dalam mendapatkan aliran dana kebencanaan dari BNPB dan urusan yang berhubungan dengan administrasi lainnya. Bahkan gerakan di Maluku Tenggara menargetkan perampungan PERDA lain untuk menjadi pendukung gerakan sosial PRB di masa mendatang.
·       Mengutip Gabriel, “Gubernur NTT yang penah mengatakan, kalau mau belajar penanggulangan bencana berbasis masyarakat, pergi ke Ende!” Pernyataan ini cukup beralasan, pasalnya kabupaten ini jauh lebih dulu memiliki Forum PRB yang dibangun dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan di masyarakat—berbagai tingkatan dan profesi—walaupun di tengah proses pembentukannya banyak dipengaruhi perpolitikan di daerah. Jauh sebelum rencana pembentukan forum tingkat kabupaten bergulir, FIRD terus berjibaku di pelosok-pelosok desa melakukan pengorganisasian di kominitas masyarakat.
·         Dua Bengkulu, Bengkulu Utara dan Tengah lebih banyak membahas dinamika perpolitikan daerah yang berdampak pada birokrasi. Kabupaten Bengkulu Utara jauh lebih maju dalam penanganan bencana jika dibandingkan Bengkulu Tengah. Juli 2008, Bengkulu Tengah resmi memekarkan diri sebagai kabupaten baru—sebelumnya menjadi bagian dari Bengkulu Utara—sehingga harus membenahi internalnya terlebih dahulu. Bahkan—karena perpolitikan daerah yang belum stabil—Bengkulu ‘muda’ ini belum bisa menyelesaikan pemilihan Bupatinya. Kekosongan pucuk kepemimpinan menjadikan kerja-kerja PRB harus ‘jalan di tempat’.
Maslah lain yang mengemuka mengenai keterbatasan dana. Desakan BNPB kepada Pemerintah Daerah untuk segera menyelesaikan perangkat hukum penanganan kebencanaan daerah berimplikasi pada tersendatnya anggaran untuk mendanai kerja-kerja PRB. 
Pemekaran dua Bengkulu juga mendesak Mitra Aksi (Lembaga yang mendampingi BPBD) untuk meluaskan area kerjanya. Tapi hal ini bukannya tanpa masalah karena keterbatasan personil yang dialami Mitra Aksi menjadikan mereka (fasilitator lapangan) harus bekerja ekstra di dua Bengkulu. Buah kerja keras Mitra Aksi dan BPBD adalah berhasil mengintegrasikan PRB ke dalam kurikulum pendidikan formal dengan melibatkan Dinas Pendidikan setempat dan mengorganisir warga kecamatan Air Napal untuk menghentikan eksploitasi bahan galian C di wilayah pesisir pantai.
Yang unik dari Bengkulu Tengah , penulis menceritakan inisiatif BPBD mentaktisi keterbatasan anggaran mereka dengan mengakses APBD. BPBD, dengan memanfaatkan hubungan baik mereka—ditambah sedikit ‘ancaman’—coba mendesak legislatif untuk mendapat anggaran dalam mengoperasikan struktur baru mereka. BPBD juga membuat strukturnya menjadi lebih fleksibel—menjadi 5 divisi dengan menambahkan Divisi Pemadam Kebakaran di antara empat divisi pada umumnya.

SEBAGAIMANA UMUMNYA BUKU-BUKU ‘PROGRAM’, di bagian akhir berisi rekomendasi yang berisi saran dan rencana tindak lanjut dari proses belajar bersama lima kabupaten. Namun buku ini hanya menekankan dua isu, yang sejatinya bisa menyertai tindakan-tindakan penanganan kebencanaan yaitu wawasan Tata Ruang dan Politik Ekonomi. Berikut penjabarannya:
  1. Hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan politik dan kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat atas kepemilikan sumberdaya alam setempat serta jaminan keberlanjutan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
  2. Hal-hal yang  sangat berkaitan dengan visi dan ideologi politik yang akan melindungi kemampuan-kemampuan produktif lokal rakyat agar bisa terlepas dari ketergantungan terhadap bantuan luar.

Dua rekomendasi yang penting untuk menjadi bahan refleksi atas gerakan sosial yang sedang diusahakan oleh seluruh pemangku kepentingan di isu kebencanaan. Dua hal yang sebenarnya telah tersirat dari judul di bagian penutup,” Wawasan Tata-Ruang & Politik Ekonomi: Pekerjaan Rumah Berikutnya”.[]

Kamis, 25 Oktober 2012

26


Ibumu pernah bercerita tentang sehelai pintu yang terangkat dari daunnya oleh angin marah
Bagimu pintu sangat berharga untuk lenyap di hutan

Bukan sekadar pintu
Benda berbentuk persegi, jalan masukmu ke dunia
Bertulis tanggal, bulan dan tahun
Kini ibu tidak bisa ingat tanggalnya, hanya bulan dan tahunmu berbaring di sisi lengan empuknya

Aku tidak perduli dengan angka-angka itu
Yang aku mau, malam ini kau berbaring di lengan kakuku istriku


Berkelompok Yuk!


Umumnya, di banyak desa di Sulawesi Selatan, masyarakat mengorganisir diri dalam sebuah kelompok karena momentum program, baik yang diinisiasi pemerintah, NGO hingga lembaga-lembaga donor internasional. Tidak terkecuali di tiga desa penelitian (Kelurahan Balleangin, Desa Tompobulu dan Bonto Birao Kabupaten Pangkep). Kelompok menjadi salah satu persyaratan untuk menjalankan program baik yang sifatnya ‘penguatan kapasitas’ untuk mengelola pengetahuan & pemanfaatan sumberdaya desa, ‘peningkatan ekonomi’ sektor riil, ‘pengembangan infrastruktur’ hingga modernisasi ‘teknologi perdesaan’.
Sederhananya bisa dikatakan kelompok adalah syarat administrasi sebelum maupun saat program akan dijalankan di suatu tempat. Misalnya, program subsidi pupuk oleh Dinas Pertanian. Petani bisa mendapatkan pupuk bersubsidi ketika dia secara administratif terdaftar sebagai salah satu anggota kelompok tani, tempat program akan dijalankan. Melalui kelompok tani kemudian pupuk-pupuk bersubsidi disalurkan ke petani. Dari kondisi ini maka tidak jarang pula ada beberapa tempat yang segera membentuk kelompok hanya untuk bisa mengakses program yang sedang atau akan dilakukan. Bahkan tidak jarang ditemukan petani yang tidak tahu menahu kehadiran namanya di salah satu kelompok tani. Maka pertanyaan paling mendasar yang bisa diajukan adalah apakah kelompok menjadi suatu kebutuhan petani?
Hal paling tampak di ketiga desa penelitian ialah infrasturktur fisik seperti sarana irigasi, jalan dan demplot-demplot yang dikelola kelompok tani. Untuk infrastruktur kesehatan, ada beberapa gedung di sekitar pusat pemerintahan desa, sarana air bersih, MCK, saluran pembuagan air (got/parit) dan pusat pemeriksaan kesehatan balita (Posyandu). Sisanya adalah fasilitas publik dan pemerintahan seperti aula pertemuan dan pengembangan gedung pemerintahan. Untuk mengetahui nama program yang mendominasi pengembangan infrasturktur fisik desa ini bisa dilihat dari papan penunjuknya, seperti ‘PNPM-Mandiri’, yang biasanya diiringi dengan tahun pengerjaannya. Ada pula NGO internasional, semisal CARE yang lebih memfokuskan programnya ke pengadaan air bersih untuk kelompok-kelompok warga—baik lewat kelompok yang sudah ada maupun dengan membuat kelompok baru.
Pembentukan kelompok di wilayah penelitian mengacu kepada struktur administrasi yang sudah ada di desa atau struktur yang lebih kecil lagi seperti dusun/lingkugan, RT hingga RW. Tujuannya agar memudahkan proses pembentukan dan koordinasi anggota dalam kelompok. Jika membandingkannya dengan mengacu stuktur yang belum ada, cara ini lebih memudahkan dalam mengidentifikasi warga yang akan diajak masuk ke kelompok dan terlibat dalam program.
Walaupun masyarakat umumnya memahami tujuan ideal dan pentingnya membentuk kelompok. Hal ini bisa kita temukan dari beberapa pahaman budaya lokal tentang gotong royong (situlung-tulung), semangat persatuan, saling mengingatkan (sipakainge’) dan solidaritas. Tetapi tidak sedikit pula individu yang masih menggunakan alasan prgmatis seperti untuk mendapat bantuan, atau agar bisa mengakses pupuk murah dan sebagainya. Nilai-nilai lokal itu belum maksimal digunakan oleh masyarakat di dalam proses berkelompok.
Kembali pada dorongan awal berkelompok di tiga desa, masih sulit untuk menemukan ada kelompok yang murni dibuat oleh masyarakat atas inisiatif sendiri berdasarkan analisis kebutuhan mereka. Bisa dikatakan dorongan/inisiatif tersebut berasal dari pihak luar, atau desakan kebutuhan petani atas input-input pertanian, atau gabungan keduanya. Hal ini di akui oleh seorang ibu, warga Bonto Birao. Menurutnya, suaminya terlibat dalam kelompok di Dusun Bonto karena menjadi keharusan dari kebijakan Pemerintah Kabupaten yang mengharuskan petani tergabung dalam kelompok tani. Akhirnya keterlibatan suaminya di kelompok dirasa tidak memberikan manfaat. Apalagi setelah terjadi keterlambatan penyaluran bantuan pupuk di kelompoknya. Pupuk yang disalurkan juga harganya sama saja dengan harga pasaran.
Hal sama juga di akui tiga petani Bonto Birao lainnya. Menurut mereka, keterlibatan mereka dalam kelompok tani tidak memberikan manfaat yang berarti. Apalagi pupuk yang didapat melalui Kelompok harganya sama dengan haraga umum di pasaran, terkadang, lebih murah sekitar 5.000 rupiah setiap karungnya.
Selain soal pupuk, pembagian traktor tangan juga tidak bisa dinikmati oleh seluruh anggota kelompok karena harus digunakan secara bergantian—harus berburu dengan jadwal musim tanam atau saat penghujan tiba. Jika petani harus menggunakan traktor secara bergiliran, maka akan memakan waktu yang cukup panjang. Sementara,  petani harus berburu waktu musim penghujan karena sebagian besar lahan petani Bonto Birao berada di bukit-bukit yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. Ketua kelompok dan pengurusnya biasanya punya kesempatan lebih menggunakan traktor bantuan tersebut karena mereka senantiasa menjadi prioritas. Akibatnya, setiap masa pengolahan lahan akhirnya mereka tetap harus menyewa traktor.
Kepentingan paling nampak dalam upaya pembentukan kelompok di tiga desa adalah modernisasi pertanian. Maka pengembangan infrastruktur desa lebih ke arah modernisasi pertanian ketimbang kebutuhan riil petani. Padahal modernisasi sistem pertanian lebih berorientasi pada kuantitas produksi dan pelipatgandaan nilai ekonomi melalui usaha agroindustri, untuk kepentingan pelaporan; dan tidak selalu berarti kesejahteraan petani.
Modernisasi pertanian yang telah menjadi pahaman banyak orang tidak selalu membuat petani mengikutnya. Contohnya,  Kelompok Petani Perempuan di Tompobulu (CARE) yang baru (berdiri 2012), kelihatan lebih aktif melakukan praktik cocok tanam secara organik. Di sana mereka membantu mengajarkan teknik penanaman dan perawatan tanaman dan tanah yang ramah lingkungan.
Kelompok lain di Tompobulu (SRP Tompobulu), mencoba alternatif dari paradigma modernisasi pertanian ke arah pertanian sustainable. Mereka berkelompok sejak 2006 hingga sekarang dengan mempraktekkan SRI untuk lahan padi mereka di bukit-bukit Tompobulu, salah satunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap input pertanian dari luar dengan memproduksinya sendiri.[1]
Contoh lain ada di Balleangin. Dari persoalan air bersih yang dialami warga hadir inisiatif untuk mengumpulkan warga . Sebuah kepastian, saat musim kemarau tiba, warga RW Demanggala dan Ce’lae akan kesulitan mendapat air bersih. Setelah membicarakan bersama-sama masalah tersebut, muncul ide untuk kelompok bernama Kelompok Air Timpuseng. Kemudian warga mengajukan sebuah proposal bantuan untuk merealisasikan rencana ini bersama-sama, termasuk bagaimana kelompok akan mengelola air bersih kedepannya.
Saat ini, di Kelurahan Balleangin, sumber air bersih yang digunakan oleh warga bersumber dari: ledeng (34,77%), sumur gali (14,13%), sumur pompa (10,88%), sungai (14,38%) dan mata air dari pegunungan yang dialirkan melalui selang (25,75%).[2]
Salah satu trend program yang mengubah ruang-ruang perempuan dalam ranah publik adalah dengan melibatkan mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan seperti Kelompok Petani Perempuan (CARE: Tompobulu tahun 2012), Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (Tompobulu), Kelompok Petani Perempuan (Dinas Pertanian Kab. Pangkep: Bonto Birao untuk program Tanaman Pekarangan) dan Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga/PKK (Pemerintah Pusat sejak masa Orde Baru). Selain kelompok khusus perempuan, mereka juga secara formal ikut terlibat di beberapa program besar sekelas PNPM-Mandiri dan program lainnya.
Trend kelompok perempuan di atas bersifat formal sebagaimana organisasi berserta perangkat dan struktur bentukannya. Di aras informal, keterlibatan perempuan di dalam kelompok-kelompok—yang tidak menitik beratkan pada isu gender—juga terjadi. Dalam sebuah obrolan bersama istri-istri ‘pemegang proyek besar’ dan ‘pejabat desa’, mereka kerap mengambil peran informal dalam mempengaruhi kebijakan yang secara formal dibuat oleh suami-suami mereka. Misalnya pada bagian penentuan tempat belanja material proyek, melengkapi persuratan dan administrasi proyek, menyebarluasan informasi ‘burung’ hingga cerita-cerita miring di dalam proses pengerjaan peroyek.
Dari pemaparan di atas, maka tampak jelas kondisi yang umumnya terjadi pada kelompok-kelompok di desa. Kelompok yang dibentuk oleh karena kebutuhan program, tidak sepenuhnya menjadi kebutuhan warganya. Sebelum lebih jauh menyimpulkan permasalahan kelompok di atas, mari kita menyimak bagian-bagian yang membedakan masing-masing kelopok di tiga wilayah.
Kesamaan mengenai kondisi kelompok-kelompok di tiga desa karena adanya kemiripan struktur sosial dan faktor eksternal yang berkontribusi dalam proses pembentukannya. Tetapi, ada bagian tertentu yang membedakannya. Misalnya, dalam perjalanannya kelompok di Balleangin jauh lebih cepat berkembang dibandingkan dua desa lain. Karena akses dan jarak Kelurahan Balleangin lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten, juga menjadi pusat pemerintahan dan aktifitas ekonomi di kecamatan, menjadikan kelompok di kelurahan ini jauh lebih memiliki pengalaman organisasi yang kompleks.
Contoh lain, adanya akses Pasar Balleangin membuat wilayah ini penuh dengan kegiatan ekonomi riil di waktu-waktu tertentu. Pasar menjadi pusat interaksi, bukan hanya interaksi jual beli, tetapi juga informasi dan perluasan jaringan usaha. Kondisi ini kemudian memungkinkan bagi kelompok-kelompok usaha di Kelurahan Balleangin untuk lebih berkembang jika dibandingkan dua desa lainnya yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Kelompok-kelompok usaha ini berkaitan dengan usaha simpan pinjam petani, jual-beli pupuk, bibit & pestisida, agribisnis dan semacamnya.
Contoh lain adalah percepatan pembangunan desa tertinggal lebih memfokuskan wilayah kerjanya di Kelurahan Balleangin karena statusnya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi kecamatan. Memang secara kontitusional sudah ada otonomi daerah, hanya saja tidak serta merta praktiknya di semua tingkatan sosial dan segala aspek kehidupan masyarakat bisa dijalankan dengan baik. Nyatanya, daerah yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten lebih memiliki akses dibandingkan desa-desa yang sulit diakses atau lebih jauh.
Ada dua jenis kelompok yang ‘unik’ di tiga desa ini yaitu Majelis Ta’lim dan kelompok pemuda yang lebih spesifik ke kategori mahasiswa. Majelis T’lim misalnya yang menjadi salah satu kelompok di masyarakat karena dorongan nilai-nilai religiusitas dan budaya yang sejak lama mereka pegang. Aktifitas mapun praktek ibadah bersama serta wadah silaturahmi anggotanya mengikat kuat hubungan sosial di antara masyarakat. Kelompok yang kedua, walaupun sifatnya tidak permanen—karena ikatan keakraban saat menyandang status sosial sebagai mahasiswa—tetapi mampu menganalisis kebutuhan lingkungannya. Namun belum ada informasi yang memadai untuk melihat dengan jelas kelompok mahasiswa di tiga desa ini, khususnya kelompok pemuda yang fokus pada masalah lingkungan atau pecinta alam.


[1] Sejak awal berkumpulnya anggota SRP Tompobulu, mereka terus berkomunikasi dengan NGO bernama Perkumpulan Payo-Payo yang berkantor di Bantimurung Maros. Walaupun awalnya kelompok ini masuk dalam kerangka program Substainable Livelihood (Senat Mahasiswa Helsinki: 2007-2009 & Kementrian Luar Negeri: 2010-2012), untuk selanjutnya SRP Tompobulu coba mengembangkan sendiri gagasannya tentang kelompok dan belajar mengatur kelompoknya secara mandiri.
[2] Berdasarkan Data dari Laporan Praktek Lapangan (PKL) Mahasiswa Akademi Keparwatan Makassar Angkatan XV, Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep, Tanggal 05 – 31 Maret 2011. Hlm.33. 

Senin, 13 Agustus 2012

Tiga Jenis Pedagang

RAHMAT, murid kelas IX di SMP Satap Negeri Tassese, pendiam. Sepintas orang-orang akan menganggapnya pelit. Hanya senyum yang biasa dia berikan. Bukan kalimat panjang, apalagi cerita.
            Pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Rahmat telah lenyap dari rumah untuk mencari rumput pakan sapi kesayangan. Menyusuri pematang berbukit dengan sebilah sabit dan karung berlipat di kedua tangannya. Jika kesulitan mendapatkan rumput saat pagi, biasanya Rahmat terlambat pergi ke sekolah.

Belajar Dari Anak


MASA kanak-kanak, masa yang senantiasa menggambarkan ‘keceriaan’, ‘kebebasan’, ‘kesenangan’ juga ‘kenakalan’. Sebuah ruang yang pasti akan berlalu kemudian datang untuk dirindukan kembali.

Seperti menapakkan kaki di ‘tanah tidak bertuan’[1], menurut  Ria (25 tahun). Masa tanpa rasa berdosa, menghabiskannya dengan terus bermain, tertawa terbahak-bahak, dunia yang melewati batasan nilai-nilai moral orang dewasa. Tidak ada jatuh cinta, ataupun patah asa. Permusuhan, hanya cukup untuk sesaat. Setelahnya, semua kembali normal seperti tidak pernah terjadi permusuhan sebelumnya. Tanpa ada sepatah maaf yang wajib diucap.

Kunyit, Ibu Kesembuhan


OBAT penutup sakit kali ini, air perasan kunyit dicampur madu. Kunyit menurut Aji mampu membunuh virus di dalam saluran pencernaan. Aku meramunya sendiri. Mulai dari memarut, memeras hingga mencampurkan bahan pelengkapnya ke dalam gelas. Reaksinya, perutku menjadi hangat dan tanganku berubah menjadi kuning.

            Dalam kondisi lelah, virus salmoenella typhi bisa menyerang manusia, tepatnya di saluran pencernaan dan menyebar keseluruh tubuh. Bakteri ini berkembang biak di kelenjar getah bening usus. Gejalanya mudah diketahui, mulai dari demam, suhu badan tidak teratur, nafas menjadi sangat panas, badan lemah dan ngilu di sekujur persendian.

Sabtu, 26 Mei 2012

PENDIDIKAN DI TASSESE UNTUK SIAPA?



Prolog
APA sebenarnya tujuan dari proses pendidikan? Apakah peserta didik benar-benar membutuhkan apa yang telah diajarkan? Pelajaran seperti apa yang peserta didik butuhkan untuk menjalani hidupannya? Apa pula yang sistem pendidikan harapkan selepas peserta didik keluar dari proses pendidikan?

Tenaga pendidik merupakan modal utama dalam proses belajar. Tenaga pendidik di negeri kita ini disebut dengan guru. Guru untuk sebagian siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan, namun tidak jarang pula ada yang menjadikannya sebagai sesuatu momok yang mengerikan. Pemegang otoritas dalam proses belajar. Aktor yang siswa anggap paling memiliki kuasa atas proses berpengetahuan di sekolah. Aktor yang berhak untuk menentukan salah dan benar. Menentukan rel pengetahuan seperti apa yang harus siswa lalui, karena dialah sumber utama pengetahuan.

Kamis, 03 Mei 2012

Sektor Tangga Selatan, Garda Depan Gerakan Perlawan Pedagang Pasar Terong




KEBUNTUAN AMING GOZAL untuk merevitalisasi Pasar Terong bermula dari penolakan pedagang di Sektor Tangga Selatan untuk direlokasi. Aming inilah pelanjut sebagai pemilik hak guna pasar setelah Ferry Sulityo sejak bulan Februari 2012 lalu.[1]

Tangga Selatan, selain sejarahnya sebagai pusat gerakan perlawanan pedagang Pasar Terong, tempat ini juga strategis dalam hal letak. Sektor ini berada di sebelah selatan gedung utama pasar dan diapit oleh ruko (rumah sekaligus toko) milik pemborong bernama Dg. Tata yang tidak dilunasi pembayaran pengerjaannya oleh Ferry. Jika dibandingkan dengan sektor lain, tangga selatan memiliki luas yang memadai untuk jalur angkutan material dan paling dekat dengan sisi gedung.

Tetapi, yang menjadi masalah developoer dalam agenda revitalisasinya ini, tangga selatan kini telah dipenuhi oleh pedagang. Ada sekira dua ratusan pedagang (172 pedagang sektor Tangga Selatan, Kelompok 40 dan Kelompok 17) dengan jenis jualan beragam, mulai dari rempah, sayur mayur, sepatu-sendal, CD bajakan, ikan, ayam hingga warung kopi. Menyingkirkan ratusan pedagang untuk untuk membuka jalan masuk kendaraan-kendaraan berat milik developer tentunya akan melahirkan benturan keras. Jika menghitung-hitungnya, ongkos sosialnya akan jauh lebih besar ketimbang ongkos ekonominya.

Sementara di pihak lain pedagang sejak revitalisasi pasar tahun 1995 terus berada di pihak yang dirugikan. Revitalisasi nyatanya tidak membawa mereka menjadi lebih baik. Pasar semakin sepi dari pengunjung tiap tahunnya. Hal ini diperparah pula dengan citra buruk yang berkembang di masyarakat tentang kondisi Pasar Terong—sebagaimana pasar-pasar lokal di Makasar pada umumnya. Pengelolaan pasar semakin tidak efektif, sampah sulit dikendalikan, jual beli tempat secara ilegal marak dilakukan oknum, dana retribusi yang harusnya bisa membuat pasar lebih terawat semakin tidak bisa dirasakan manfaatnya oleh pedagang. Belum lagi rival abadi pasar lokal yakni pasar modern dan minimarket yang menjamur di sudut-sudut kota dengan tata ruang sembrawut. Maka, semakin tersudutlah Pasar Terong bersama ‘kegalauan’ pedagangnya.

Di tengah kekisruhan yang terjadi, Kepala Pasar Terong kemudian menginisiasi pertemuan untuk mencari jalan penyelesaian persoalan relokasi. Setelah meminta pertimbangan SADAR dan AcSI, Kepala Pasar merancang pertemuan untuk mempresentasikan inisiasi yang dimaksudkan.

*

LEWAT PUKUL 10 PAGI, pedagang pun berkumpul di Warung Kopi Puccu milik Herman (salah seorang pedagang di Tangga Selatan, juga aktif di organisasi pedagang SADAR). Satu persatu pedagang duduk di kursi panjang terbuat dari kayu menghadap secangkir kopi masing-masing.

Kepala Pasar membuka pertemuan dengan menunjukkan gambar denah Pasar Terong. Kemudian dia mulai menjelaskan rencana yang menurutnya tidak akan merugikan pedagang.

Seluruh pedagang di sektor Tangga Selatan disarankan untuk menempati areal parkir sebelah Barat gedung, tepat di depan pintu depan gedung utama pasar. Catatannya, seluruh biaya relokasi akan ditanggung oleh Aming Gosal selaku Direktur Utama PT. Bintang Sinar Persada, termasuk menyediakan lapak pedagang di lokasi relokasi serta keamanan. Kepala Pasar beralasan bahwa selama ini yang menghambat developer mengerjakan revitalisasi adalah persoalan tidak pernah selesainya negosiasi anatara pedagang di Tangga Selatan dengan pihak developer untuk penggunaan sektor tersebut sebagai jalur keluar masuk kendaraan yang akan mengangkut material bangunan.

Pihak developer mengaku kesulitan karena pedagang menyediakan ruang yang sempit untuk kendaraan-kendaraannya. Alasan lainnya mengenai keselamatan pengunjung. Saat pekerja melakukan pengerjaan, tidak menutup kemungkinan ada bahan material yang terlempar ke bawah—mengingat rencana revitalisasi lantai tiga dan empat yang bersamaan waktu pelaksanaannya—sehingga sangat beresiko bagi pengunjung. Namun dari semua alasan yang telah disebutkan pada initinya adalah developer membutuhkan ruang yang lebih lowong untuk memermak bagunan yang selama ini sudah tidak bermanfaat lagi.

Aming Gosal tentunya tidak ingin rugi dengan revitalisasi yang dia kerjakan. Harga hak guna bagunan dan kelola yang dibeli dari Ferry Sulityo tidaklah kecil. Pada dasarnya tidak ada pengusaha yang mau rugi, sehingga untuk berharap besar developer untuk mengambil resiko kerugian dengan memihak pedagang sangat tidak mungkin.

Pemerintah Kota Makassar, melalui PD Pasar Makassar Raya pun memiliki kepentingan yang berbeda. Alat hisap PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota ini terus mencari jalan untuk memperbaiki pasar-pasar yang ada di bawah kewenangannya. Aming Gosal merupakan satu di antara banyak investor yang mendapat tawaran untuk menangani Pasar Terong. Tentunya Pemerintah Kota tidak ingin melihat pasar terbesarnya menjadi padang lapak yang sepi tertiup ancaman investasi lain di pasar modern.

Di sisi lain, pemerintahan sekarang yang berjalan bersama pembangunan citra terus memantapkan hegemoni-hegemoni kuasanya. Memanfaatkan setiap momentum—salah satunya Pemilukada—untuk menancapkan pilar-pilar kekuasaan di ranah basis. Bagaimana mengambil suara rakyat agar saat kekuasaan didapatkan rakyat tidak mampu lagi bersuara. Nah, politik citra ini juga digunakan oleh sebagian figur untuk menopang karir politiknya. Salah satunya adalah Walikota. Bahkan Kepolisian Daerah Sulselbar pun turut menggunakan pencitraan satabilitas Makassar untuk memungut satu persatu simpati masyarakat yang terus berguguran.

Bagaimana kemudian untuk merawat pencitraan di ranah publik? Pastinya dengan meredam ataupun menghindari adanya gejolak-gejolak di komunitas masyarakat. Apalagi Kota Daeng ini telah menjadi salah satu faktor produksi penting untuk berita-berita media lokal maupun nasional.

Kepala Pasar kemudian berada di posisi yang dilematis, tertekan dari atas untuk meredam gejolak di masyarakat, sementara di lingkungan pasar harus disibukkan oleh benturan developer dengan komunitas pedagang.

Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan untuk pedagang yaitu apakah tempat relokasi (areal parkir pasar) sebanding dengan jumlah pedagang seluruh Sektor Tangga Selatan yang ada sekarang. mempertimbangkan ini penting karena bisa saja akan menghadirkan perselisihan kembali di tubuh pedagang sendiri. Kemudian memperhitungkan Bulan Ramadhan, Lebaran, Natal dan Tahun Baru—waktu di mana pedagang bisa memaksimalkan pendapatan karena meningkatnya konsumsi rumah tangga—dengan lama waktu pengerjaan revitalisasi oleh developer.

Jika berpatokan pada perhitungan Zainal—bahwa lama pengerjaan yang dibutuhkan developer untuk menyelesaikan pengerjaan Tangga Selatan adalah 8 bulan—maka perlu ada kerelaan dari pedagang untuk mengambil risiko dari pilihan tersebut. Namun sebisa mungkin dalam proses negosiasi dengan developer, perlu menimbang-nimbang banyak implikasi dimunculkan. Maka perlu bagi pedagang untuk membangun banyak pilihan-pilihan alternatif agar tidak terhenti pada satu pilihan yang sempit.

Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah pedagang harus bersikap dalam situasi ini? Bagaimana pedagang memunculkan posisi tawarnya untuk mengubah penghidupan yang semakin menekan ke arah yang lebih berkeadilan? Pihak mana yang mungkin bisa masuk dalam persekutuan rakyat untuk berdaulat atas pasarnya?

**

MENJADI sebuah keharusan bahwa pedagang harus siap dengan segala perubahan di lingkungannya. Kondisi pasar yang sekarang tidak cukup berpihak pada mereka untuk bisa melanjutkan eksistensi pasar lokal di Makassar. Sebagai contoh paling sederhana, AcSI sebagai lembaga yang mendampingi organisasi pedagang (SADAR) belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dalam wacana publik. Pertanyaan seputar kerusakan ekologi di lingkungan pasar, ketidaknyamanan pengunjung, kemacetan dan stigma negatif lainnya.

Dari serentetan pristiwa yang terjadi sejak masuknya Aming Gosal di dalam Pasar Terong telah menghadirkan bermacam masalah. Salah satu implikasi yang nampak adalah ketidakpercayaan pedagang terhadap developer karena sikapnya yang terus menunda-nunda kesepakatan yang telah dibuat bersama. Bahkan dalam satu hal, developer justeru mengingkari konsensus yang mereka bangun sendiri.

Sejarah penghianatan di lingkungan pedagang telah membuat mereka memiliki ketakutan yang berlebihan. Dari pengelola satu ke pengelola lain, dari satu developer satu ke developer lain hingga dari walikota satu ke walikota lain. Drama penghianatan berlanjut. Implikasinya, pedagang akan menimbang ribuan kali untuk memutuskan akan membuat kesepakatan.

Sejak 2003 pedagang—khususnya pedagang yang berada di luar gedung seperti palappara, pamejang, pagandeng, pakalontong—berhasil membangun organisasinya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah. Tujuannya untuk menghimpun kekuatan di tubuh pedagang agar memiliki nilai tawar dengan kekuasaan dalam memperjuangkan visi kemandirian dan kedaulatan atas pasar.

Walaupun telah ada ‘rumah’ bersama bagi pedagang untuk berjuang, bukan berarti tanpa masalah. Dinamika dari proses membangun hingga menjalankan organisasi menemukan kendala dan tantangan. Sebagian memilih organisasi sebagai jalan aman untuk tetap melanjutkan keberadaannya di pasar, sebagiannya menyerahkan hidup matinya untuk organisasi. Tetapi ada pula sekelompok pedagang yang apatis dengan gerakan perlawanannya dan memilih untuk menerima ‘penghisapan’ sistematis terhadap hidupnya. Mirisnya, kelompok satu ini yang jumlahnya lebih banyak.

Jika melihat lebih luas lagi keluar lembaga SADAR, maka di lingkungan komunitas pasar akan nampak peta politik pedagang dengan segala kepentingan yang melekatinya. Sekedar gambaran kasar, ada beebrapa kelompok seperti APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), APPT (Asosiasi Pedagang Pasar Terong) dan SADAR (Persaudaraan Pedagang Pasar Terong) yang merupakan tiga organisasi besar di Pasar Terong.

Pedagang pemilik kios di dalam gedung membentuk organisasinya sendiri dengan nama APPT. Organisasi ini merupakan terjemahan pemerintah atas kebutuhan pedagang tentang pentingnya berhimpun. Sementara, pedagang yang tidak terakomodir di organisasi resmi APPT kemudian menghimpun diri di SADAR—yang didampingi oleh Zainal Siko. Seperti yang telah digambarkan sebelumnya, SADAR merupakan ruang yang diciptakan padangang-pedagang di luar bangunan (kaki lima). APPSI dengan nama besarnya ternyata masih menggunakan kekuatan figur untuk membesarkan organisasinya karena fakta yang ada, masih sangat sulit untuk bisa melihat orang-orangnya di lingkungan pasar.

Di samping tiga organisasi besar pedagang di atas, sebenarnya masih banyak kelompok-kelompok kecil yang ada secara informal, baik kelompok yang berorientasi penguatan jaringan usaha dagang maupun usaha ‘premanisme’.

Tidak terkonsolidasikannya kelompok-kelompok maupun organisasi di lingkungan pedagang ini di satu sisi bisa menjadi kekuatan—sulit bagi kekuatan luar (yang berkepentingan mematikannya) untuk membaca kekuatan-kekuatan di masing-masing komunitas. Namun di sisi lain justeru menjadi benih perpecahan—kerena perbedaan visi serta kepentingan. Dalam perjalanannya, terjadi interaksi maupun benturan-benturan antar kelompok. Inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh developer untuk mempermudah rencana pengambilalihan hak penentuan ruang atas pasar.

Kemudian, bagaimana dengan pedagang-pedagang yang tidak memilih untuk masuk ke dalam kelompok? Di pihak mana sebenarnya mereka? Peran apa yang bisa mereka ambil dalam memperjuangkan keberadaan pedagang di dalam pasar?  Atau mereka akan tersingkir dengan sendirinya bersama rasa putus asa.

***

MOMENTUM untuk mengkonsolidasikan kekuatan di tubuh pedagang telah hadir. Dalam perebutan ruang-ruang (sosial, politik dan ekonomi) pasar harus mulai dibicarakan oleh seluruh pedagang. Peluang untuk melakukan perubahan kecil untuk perubahan yang lebih besar.

Sebenarnya ada tujuan lebih jauh dari inisiatif yang digambarkan Kepala Pasar saat pertemuan di Warung Kopi Puccu, yakni menjadikan Sektor Tangga Selatan ini sebagai pilot project bagi Pasar Terong dalam mengelola sektor lainnya. Jika inisiatif ini bisa berjalan dengan baik bisa menjadi semangat bagi pedagang lain untuk melakukan hal yang sama. Berjuang untuk menentukan ruang atas lingkungan tempatnya mengais hidup.

Selain itu, kepercayaan pedagang yang telah lama hilang terhadap pengelola pasar bisa terkikis sedikit demi sedikit. Rasa tidak percaya yang akut di diri pedagang yang berimplikasi hingga pada hubungan intrapersonal di antara mereka. Proses pengembalian legitimasi terhadap pemegang wewenang menjadi bahan pembelajaran yang berharga.

Bayangan AcSI tentang Pasar Terong yang kelak bisa menjadi salah satu percontohan bagi pasar-pasar lain di Kota Makassar mungkin bisa dimulai dengan menjadikan Sektor Tangga Selatan sebagai langkah awalnya. Tinggal bagaimana menciptakan sebuah sistem yang mampu melakukan fungsi kontrol  serta mekanisme reward and punishment secara sosial, bukan mengacu pada hukum formal yang ada saat ini karena terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan pasar. Tentunya semua itu dibangun oleh pedagang sendiri dengan mamaksimalkan seluruh potensi yang dimiliki.[]


[1] Adendum atas perjanjian kerjasama bersyarat nomor: 511.2/053/S.PERJA/UM Tanggal 61 Agustus 1995, tentang Peremajaan dan Pengembangan Serta Pengelolaan Pasar Terong Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang antara PD. Pasar Makassar Raya Kota Makassar dengan PT. Bintang Sinar Persada (dahulu Bernama PT. Makassar Putra Perkasa) Nomor: 511.2/65/II/PD.PSR/2012-0100/II/BSP/2012.

Senin, 13 Februari 2012

Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana



“HUTAN LINDUNG pada konteks sekarang, sudah seharusnya kita mengubahnya menjadi LINDUNGI HUTAN! Hubungan yang lebih menguntungkan antara hutan dengan manusia. Bukan merugikan salah satunya.”

Dua penggalan kalimat Asikin Pella (60 tahun) di atas menjadi pesan awal dalam diskusi Kelompok Tani Sipakatau dengan puluhan peserta dari SMPN SATAP Karangko 5 Februari 2012. Berawal dari inisiatif warga, kemudian mendorong sekolah dan kelompok masyarakat lain menggelar diskusi terbuka di dalam kawasan Hutan Lindung Desa Kompang. Peserta yang sebagian besar adalah murid kelas VII, VIII dan IX antusias mengikuti kegiatan. Diskusi ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan penanaman pohon yang bertema “Usaha Anak Mengurangi Risiko Bencana”.

*

BUNGENG & RAMAE merupakan kawasan hutan yang letaknya berdampingan, tidak terpisah. Dulunya, menurut Asikin, pada zaman pemerintahan Belanda, dua kawasan ini memiliki luas sekitar 500 hektar. Sekarang, lanjutnya, luas itu bertambah. Sayang sekali, Asikin tidak bisa mengira-ngira sekarang luasnya berapa. Bahkan, Kepala Desa Kompang sampai aparat Dinas Kehutanan (yang hadir pada acara penanaman pohon) juga tak mengetahui pasti luasnya. Kawasan ini masuk dalam wilayah administrasi Desa Kompang, Bonto Lempangan, Patongko, Arbika, Bonto Salama dan Gantarang. Menurut Asikin, ada sekitar 300 hektar lahan kawasan hutannya masih memprihatinkan dan perlu dihijaukan kembali.

Sudah bermacam usaha PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dilakukan di Desa Kompang, baik melalui pemerintah, inisiasi kelompok di masyarakat hingga organisasi kemasyarakatan yang bekerja di seputar lingkungan. Usaha-usaha tersebut di antaranya: Program KBR (Kebun Bibit Rakyat) oleh Dinas Kehutanan melalui kelompok-kelompok tani sejak 2010, SRP Payo-Payo dengan penanaman Pohon Aren bersama Kelompok Tani Sipakatau tahun 2008, SMPN SATAP Karangko dengan dengan Program Pendidikan Bencana 2011 hingga sekarang dan masih banyak usaha individu lain.

Awal 2012 ini, sekolah menyegarkan kembali usaha penghijauan kawasan hutan melalui Pendidikan Bencananya. Kali ini melibatkan lebih banyak lagi pihak di dalam masyarakat seperti Kelompok Tani Sipakatau, Pemerintah Desa, SRP Payo-Payo serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Kegiatan penghijauan tidak lepas dari peran guru SMPN yang menyisipkan Pendidikan Bencana ke dalam aktifitas OSIS—selain di dalam aktifitas belajar-mengajar di sekolah, baik mengintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada maupun sebagai mata pelajaran baru di Muatan Lokal. Lebih jauh lagi, Kasim (Guru SMPN SATAP Karangko) berencana menjadikan kegiatan ini bagian dari kegiatan rutin OSIS di sekolah. Kepala Sekolah pun mengiyakan rencana ini dan siap mendukung segala aktifitas OSIS selama kegiatan itu masih bersifat positif untuk siswa.

**

SATU TAHUN sudah penerapan Pendidikan Bencana dilakukan di SMPN SATAP Karangko. Gerakan sosial dipelopori oleh lima sekolah di Kabupaten Sinjai yakni 2 SMPN dan 3 SDN.[1] SRP Payo-Payo (organisasi jejaring Insist Yogyakarta) merupakan organisasi yang mendampingi proses Pendidikan Bencana hingga tahap evaluasi (rencananya akan dilakukan Februari 2012). Sejak persiapan hingga proses penerapan, sekolah terus coba melibatkan berbagai pihak di masyarakat guna memaksimalkan gerakan sosial ini. Tentunya ada beberapa pihak lain yang turut mendukung proses seperti Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Bakominfo dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sinjai.

Setelah melihat berbagai hambatan yang dihadapi—dari rekaman proses dari persiapan hingga penerapan—menimbang ‘pintu masuk’ PRB yang ‘pas’ pun dilakukan. Apakah akan menjadikannya sebagai mata pelajaran baru atau mengintegrasikannya saja. Mempertimbangkan begitu banyak hal, mulai dari bahan ajar yang kurang, proses penilaian yang sulit, penyesuaian praktek pembelajaran dengan dokumen-dokumen kurikulum (RPP dan Silabus), rumitnya menentukan standar kompetensi dan keberhasilan pembelajaran hingga bentuk laporan pendidikannya. Padahal ada bagian lain yang perlu menjadi bahan pertimbangan lainya seperti melihat proses dalam ranah metode pembelajaran.

Bukan bemaksud mengesampingkan ranah kurikulum ataupun kebijakan, tetapi hemat penulis perlu menyimak hal-hal yang langsung berhubungan proses belajar yakni pada metodenya. Sebaik apapun perangkat pendidikan yang ada (hukum dan konsep), jika metode penyampaiannya masih menggunakan model lama—porsi lebih banyak ceramah dan penugasan tertulis—maka sulit melihat perkembangan keberhasilan Pendidikan Bencana yang dilakukan.

Di sinilah Kasim coba menutupi kelemahan proses Pendidikan Bencana dengan mengembangkan model belajar, khususnya di kelas VII. Dia membawa anak-anak lebih dekat melihat dan mengenal lingkungan desa Kompang yang dipenuhi dengan ancaman tanah longsor. Membuat apa yang dipelajari murid menjadi lebih dekat dan nyata.

Bagi Kasim, PRB tidak cukup jika hanya dibicarakan dan direncanakan saja. Perlu melihat semua peluang agar anak-anak bisa memahami PRB dengan maksimal. Dari alasan tersebut Kasim mulai merancang strategi untuk mengintegrasikan PRB dalam mata pelajaran yang dia pegang yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Proses belajarnya pun tidak hanya di dalam kelas, tetapi juga mengunjungi langsung objek yang sedang dibahas.[2]

Anak-anak perlu mendapatkan pemahaman secara dini mengenai PRB agar bisa lebih maju di masa mendatang dalam menghadapi kejadian bencana yang bisa datang kapanpun.

Inisiatif Kasim ini kemudian bertemu ‘jalannya’ setelah Kelompok Tani Sipakatau dan Pemerintah Desa Kompang menyambut baik kerjasama penanaman pohon—sebagai bagian dari Pendidikan Bencana—yang diinisiasi oleh SMPN SATAP Karangko. Sebuah gerakan yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak kelompok di masyarakat dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana di Desa Kompang.

***

MINGGU pagi, pukul 08.30, peserta berkumpul setengah jam lebih awal dari kesepakatan. Beberapa anak mengkoordinir teman-temannya untuk mengambil bibit-bibit di tempat penangkaran milik Kelompok Tani Sipakatau. Setelahnya, guru mulai mengabsen peserta yang akan mengikuti kegiatan penanaman sekaligus mencatat jumlah bibit yang dibawa masing-masing peserta. Kurang lebih 120 peserta penanaman hadir yang terdiri dari 90 orang murid, 2 orang guru, 9 orang kelompok tani, dan 7 orang lainnya. Satu peserta kemudian membawa lebih dari 2 bibit. Jadi ada sekitar 300 bibit yang dibawa untuk ditanam.

Jalan menanjak menyambut peserta di awal perjalanan. Masyarakat membangun jalan beton ini pada 2008 silam melalui dana bantuan PNPM Mandiri. Jalan inilah yang membuka akses ke wilayah-wilayah terpencil Desa Kompang, seperti Pari-parigi, Patontongan dan Lappara.

Peserta melangkah satu persatu mengikuti jalan besar yang semakin mengecil menjadi jalan setapak. Dari kejauhan peserta nampak seperti rangkaian kereta api yang meliuk-liuk. Peserta pun mulai membaur dalam perjalanan ini, antara murid dan anggota kelompok tani maupun dengan masyarakat.

Pationgi menjadi titik penghijauannya. Tempat ini berada di Dusun Barugae, Desa kompang. Pada 2006 silam, Pationgi menjadi salah satu titik longsor. Walaupun wilayah sangat curam, peserta penghijauan masih bisa menjangkaunya. Semak-semak berduri masih mendominasi bukit-bukit dengan beberapa jenis pohon beragam jenis yang jaraknya tidak rapat. Jadi cukup beralasan jika pelaksana memilih Pationgi sebagai tempat pelaksanaan penanaman pohon.

Setiba di lokasi penanaman yang miring, anggota kelompok tani  bergegas untuk menebas semak sebelum peserta melaluinya. Beberapa lainnya mulai menggali tanah. Setelah menyingkirkan semak, masing-masing peserta mulai mencari lokasi terbaik untuk menanam bibit yang dibawa. Sesekali terdengar suara peringatan, baik dari guru maupun anggota kelompok tani, agar peserta memperhatikan jarak tanam. Sementara murid riuh sorai dalam kelompok-kelompoknya menikmati kegiatan penanaman mereka.

Dua hari sebelum kegiatan, sekolah memberikan pembekalan kepada murid-murid untuk mempermantap proses belajarnya. Salah satunya adalah memberikan penugasan agas mereka juga melakukan diskusi dengan anggota kelompok tani saat di lapangan. Mencatat jenis-jenis pohon yang ada di dalam hutan berikut klasifikasi pohon berdasarkan ciri-ciri fisiknya.

Lebih lanjut panitia membawa peserta ke tempat datar untuk melanjutkan diskusi. Sebagai pembuka, Ansar (Kepala Desa Kompang) memberikan sepatah kata untuk peserta sebelum membuka diskusi. Kemudian dilanjutkan oleh Asikin Pella (Ketua Kelompok Tani Sipakatau) dan salah seorang Alumni Fakultas Kehutanan Unhas yang bekerja di Forum Hutan Kemasyarakatan.

Diskusi berjalan dengan dinamis. Pembicara yang terdiri dari kelompok masyarakat, pemerintah desa dan tokoh-tokoh kemasyarakatan memaparkan penjelasan seputar masalah lingkungan dengan sangat sederhana. Peserta kemudian menanggapi serta melemparkan beberapa pertanyaan. Reski Oktaviani (14 tahun), yang juga sebagai Ketua Osis, mengawali pertanyaan seputar manfaat dari usaha menjaga kelestarian lingkungan. Selanjutnya, giliran murid-murid yang lain mengajukan pertanyaan.

Ada satu catatan penting dalam diskusi ini yakni mengenai usaha pengurangan risiko bencana dan usaha menghadapi perubahan iklim. Dua tema yang mendapat perhatian khusus bagi peserta walaupun sebenarnya masih sulit bagi murid seumuran mereka—kisaran 13 sampai 15 tahun—untuk memahami konsep-konsep yang dipaparkan.

Seusai melakukan diskusi, peserta segera membenahi perlengkapan mereka kembali untuk menuju bendungan. Tempat ini ditunjuk oleh mereka sebagai tempat beristirahat setelah beraktifitas seharian. Di antara mereka ada yang membawa perlengkapan memasak maupun bahan-bahan masakan—bahan mentah maupun makanan jadi.

Dari lokasi penanaman pohon, bendungan hanya berjarak kurang lebih 1 kilometer saja. Bendungan ini memiliki pemandangan batu-batu alam berukuran ‘raksasa’ dengan selang seling pepohonan. Tempat ini awalnya adalah aliran sungai kecil yang jernih. Kemudian beberapa petani membendung air untuk mengatur alirannya. Kemudian air tersebut digunakan sebagai sumber irigasi persawahan. Namun beberapa tahun terakhir, tempat ini kerap menjadi tempat rekreasi bagi warga sekitar.

Menurut salah satu guru yang mendampingi, Ridwan, baru kali ini ada kegiatan di luar jam sekolah yang melibatkan seluruh siswa. Apalagi bentuknya adalah rekreasi. Anak-anak akan mengingat dengan baik keseluruhan proses karena kegiatan dikemas dengan santai.

Keseluruhan proses baru selesai menjelang sore, setelah masing-masing kelas menyelesaikan menu masakan yang mereka rencanakan. Sekitar pukul 15.10 WITA, rombongan kemudian meninggalkan tempat untuk kembali ke rumah masing-masing.[]


[1]  Ada lima sekolah yang menerapkan Pendidikan Bencana dalam skema program Membangun Gerakan Sosial Dalam Usaha Pengurangan Risiko Bencana. Tersebar di beberapa wilayah Kabupaten Sinjai seperti SMPN SATAP Tassoso, SDN 66 Gantarang, SDN 122 Mangottong dan SDN 104 Kalaka.
[2]  Tanggal 21 September 2011 silam, Kasim membawa murid-muridnya menuju titik-titik longsor 2006. Di sana, murid membuat laporan perjalanannya. Laporan perjalanan ini merupakan tugas dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kasim mengintegrasikan PRB di dalamnya dengan mengangkat tema Bencana Longsor. Dari sini kemudian berlanjut pada tugas-tugas lain seperti pembuatan naskah derama dan mementaskannya (dijelaskan lebih jauh pada tulisan lainnya, ‘Pendidikan Bencana di Atas Tanah Longsor).