Komoditas Awomallorong BersamaRakit-Rakit PenyusurWalanae
TAHUN 1982, bersama sahabatnya, Rustam—sekarang menjadi iparnya—Naharuddin memutuskan untuk keluar dari kampung halamannya, Coppeng-Coppeng. Kampung ini terletak di dusun Tonronge, desa Soga, kecamatan Marioriwawo, kabupaten Soppeng. Tujuan laki-laki 14 tahun ini adalah kota Sengkang, kabupaten Wajo. Saat itu dia menekuni pekerjaannya sebagai tukangmeubel seperti, meja, kursi, lemari dan lain-lain.
Setelah lima tahun melakoni pekerjaannya di Sengkang, Naharuddin memutuskan untuk kembali ke Coppeng-Coppeng dan menikahi Bansuhari yang berumur 18 tahun saat itu. Hanya terpaut satu tahun lebih muda dari umur Naharuddin.
Berhenti dari pekerjaan awalnya di Sengkang, Naharuddin kemudian meneruskan usaha orang tuanya di kampung kelahiran, berdagang bambu. Dari orang tuanya, Radjing, Naharuddin diwariskan 30 Dapureng (Rumpun Bambu) yang terletak di pinggiran sungai Walanae. Radjing sebenarnya memiliki 85 Dapureng. Kemudian Radjing membagikan Dapurengkepada empat orang anaknya sebagai warisan. Kakak Naharuddin, Syamsuddin mendapat 40 Dapureng di bantaran sungai Mario dan Duniati mendapat 15 Dapureng. Hanya H. Alimuddin yang tidak mendapat warisan bambu beserta tanahnya karena sampai sekarang lebih memilih untuk merantau di Samarinda, Kalimantan Timur.
Bansuhari juga mendapat warisan dari Ayahnya yang juga adalah pedagang bambu di masanya. Nama ayah Bansuhari adalah Muhammadiah. Namun pohon bambu milik Bansuhari kemudian ditebang pada tahun 1980an (awal), ketika tanaman Coklat (Theobroma cacao) masuk ke daerah ini.
Pada tahun 1980-1990an, Naharuddin menjual bambu-bambu miliknya dengan cara memberikan upah kepada orang lain untuk mengantarkannya kepelanggannya di Ca’benge dan Sengkang. Barulah pada tahun 2004—saat anak pertamanya Sutriana masuk di SMUN 2 Soppeng—Naharuddin mulai Ma’dai (pergi mengantar bambu dengan rakit) sendiri. Alasannya sederhana, untuk mengurangi biaya dari usaha berdagang bambu karena kebutuhan keluarga yang semakin meningkat.
Di sela-sela aktifitas berdagang bambu, Naharuddin juga merawat tanaman coklatnya. Namun, usahanya untuk menutupi kebutuhan keluarga dengan tanaman ini tidaklah berjalan mulus. Pada tahun 1991, hama penyakit mulai menyerang. Mulai dari buah kering dan keras, penggerek batang sampai kering pucuk. Banyak usaha yang dilakukan para petani di kampung ini, mulai dari pemangkasan, pengendalian hama dengan penyemprotan pestisida sampai akhirnya banyak pohon coklat yang terpaksa di tebang karena tidak bisa tertolong lagi. Tidak jarang, Naharuddin bersama petani yang lain mencari informasi dari luar mengenai penyakit yang menyerang tanaman tumpuan hidup mereka.
***
TERBIASA dengan merantau, Naharuddin kemudian memutuskan untuk pergi bertemu H. Rustam—rekan kerjanya saat di Sengkang—di Sungai Nyamuk, Kalimantan Timur (Berbatasan langsung dengan Malaysia Timur). Kemudian dia bekerja di sana dua tahun untuk bertani coklat. Dari sanalah kemudian Naharuddin mendapatkan banyak informasi mengenai tanaman coklat ini, termasuk mekmpelajari teknik sambung samping. Awalnya Naharuddin pergi merantau sendiri tanpa membawa keluarganya. Kemudian Bansuhari menyusul suaminya dua kali di Sungai Nyamuk, namun tidak dalam waktu lama. Paling lama tujuh bulan Bansuhari di Sungai Nyamuk untuk menjenguk suami dan keluarganya yang menetap di sana.
Sepulang dari tempat rantauannya di Sugai Nyamuk, tahun 2009 Naharuddin mempraktekkan pelajarannya di kebun coklatnya sendiri di Coppeng-Coppeng. Teknik sambung samping yang dipelajarinya selama dua tahun kemudian dicoba pada tanaman coklat yang terserang penyakit. Tidak lupa Naharuddin membawa tangkai unggul dari Sungai Nyamuk untuk dibudidayakan pada kebunnya sebanyak 50 batang. Hasilnya baru bisa dilihat setelah tiga tahun, karena teknik ini memerlukan waktu yang cukup untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Saat ini, ada sekitar 400 pohon yang sudah di sambung oleh Naharuddin, dan sudah ada beberapa yang bisa dilihat hasilnya. Selain buahnya yang lebih besar, warnanya juga berbeda dari buah coklat yang umumnya ada di desa Soga—bibit yang awalnya dibawa oleh H. Laedidari Cilelang, kabupaten Palopo—karena buahnya berwarna merah saat muda.
Untuk biaya produksi tanaman coklat (racun dan pupuk) tergolong cukup besar, terutama pada pemupukan. Naharuddin dalam setahunnya melakukan pemupukan dua kali. Dia membutuhkan 150 kilogram (tiga sak) pupuk Urea untuk luas lahan 1.5 hektar (800 pohon) dalam sekali pemupukan. Jadi dalam setahunnya Naharuddin membutuhkan 300 kilogram Urea untuk menjaga kesuburan lahannya. Untuk harga Urea persaknya adalah 92 ribu rupiah (tahun 2010). Jika dikalkulasi, dalam setahunnya Naharuddin mengeluarkan biaya untuk pemupukan sebesar 552 ribu rupiah.
Berbeda lagi dengan racun. Naharuddin lebih banyak menggunakan racun untuk membunuh rumput (herbisida) dengan jenis antara lain, Supremox, Bima Star dan Dema. Alasannya sederhana, karena sebagian besar lahan perkebunannya terdapat bebatuan yang menyulitkannya untuk melakukan pemangkasan secara manual. Rumput di sela-sela batu sulit dijangkau oleh alat pemotong sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Penyemprotan racun rumput dilakukan setiap enam bulan. Biasanya racun ini dicampur berdasarkan jenis rumput yang akan dimusnahkan. Untuk lahan coklatnya, Naharuddin mencampurkan 400 mililiter racun campuran dengan 4 liter air. Jadi dalam setahun Naharuddin membutuhkan 800 mililiter racun rumput saja. Sebagai alternatif pengendalian hama (buah keras), Naharuddin menggunakan pestisida seperti Klomin, Rivo dan Detis. Penyemprotan dilakukan tiga kali dalam setahun. Namun sejak tahun 2011 ini Naharuddin tidak pernah lagi menggunakan pestisida untuk tanaman coklatnya, hanya pembasmi rumput saja. menurut Naharuddin, hama yang ada sudah kebal dengan pestisida yang disemprotkan oleh petani. Jadi, menyemprotkan pestisida ataupun tidak, sama saja hasilnya. Hama tetap saja mengganggu tanaman Cacaonya.
Teknik sambung samping yang diujikan oleh Naharuddin ini membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa melihat hasilnya. Kemudian, apa yang bisa dilakukan Naharuddin untuk menutupi kebutuhan keluarganya sementara menunggu teknik sambung samping coklat yang dipelajarinya di Sungai Nyamuk berhasil?
***
SYUKURLAH Naharuddin bersama Bansuhari, istrinya, masih dikaruniai kekayaan bambu, warisan turun temurun keluarga. Dua dari tiga pemilik bambu besar kampung Coppeng-Coppeng di masa lalu, Radjing (ayah Naharuddin) dan Muhammadiah (ayah Bansuhari) telah mewariskan tanaman bambu mereka ke keluarga ini, kecuali H. Ledi (ayah M. Jamil, kepala dusun Tonronge yang kini lebih fokus ke tanaman jagung).
Tradisi dagang bambu di Coppeng-Coppeng melalui sungai—batangan bambu dijadikan rakit sebagai alat trasportasi sekaligus atau disebut juga ma’dai—dimulai sekitar tahun 1977 atau jauh sebelumnya. Saat itu ada tiga pedagang besar seperti yang telah disebutkan di atas, Radjing, Muhammadiah dan H. Laedi. Kemudian tradisi dagang tersebut berlangsung hingga sekarang oleh keturunan-keturunan mereka. Walaupun ada perubahan, misalnya ada beberapa pedagang bambu yang mulai menggunakan angkutan darat (truk) setelah akses jalan terbuka (pengerasan rampung tahun 1979 dan pengaspalan tahun 1992).
Ada dua bentuk komoditas bambu yang dijual, awomallorong (bambu batangan) dan salima (bambu yang sudah dipotong perdua meter, dibelah menjadi delapan bagian dan diraut untuk kemudian diikat—satu ikat ada 100 bilah bambu).
Tahun 2010 lalu, di kampung Coppeng-Coppeng, ada sekitar lima ma’dai bambu yang kerap beraktifitas di sungai Walanae dan sungai Mario. Diantaranya adalah Ganggang, Bakri, Napan, Babu dan Naharuddin sendiri. Namun di tahun 2011 ini menurun menjadi dua ma’dai saja, hanya tersisa Ganggang dan Naharuddin. Sebenarnya masih ada beberapa ma’dai dari kampung lainnya di desa Soga, misalnya di Tondronge dan dari desa Barae di seberangnya. Namun belum bisa dipastikan ada berapa orang yang masih aktif ma’dai, mengingat sebagian besar dari mereka masih menjadikan ini sebagai pekerjaan sampingan. Kadang ma’dai, kadang pun tidak.
***
PADA umumnya, ada dua tempat tujuan penjualan bambu Naharuddin, yakni Sengkang, kabupaten Wajo dan Ca’benge, kabupaten Soppeng. Terkadang ada pula pesanan dari tempat lain, seperti Matanru kabupaten Soppeng (perbatasan Soppeng-Wajo) dan Cempa (masih masuk wilayah Ca’benge).
Di Sengkang, langganan Naharuddin bernama Essang (orang asal Bellalao). Biasanya Essang tidak pernah menolak bambu yang ditawarkan, jadi bergantung pada persediaan bambu milik Naharuddin. Saat ini, Naharuddin hanya bisa memenuhi dua kali pengiriman bambu dalam sebulan saja karena banyaknya permintaan dari tempat lain, seperti Ca’benge. Langganan Naharuddin dari Ca’benge ada tiga orang. Pertama adalah Ludding untuk dua kali pengiriman dalam sebulan. Kedua H. Andi Baso. Langganan yang satu ini adalah langganan yang paling sering memesan bambu dari Naharuddin. Bahkan sampai tiga kali dalam sebulan. Langganan yang ketiga adalah Hj. Marpiah, langganan baru Naharuddin.
Dalam satu kali pengiriman, Naharuddin harus menyiapkan 200-250 awomallorong dan 50-100 ikat salima. Tidak jarang Naharuddin kewalahan dan tidak bisa memenuhi permintaan pelanggannya. Sistem pembayaran biasanya dibayar kontan, karena Naharuddin memiliki perjanjian sendiri dengan langganan-langganannya. Berbeda dari pedagang lainnya, biasanya bambunya bisa dicicil (bayar setengah terlebih dahulu). Apalagi untuk komoditas salima, Naharuddin mengaku untuk komoditas ini langganannya tidak bisa membayarnya dengan menyicilnya, karena dia juga harus membayar kontan kepada pemilik salima. Untuk jenis awomallorong, ada sekitar 2 ribu batang bambu setiap bulannya yang keluar dari kampung Coppeng-Coppeng untuk diantar ke para pemesannya. Artinya, dalam sebulan kampung Coppeng-Coppeng dapat meraup rupiah sekitar 20 juta jika harga jual bambu perbatangnya adalah 10 ribu rupiah.
***
SELAIN Coklat dan bambu, tanaman lain yang membantu Naharuddin sekeluarga saat ini adalah Pisang dan cabe. Tanaman Pisang dan cabe milik Naharuddin tumbuh dengan baik tanpa harus mendapat perawatan khusus sebagaimana tanaman Coklat. Misalnya saja tanaman Cabe. Tanaman ini tumbuh bebas di sekitar tanaman Coklat milik Naharuddin. Menurutnya, Cabe miliknya semakin banyak karena burung yang hidup di sekitar kebun yag menyebarkan biji Cabe. Isteri Naharuddin saat ini sudah bisa menjual cabenya seminggu sekali. Biasanya dalam seminggu Bansuhari bisa memanen 4-5 liter Cabe kecil yang harga perliternya adalah 7 ribu rupiah. Untuk pisang, Naharuddin memanennya per dua minggu. Dalam sekali panen, Naharuddin bisa menjual hingga 20 sisir yang setiap sisirnya dijual dengan harga 1500 rupiah.
Box 1 Ma’dai Ma’dai merupakan bambu yang disusun membentuk rakit dan diikat menggunakan bilahan bambu muda. Bisanya diatas rakit juga digunakan untuk mengangkut hasil bambu dalam bentuk lain, misalnya salima. Di atas rakit juga terdapat pondok yang dibuat untuk berteduh pembawanya dari hujan dan panas matahari. Pondok dibuat dari daun aren yang disulam menyilang dan ditengahnya dilapisi daun pisang. Untuk rangkanya, digunakan bilahan bambu sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Biasanya dibutuhkan dua hari untuk mempersiapkan rakit, mulai dari mempersiapkan tali pengikat, menurunkan bambu ke sungai sampai merangkainya menjadi sebuah rakit utuh. Untuk pengumpulan bambu biasanya dibutuhkan waktu hingga dua minggu. Pemilik rakit terlebih dahulu harus mencari dan menebang bambu. Tidak jarang mereka akan membeli dari pemilik bambu lainnya untuk mencukupi permintaan bambu dari langganannya. Harga bambu yang dibeli perbatangnya berkisar 7 sampai 8 ribu rupiah. Jika menebangnya sendiri, harga bambu hanya sekitar 4 ribu rupiah. Sampai di pembeli atau pengumpul, bambu akan dijual dengan harga berkisar 10 ribu rupiah. Susunan bambu yang akan dibentuk rakit sangat sederhana. Langkah pertama adalah membuat dasar rakit. Dasar rakit terdiri dari 8 ikat bambu yang diikat melingkar. Satu ikat bambu berisi 15 batang bambu. Jadi jumlah bambu untuk seluruh dasar rakit adalah 120 batang. Kemudian di atas dasar rakit diletakkan bambu melintang yang panjangnya sesuai dengan lebar rakit, kemudian diikat. Barulah sisa bambu disusun di atasnya (80 batang). Setelah rangkaian rakit jadi, barulah salima diletakkan di atasnya. Tidak lupa pondok untuk melindungi pemilik selama perjalanan. Rakit ini telah siap menyusuri sungai Walanae untuk sampai di Paddupa, Sengkang, tempat para pembeli bambu menantinya.[] |
|
***
DALAM sebulan, Naharuddin biasanya harus mengantarkan bambu-bambunya sebanyak 2-3 kali. Untuk sekali antar bambu berkisar 200-250 batang. Lama pengiriman bambu bergantung pada deras dan debet air sungai Walanae yang menghanyutkan rakit. Jika arus air kuat, maka pengiriman bambu bisa lebih cepat. Untuk air normal, lama pengiriman biasanya antara 15-20 jam untuk sekali pengiriman.
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, Naharuddin sebelum 2004 mempekerjakan orang lain untuk pengiriman bambunya untuk sampai ke pelanggan. Upah yang dibayarkan oleh Naharuddin adalah 150 ribu untuk sekali pengiriman. Namun setelahnya, Naharuddin lebih memilih untuk mengerjakan seluruhnya sendiri. Mulai dari mengumpulkan bambu, mengikatnya menjadi rakit hingga mengantar bambu sampai ke pelanggan.
Untuk ketersediaan bambu, Naharuddin belum mengalami kesulitan karena masih banyak orang yang menawarkan bambu padanya. Untuk mendapat harga bambu yang sesuai, biasanya Naharuddin lebih memilih untuk menebangnya sendiri ketimbang membeli bambu yang sudah siap jual karena harganya lebih murah. Dengan selisih harga tersebut, Naharuddin bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Misalnya saja, bambu yang dia tebang sendiri dari pohon biasanya dibeli dengan harga 3-4 ribu rupiah perbatangnya. Jika dibandingkan dengan bambu yang sudah siap jual harganya 7-8 ribu perbatang. Selisih harga bambu mencapai 50%. Artinya, Naharuddin bisa mendapat untung 6 ribu rupiah perbatangnya dengan asumsi harga jual bambu ke pelanggan adalah 10 ribu rupiah.
Tapi tunggu dulu! Lama pengerjaan biasanya 2 minggu untuk pengumpulan bambu dalam sekali pengiriman. Jika keuntungan ini harus dikurangi dengan biaya kerja, maka keuntungan yang didapatkan tidaklah sebesar yang diperkirakan. Upah minimum kabupaten Soppeng saat ini sekitar 1 juta 50 ribu rupiah perbulan—jika mengacu pada UMR nasional tahun ini. Berarti dalam seharinya biaya kerja Naharuddin dalam proses pengumpulan bambu adalah 35 ribu rupiah dikali 14 hari, atau 490 ribu rupiah untuk sekali pengumpulan bambu. Untuk 200 batang bambu seharga 4 ribu rupiah perbatang (Rp 6.000 x 200 = Rp1.200.000), dikurang biaya kerja (Rp 490.000) maka total keuntungan Naharuddin sebelum bambu dijual adalah tinggal 710 ribu rupiah dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh. Ini untuk satu tahapan proses, pengumpulan. Mari lihat berapa biaya yang harus dikeluarkan Naharuddin di proses lainnya.
Tahap kedua adalah membuat rakit. Lama waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan rakit adalah dua hari. Mulai dari membuat tali pengikat, menurunkan bambu ke sungai, menyusunnya sampai membuat pondok dari daun aren dan pisang untuk tempat berteduh selama perjalanan. Tidak lupa kayu bakar, serabut kelapa serta pasir untuk membuat dapur sederhana. Pada dasar rakit, ada 8 ikat bambu yang disusun. Dalam satu ikatan ada 15 batang bambu. Artinya, dasar rakit ada 120 batang bambu yang dirangkai menggunakan tali (juga terbuat dari bambu berumur muda). Rangkaian disatukan dengan sebuah bambu yang diletakkan melintang. 120 batang bambu inilah yang terendam sepenuhnya di dalam air sekaligus sebagai dasar rakit. Kemudian barulah membuat rangkaian berikutnya.
***
DI ATASNYA kemudian diletakkan sisa bambu yang berjumlah 80 batang (jumlah keseluruhannya adalah 200 batang). Jika ada permintaan salima, maka akan diletakkan di atasnya. Biasa juga ada permintaan potongan/gelondongan kayu jati yang diletakkan di bagian atas rakit. Setelah rangkaian rakit bambu selesai, barulah membuat pondok dari anyaman daun aren yang ditengah-tengah anyamnya diselipkan daun pisang. Artinya, jumlah hari kerja bertambah menjadi 16 hari kerja.Maka keuntungan sementara penjualan bambu harus dukurang lagi (Rp 710.000-Rp 70.000) menjadi 640 ribu rupiah.
Tahap terakhir adalah pengiriman. Jika harus mempekerjakan orang lain untuk mengantarkannya ke pelanggan, maka biaya kerja yang harus dikeluarkan adalah 170 ribu rupiah. Ini merupakan upah yang berlaku saat ini dan sudah termasuk ongkos angkutan antar daerah sebesar 20 ribu rupiah untuk pulang. Jadi pendapatan bersih Naharuddin adalah 470 ribu rupiah untuk sekali antar dengan jumlah hari kerja total 17 hari dengan tujuan Sengkang.
Jika bambu tidak ditebang sendiri, maka jumlah hari kerja akan berkurang menjadi 3 hari saja. Namun akan membengkak di biaya pembelian bambu. Dengan harga bambu 7 ribu 2 ratus rupiah (harga bambu batangan termurah saat ini jika sudah ditebang dari rumpunnya), maka keuntungan sementara adalah 560 ribu rupiah dari 200 batang bambu. Setelah dikurang ongkos kerja dan pengiriman (Rp 170.000 + Rp 70.000 = Rp 240.000), maka pendapatan bersihnya adalah 320 ribu rupiah saja untuk sekali pengiriman bambu.
***
TITIK berangkat rakit milik Naharuddin biasanya dimulai di tikungan sungai yang bernama Ma’busae (berbusa). Di tempat ini, selain aktifitas pembuatan rakit juga banyak terdapat penangkap ikan, mulai dari memancing, memukat sampai menjala. Bahkan, pada saat air sungai bening—pada saat musim kemarau—biasanya ada sekelompok orang menangkap ikan dengan cara menyelam. Penyelam ini dilengkapi dengan tombak dan alat tembak yang mereka buat sendiri dengan menggunakan karet ban dan mata kail terikat. Tidak lupa kacamata bawah air yang juga dibuat sendiri.
Ada beragam jenis ikan yang hidup di sungai ini, misalnya saja ikan Kandea, ikan Mas dan ikan Andrekaraja. Namun, jenis yang paling sering ditemukan adalah ikan Kandea, ikan berwarna keputihan dengan tulang yang banyak dan sangat tajam. Ukuran ikan yang hidup di sungai ini beragam, mulai dari sebesar telapak tangan, hingga sebesar paha manusia dewasa. Bergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan serta waktu penangkapan. Biasanya, ikan-ikan berukuran besar baru bisa ditemukan saat tengah malam.
Karena berada pada tikungan air, maka sungai di tempat ini memiliki badan sungai yang cukup luas dan dalam. Perluasan badan sungai merupakan akibat dari pengikisan tanah oleh arus air yang datang dari ulu sungai. Kondisi inilah yang menjadikannya sebagai tempat menarik bagi ikan-ikan dan tentunya juga para penangkapnya. Tempat ini akan ramai saat sore hari. Di pinggiran sungai juga terdapat beberapa pembuat salima yang mengiris bambu-bambu untuk kemudian diikat. Ada anak-anak bermain air, menyiangi jagung, memancing atau sekedar singgah untuk menikmati istirahat di pinggiran sungai penuh dengan bambu yang teduh.
***
SORE itu, rabu 4 Mei 2011, aku berjanji untuk menemui Naharuddin di Ma’Busae—sebuah tempat di pinggiran hutan bambu, di pinggiran sungai Walanae, di mana tempat ini menjadi salah satu titik aktifitas (mengumpulkan bambu, membuat rakit, membuat salima, menangkap ikan dan lain-lain) masyarakat kampung Coppeng-Coppeng. Setelah melewati jalan kampung, hanya ada jalan pengerasan yang sudah nampak becek. Jalan ini adalah jalan Usaha Tani yang dibangun oleh warga melalui dana PNPM Mandiri anggaran tahun 2009. Jalan inilah yang menghubungkan petani dengan kebun-kebun mereka, perakit dengan bambu-bambunya, penangkap ikan dengan sungainya. Jalan ini sangat licin, terutama pada saat setelah hujan, karena terdiri atas susunan batu gunung yang ditata bersama tanah liat.
Saat tiba, aku mendapati Naharuddin tengah mengerjakan rangkaian dasar rakitnya. Menurunkan beberapa bambu ke sungai. Memanfaatkan arus sungai untuk membantunya menyusun letak bambu, kemudian mengangkatnya ke atas rakit untuk diikat dengan tali yang telah dipersiapkan kemarin.
Dalam kesehariannya—baik saat mengerjakan rakit, berkebun dan aktifitas lainnya—Naharuddin memiliki jam kerjanya sendiri. Dia umumnya membaginya ke dalam dua shift, yakni pagi dan siang. Pagi dimulai pukul 06.00 WITA sampai pukul 11.00 WITA. Kemudian melanjutkannya setelah istirahat dan makan siang, yakni pukul 13.30 WITA sampai pukul 17.30 WITA. Yang uniknya adalah, Naharuddin nyaris mengetahui dengan pasti pukul berapa saat dia harus menghentikan pekerjaannya, padahal tidak ada penunjuk waktu yang dia bawa saat bekerja. Naharuddin biasanya menggunakan alarm yang ada di perutnya. Saat laparnya memuncak, saat itulah dia harus pulang. Tidak ada aktifitas makan pagi buat Naharuddin. Hal inilah yang menjadikan ‘alarm’ laparnya berbunyi pada pukul 11.00 siang.
Box 2 Soga dan Bambu Istimewa Soga sepertinya telah ditakdirkan untuk memiliki bambu yang bernilai jual. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, bambu telah menjadi kebutuhan yang penting dalam aktifitasnya. Ada banyak bagian kehidupan masyarakat yang menjadikan bambu sebagai bahan utamanya. Sebutlah dinding rumah, keranjang, pagar, mainan anak-anak, lantai dapur, penyangga tiang untuk membangun rumah, jebakan babi, kandang ternak, sampai tiang untuk antena telepon genggam. Banyak jenis bambu dengan kegunaannya masing-masing. Tapi bambu yang ada di desa Soga tidaklah banyak jenisnya. Hanya ada sekitar empat jenis,yakni Parring, Talang, Pettung dan Banua. Namun yang menjadi andalan dan dominan adalah bambu jenis Parring yang biasa digunakan sebagai penyangga saat membuat bangunan dan kandang ternak unggas. Bambu ini berukuran panjang hingga 8 meter dengan lebar lingkar tengah 12 sampai 17 sentimeter. Bambu ini termasuk jenis bambu yang kuat, tentunya jika mendapat perlakuan yang benar. Di kampung Coppeng-coppeng misalnya, masyarakat memiliki cara tersendiri untuk mengawetkan bambu-bambunya—mulai dari perlakuan saat menebang di mana mereka memilihh usia bambu antara 3-4 tahun dan telah ditumbuhi jamur berwarna putih kekuning-kuningan sehingga motif bambu lurik. Demikian pula menentukan waktu-waktu tertentu untuk memulai penebangan. Penduduk percaya, saat menebang bambu, pemilihan hari-hari tertentu berpengaruh terhadap kualitas bambu. Hari sabtu dan senin merupakan hari yang baik untuk penebangan. Demikian pula untuk menambah keawetan batang bambu, mereka merendam bambu-bambunya di aliran sungai selama 40 hari untuk mengurangi kadar nutrisinya. Kalau kurang percaya, lihat saja saat bambu baru ditebang, akan banyak semut yang datang di daerah irisannya. Jika kadar gula dalam bambu bisa dikurangi, maka peluang rayap untuk merusak bambu akan semakin kecil. Ketika ciri-ciri ini telah ditunjukkan oleh bambu, saatnya menebang telah tiba. Jika membiarkannya, maka bambu akan mati dengan sendirinya. Bambu-bambu yang mendapat ‘perlakuan yang baik’ bisa bertahan hingga 30 tahun. Selamat membuktikan!
|
|
Setelah menyelesaikan rangkaian dasar bambunya, kami pun kembali ke rumah. Besok pekerjaan akan dilanjutkan kembali.
***
SAAT pulang, Bansuhari ternyata belum kembali dari kebunnya. Tiga orang anaknya tampak berkumpul di teras rumah. Tidak lama kemudian, ketiganya bergegas masuk ke rumah karena langit sudah mulai gelap. Uco’, anak ke empat Bansuhari harus bersiap-siap bergabung dengan teman-teman sekelas di sekolahnya. Malam itu adalah jadwal belajar kelompoknya untuk belajar bersama mempersiapkan ujian nasional yang tinggal menghitung hari. Sofyan, yang baru duduk di kelas 2 sekolah dasar, sesudah mandi masih saja asik dengan aktifitas bermainnya. Berlari kesana kemari, begitu asik dengan dunia imajinasinya. Sementara Isna yang baru saja selesai ujian nasional tingkat SLTP tidak terganggu dengan kebisingan yang diciptakan Sofyan, seperti telah terbiasa dengan itu semua. Atau tayangan televisi yang menjaga matanya sudah begitu mengasikkan buatnya.
Sepulang dari kebun, Bansuhari membawa keranjang berisi bungkusan pelastik hitam. Di dalamnya terdapat cabe kecil yang masih lengkap dengan beberapa daun yang telah layu. Kemudian dia meletakkannya di atas tampah dan mulai memisahkan cabe dari daunnya. Yah, esok lusa, tepatnya setiap hari Jumat Bansuhari akan menjual cabe dari kebunnya ini ke penadah. Penadah akan mengambilnya langsung ke rumah Bansuhari dengan menggunakan mobil pickup. Selain cabe, penadah ini juga membeli pisang dan hasil kebun lainnya, seperti pisang, coklat dan lain-lain.
Setelah mempersiapkan makan malam untuk keluarga dan dibantu oleh Isna, Bansuhari masih memiliki kesibukan lain di rumahnya. Dia masih sempat juga untuk membuat jajanan khas daerah seperti kue Bugis, Pukis, pisang goreng, Barongko dan masih banyak lainnya. Bahkan setelahnya, Bansuhari belum juga mengakhiri kerjanya. Sambil bersantai, dia biasanya memilah dan merapihkan kain-kain yang akan dijahitnya esok, atau kapanpun dia memiliki waktu yang cukup luang untuk mengerjakannya. Jika saat mahasiswa dulu aku mengenal penjahit yang andal adalah penjahit Soppeng. Bahkan, seorang penyedia tenaga jasa jahit-menjahit, untuk menarik pelanggannya akan melekatkan kata Soppeng di pintu rumahnya, walaupun sebenarnya penjahit itu bukan berasal dari Soppeng. Kini saatnya aku menyaksikannya secara langsung. Kemudian aku coba menyodorkan celana jeans untuk di permak oleh Bansuhari. Walhasil, sungguh hasilnya memuaskan. Setidaknya itu untuk ukuran rapih menurutku.
Selain menjahit pakaian, Bansuhari juga bisa menjahit aksesoris rumah, seperti gorden, sarung bantai dan lain-lain. Tapi jangan salah. Tidak semua perempuan di tempat ini bisa menjahit dengan baik hanya karena mereka beridentitas ‘orang Soppeng’.
***
WALAUPUN Bansuhari terbilang sangat sering membuat jajanan di rumahnya, namun ketiga anaknya masih enggan untuk menghentikan jajanan warungnya. Makanan kegemaran ‘anak Indonesia’ sepertinya mendominasi hampir di seluruh pelosok negeri. Sebutlah misalnya mie instan, garoppo’, permen, minuman soda dan jajanan sampah lainnya. Lihat saja angka belanja terigu dan gula—bahan baku jajanan bebahan baku tepung terigu—Bansuhari tiap bulannya. Tiap bulan, Bansuhari menghabiskan sekitar dua liter terigu dan delapan liter gula. Belum lagi untuk jajanan berbahan baku lainnya, seperti pisang, ubi, gula merah dan telur. Untuk hitungan kasar, ada sekitar 100 ribu rupiah perbulannya pengeluaran untuk belanja bahan baku jajanan ini. Belum termasuk bahan baku yang tidak dibeli atau yang langsung diambil dari kebun.
Namun angka di atas belum bisa mengimbangi jumlah jajanan yang dikonsumsi anaknya setiap hari dari warung dan kios. Untuk tiga anak saja, sehari Bansuhari harus mengeluarkan uang paling sedikit 4 ribu rupiah. Untuk sebulannya, ada sekitar 120 ribu rupiah yang dikeluarkan oleh Bansuhari untuk menutupi kebutuhan jajan anaknya. Padahal usaha untuk menekan pengeluaran dengan membuat jajanan sendiri sudah dilakukan. artinya, justeru pengeluarannya menjadi lebih dua kali lipatnya.
Selain membuat jajanan, disela waktunya Bansuhari juga kerap disibukkan dengan aktifitas tambahan. Biasanya dia mengerjakannya sembari menyaksikan hiburan dari televisi seperti sinetron ‘Puteri yang Ditukar’, ‘Tarung Dangdut’, ‘Dia Anakku’ dan lain-lain. aktifitas akan bertambah jika jadwal keberangkatan Naharuddin untuk mengantar bambu telah dekat, bahkan hingga larut malam. Bansuhari harus menyiapkan perbekalan yang bisa dibawa oleh suaminya esok hari. Burasa’ merupakan bekal andalan karena bisa tahan lama dan bisa menggantikan nasi. Cukup memakannya dengan lauk apapun, jadilah menu spesial dalam perjalanan.
Proses pembuatan Burasa’ ini memakan waktu yang cukup lama, karena harus direbus selama lima jam. Jika membungkusnya pukul 22.00, maka Bansuhari baru bisa istirahat pada pukul 03.00 dini hari. Bansuhari mengaku kerap tidur sangat larut untuk menyelesaikan masalah logistik rumah tangganya karena saat siang hari harus membantu aktifitas di kebun suaminya.
***
SABTU pagi, 7 Mei 2011, rakit telah siap untuk berangkat, begitu juga dengan perbekalan yang dikerjakan Bansuhari tadi malam. dari informasi penduduk, akan ada tujuh rakit lain yang akan berangkat hari ini. ketujuh rakit tersebut milik Marsuki (lihat data Ishak Salim; 2011). Marsuki mengupah pekerja untuk mengantarkan bambu-bambunya ke pelanggan di Sengkang, Ca’benge dan lain-lain. tidak seperti Naharuddin yang membawa bambu-bambunya sendiri untuk dijual. Rakit kami memutuskan untuk menunggu rombongan rakit Marsuki. Rencananya kami akan berangkat bersamaan.
Setelah menunggu sekitar 90 menit, akhirnya rombongan rakit milik Marsuki muncul juga. Di atas masing-masing rakit hanya ada satu orang penumpang saja. Berbeda dengan kami yang penumpangnya berjumlah enam orang karena memang tujuan kami adalah mengetahui aktifitas perakit yang melintasi sungai Walanae ini. setelah melewatkan rombongan rakit milik Marsuki, barulah kami mengikuti di belakangnya. Ternyata bukan hanya bambu yang mereka bawa, tetapi ada pula kayu gelondongan di atasnya berjenis jati putih.
Tantangan pertama yang harus dilewati rakit-rakit ini adalah jeram dengan dinding-dinding batu gunung dipinggirannya. Ini ditambah lagi dengan arus dari pertemuan sungai Walanae dan Mario. Menurut Naharuddin, ini merupakan arus normal di sungai ini. Biasanya arus akan lebih kencang saat puncak musim penghujan, yakni sekitar bulan Mei dan Juni. Ramalan Naharuddin itu akan tepat jika tidak ada perubahan cuaca yang cukup jauh terjadi. Namun, sepuluh tahun terakhir, sangat sulit untuk memprediksi arus sungai akibat perubahan curah hujan. Contohnya seperti tahun lalu, di mana curah hujan lebih panjang terjadi dan mengakibatkan banjir di sekitar aliran sungai. setidaknya tercatat ada tiga banjir besar sejak tahun 1970 hingga sekarang, yakni tahun 1977, 1987 dan yang terakhir tahun 2003. Dari ketiga banjir besar tersebut, yang terakhir merupakan yang terparah. Menurut Budirman Azis (Kepala Desa Soga), bajir bukan hanya menghanyutkan jembatan di dusu Pallawa saja, tetapi juga menenggelamkan salah satu dusun di desa Barae. Tidak ada korban jiwa saat itu, namun banjir mengakibatkan rusaknya ratusan hektar tanaman pertanian penduduk di sekitarnya.
Perubahan alam secara global sebenarnya berdampak langsung kepada ekologi sungai Walanae. Jika sebelum tahun 1990-an biasanya banjir hanya terjadi satu kali dalam setahun, kini banjir bisa datang hingga lima kali dalam setahun. Walaupun demikian, untuk para perakit ini, banjir tidak berpengaruh besar terhadap penjualan komoditas mereka. Hanya saja, yang belum sempat perakit ini perhitungkan adalah berkurangnya tingkat keselamatan mereka selama perjalanan.
Sepanjang perjalanan, pemandangan yang paling memprihatinkan lainnya adalah pengikisan dinding sungai Walanae. Ada banyak pohon yang tumbang akibat erosi besar. Luasan sungai semakin bertambah, serta ancaman banjir di beberapa titik yang mengintai masyarakat sekitar bantaran sungai. bahkan ada bagian sungai yang bisa diseberangai dengan berjalan saja akibat pendangkalan. Beberapa penangkap ikan menjadikan aliran sempit dan dangkal ini sebagai tempat menjala ikan-ikan yang melintas mengikuti aliran sungai.
***
Digunakan untuk apa bambu-bambu yang dibawa oleh Naharuddin?
PEMBELI bambu-bambu milik Naharuddin biasanya adalah pengusaha ternak dan pengecer bambu. Tentunya pengusaha ternak membeli bambu-bambu—jenis komoditas salima—milik Naharuddin untuk memperbaiki kandang-kandang ternaknya. Nah, untuk pengecer bambu, biasanya pembeli menggunakan bambu untuk kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Ada yang menggunakan bambu-bambu sebagai bahan bangunan, karena bambu Naharuddin—yang berasal dari Soga—umumnya terkenal dengan ketahanan dan panjangnya. Ada pula yang pelanggan yang menggunakannya sebagai keramba/kandang untuk memelihara ikan air tawar. Umumnya, di sekitar danau Tempe banyak terdapat peternak ikan air tawar. Pemesan bambu dari kalangan peternak ikan air tawar juga tidak kalah banyaknya. Tidak jarang, Naharuddin sampai kewalahan untuk memenuhi permintaan bambu dari pelanggan-pelanggannya di berbagai tempat.
Untuk melayani permintaan dari Sengkang, Naharuddin biasanya hanya bisa memenuhi pengiriman sebanyak dua sampai tiga kali saja dalam sebulan. Ini mengingat jarak tempuh dan lama perjalanan yang harus dilalui. Untuk pemesan dari Ca’benge dan sekitarnya, Naharuddin bisa hingga satu sampai dua kali pengiriman dalam seminggu karena letaknya yang lebih dekat. Hanya saja akan berbeda harga jualnya. Tentu jika mengantarnya ke pelanggan di Sengkang Naharuddin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Namun, Naharuddin tetap mengutamakan perlakuan adil untuk pelanggan-pelanggannya. Tidak ada satupun pelanggan yang mendapat perlakuan khusus—dalam hal jumlah pengiriman. Semua kiriman bambu akan mengikuti sirkulasi pengiriman yang ditentukan oleh Naharuddin sendiri. Misalnya, Naharuddin tidak akan mengabaikan pelanggannya di Ca’benge demi mendapat keuntungan yang lebih besar jika dia mengirimkan bambunya ke Sengkang.Selisih harga antara pelanggan di Sengkang dengan pelanggan di Ca’bengge misalnya, antara dua sampai empat ribu rupiah.
Catatan penting di sini adalah, bagaimana Naharuddin bisa menentukan permintaan dari pembeli bambunya. Walaupun hukum ekonomi terus memaksa Naharuddin untuk meraup keuntungan yang lebih besar, ditambah beban ekonomi keluarga yang semakin besar, dia tetap menjaga hubungan emosional dengan langganannya. Mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi terhadap pelanggannya jika dia tidak berlaku adil.
***
TERINGAT perkataan Naharuddin di awal pembicaraan mengenai pekerjaan yang ditekuninya ini. “Ma’dai ini pekerjaan keras, tapi tidak sebanding dengan harga yang kita dapat...”, berkata sambil membelah bambu yang akan dijadikan tali pengikat rakit. Mulai dari proses penebangan, pengumpulan, perakitan hingga mengantarkannya.
Enam jam perjalanan di bawah panggangan panas matahari dengan suhu dikisarkan 40 derajat, pondok yang terbuat dari daun nipah dan daun pisang sudah mengering. Keriting seperti habis terbakar. Naharuddin tidak pernah berhenti ma’tongko untuk mengemudikan rakitnya agar tidak menabrak dinding sungai. Menjaga rakit untuk tetap berada di aliran sungai yang deras. Menggonta-ganti panjang bambu sesuai tingkat kedangkalan sungai. jika berada di aliran tenang, itu artinya waktu Naharuddin untuk beristirahat sejenak sebelum mendapat tikungan sungai. apalagi jika telah melewati jembatan Ca’benge, aliran sungai terus menerus dipenuhi belokan sehingga menyita waktu istirahatnya. Inilah yang Naharuddin maksud dengan pekerjaan keras.
Saat malam tiba, rombongan meninggalkan kami. Naharuddin memutuskan untuk bermalam sekaligus menangkap ikan. Rombongan lainnya akan mempercepat perjalanan tanpa istirahat malam. Biasanya Naharuddin akan melakukan hal yang sama jika dia merakit sendiri. Penangkapan ikan juga bisa dilakukan saat rakit sementara bergerak. Perakit akan membentangkan jala panjang dengan bambu yang dilintangkan. Ikan inilah menu utama selama perjalanan, dipadu dengan Burasa yang dibawa dari rumah. Untuk jenis ikan yang sering didapatkan adalah ikan sungai yang masyarakat sekitar sungai sebut dengan Kandea. Ikan dengan daging berwarna putih dan berduri banyak serta tajam. Perlu hati-hati saat memakannya.
Ada lagi ‘tamu’ yang kerap menemani Naharuddin saat malam, nyamuk. Nyamuk sungai terkenal ganas dan berdaya juang tinggi. Menjadikan waktu istirahat menjadi kurang menyenangkan. Nahruddin tentu telah menyiapkan penangkalnya sejak dari rumah, lotion anti nyamuk. Sebagai catatan, jangan pernah percaya dengan keampuhan asap dalam mengusir nyamuk. Inilah alasan membawa lotion walaupun Naharuddin membawa banyak serabut kelapa beserta kayu bakarnya.
Bukan hanya karena panas matahari, tetapi juga tenaga yang harus dikeluarkan saat ma’tongko. Tenaga akan lebih terkuras saat rakit berada di atas aliran yang dalam dan tenang. Badan bambu akan masuk lebih dalam, sehingga rakit sulit untuk bergerak dengan cepat. Berbeda ketika di air dangkal. Akan lebih mudah untuk mengarahkan rakit masuk dalam aliran yang deras pada sungai. semakin panjang batang bambu yang bisa dipegang saat ma’tongko maka akan semakin mudah untuk mendorongnya. Jika air dalam, maka batang bambu akan semakin sempit untuk dipegang, sehingga akan sulit mencari kuda-kuda sebagai penukik rakit.
Kerja yang berat untuk ukuran Naharuddin yang sudah ma’dai hampir delapan tahun, sudah tentu untuk aku yang baru sehari mengikuti aktifitasnya hingga ke Sengkang. Namun, menurutnya. Awomallorong adalah komoditas yang menyelamatkan ekonomi keluarganya di tengah-tengah menurunnya produksi kakao akibat serangan hama penyakit dan harga yang tidak menentu. Ketika aku menanyakan apa yang akan dilakukan jika seandainya coklat tidak bisa lagi diharapkan, dia kemudian menjawabnya dengan, “Ma’dai materru-terru”.[]