Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 24 Januari 2012

Buaya di Pasar Terong



RAMBUTNYA sudah berubah menjadi sangat kuning kaku hingga angin tidak lagi sanggup membuatnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Begitu kering berdiri tegap diatas kulit kepala. Dua hari lalu, dia menggunakan baju yang sama dengan hari ini, kemeja putih bergaris warna biru. Di sisi kanan dan kiri baju nampak bercak coklat kotoran bercampur keringat. Jika melihat anak seumur 5 tahun, bagian pipi adalah hal menarik yang ingin disentuh. Tetapi pipi Fajar tidak semulus pipi anak seumurnya karena pipi Fajar penuh dengan kotoran dan kasar.

Pagi hari, Fajar bersama Ibunya memasuki Pasar Terong. Dengan tergesa-gesa Ibunya berjalan cepat sambil menggandeng Fajar yang langkahnya terseok-seok mengikuti langkah Ibunya. Ibunya khawatir jika Fajar akan hilang seperti dua minggu yang lalu. Dari cerita seorang pemetik batang lombok rekan kerja Ibunya, Fajar tersesat saat bermain hingga ke wilayah jalan Cendrawasih. Jarak Pasar Terong ke Jalan Cendrawasih sekitar 2 Kilometer. Setelah Ibunya melapor ke Polisi, tersiar kabar bahwa Fajar sedang bersama salah satu anggota Polisi, tidak jauh dari tempat Fajar tersesat. Setelah kejadian tersebut, Ibunya tidak lagi membiarkan Fajar berjalan dalam keadaan terlepas dari genggaman tangannya.

Melihat umur Fajar yang beranjak 6 tahun, seharusnya dia bersekolah bersama teman-temannya yang lain. Namun Fajar masih saja terlihat asik bermain di Pasar Terong, tepatnya di wilayah tangga selatan gedung permanen pasar bersama anak-anak yang lebih muda dari umurnya.

Fajar dikenal dengan panggilan Buaya oleh pedagang di Pasar Terong. Menurut pedagang disana, saat kecil Fajar kerap mengguling-gulingkan badannya di tanah. Kelakuan tersebut mirip dengan Buaya yang sedang berjemur, sehingga Fajar akrab dipanggil dengan sebutan Buaya. Oleh karena melihat kondisi ekonomi keluarga Fajar yang kekurangan, banyak pedangan yang memberikan uang jajan kepada Fajar setiap harinya.

Selama masa penelitian etnografi pasar yang dilakukan AcSI (Active Society Institute) sejak bulan Januari 2009, Fajar kerap meluangkan waktu untuk menemani teman-teman peneliti bercerita dan berfoto. Karena begitu akrabnya Fajar dengan peneliti, Dia akan menanyakan kepada pedagang yang dikenalnya tentang keberadaan peneliti. “Dimana temanku?”, seperti itu Dia menanyakannya. Bahkan Fajar selalu menawarkan diri agar diajak bersama peneliti untuk menemaninya berkeliling pasar. Kata Ibunya, Fajar sangat ingin sekolah setingkat mahasiswa agar kelak bisa menjadi seorang peneliti.

Ada kebiasaan Fajar yang unik. Fajar juga sering kali memberikan makanannya yang hanya cukup untuk dirinya kepada peneliti AcSI. Kebiasaan berbagi ini telah meghadirkan ikatan emosional yang dalam antara Fajar dan peneliti AcSI. Sebagai imbalan, biasanya Fajar meminta dirinya untuk difoto. Fajar memanggil para peneliti dengan satu panggilan yang seragam, “Teman”.

Lingkungan pasar telah menjadi arena bermain bagi Fajar dan anak-anak lainnya. Lingkungan dimana mereka tumbuh besar bersama keterampilan bertahan hidup dari keterpurukan ekonomi keluarga. Keterampilan yang diturunkan oleh orang tua mereka. Bagaimana cara menghidupi diri dengan pendidikan yang pas-pasan. Saat keluar dari lingkungan pasar itu, Fajar ditodong oleh tutuntutan status pendidikan formal untuk bekerja.

Pernah suatu kali, buaya diperintahkan oleh temannya untuk mencuri pakaian di salah satu pedagang di dalam gedung. Menurut Fajar, dia diancam akan dipukuli jika tidak mengikuti perintah tersebut. Oleh karena sikap jujur yang Fajar pegang, saat berhasil menyerahkan pakaian curian kepada temannya, dia melaporkan kepada pendagang tersebut bahwa dia baru saja mencuri pakaiannya. Karena iba melihat sikap tersebut, pedagang itu memaafkannya, kemudian menasehati Fajar agar tidak mengulanginya lagi. Inilah sekolah informal yang menuntut anak-anak seperti Fajar memegang teguh sikap jujur, sama halnya yang diajarkan oleh sekolah-sekolah formal. Hanya karena permasalahan uang, Fajar tidak mengikuti sekolah formal milik pemerintah.

Secara alamiah, sistem yang terbentuk di dalam lingkungan pasar telah membentuk nilai-nilai. Secara tegas, sistem ini mendidik orang-orang di dalamnya untuk mengikuti, termasuk Fajar anak pasar lokal ini. Sistem ini telah berjalan selama puluhan tahun, seiring dengan perkembangan masyarakat di luarnya. Sebuah lingkungan yang menjadikan Fajar menikmati masa kecil dengan pendidikan informal yang ditawarkan oleh masyarakat pasar.

Fajar adalah salah satu produk pendidikan informal pasar lokal. Pasar lokal yang dianggap banyak kalangan sebagai tempat menjamurnya prilaku kriminal ternyata ditentang oleh realitas kehidupan Fajar. Namun tidak berimbang pula jika melihatnya sebagai sesuatu yang sangat ideal, karena tidak dapat dipungkiri dalam sebuah kelompok masyarakat pasti ada penentangan atas nilai-nilai yang berlaku. Inilah yang perlu untuk dikaji, mengingat minimnya perhatian terhadap pasar lokal. Regulasi yang adapun masih sangat mencolok dalam menganaktirikan pasar lokal. Sementara pasar lokal sebagai sebuah kenyataan sosial, terus mereproduksi nilai-nilai positif yang bermanfaat. Fajar adalah alumni sekolah informal pasar lokal yang patut mendapat hak yang sama dengan anak-anak yang belajar di sekolah formal milik pemerintah.[]


Senin, 23 Januari 2012

Anak Emas Petani Terjajah


# Sketsa Ekologi Desa Kompang Bagian 2

Mendadak Cengkeh

PERANTAU punya segudang cerita, mulai dari yang lucu hingga menyedihkan. Biasanya, obrolan akan semakin ramai ketika sesama perantau berkumpul. Saling berlomba memaparkan pengalaman-pengalaman mengais nafkah di kampung seberang.

            Dua orang perantau, Asikin (60 tahun),  Basri (46 tahun) malam itu sedang berkumpul. Beberapa orang lainnya—mereka yang jauh lebih muda dari Asikin dan Basri—menjadi pendengarnya. Jadilah  suasana rumah riuh dan sesak oleh suara gelak tawa. Sesekali mereka terbahak serentak di akhir salah satu bagian cerita.

            Suasana menjadi lebih sempurna ketika rombongan cangkir berisi kopi diletakkan satu persatu di tengah-tengah meja. Tidak lama, aroma pisang goreng mendahului datang untuk dihidu. Maka semakin penuhlah meja dengan makanan dan minuman pelengkap cerita malam itu.

            Cerita pengantar yang menarik—sebelum kisah cengkeh dan kakao hadir—adalah lelucon Asikin saat merantau di Menado. Dia bercerita tentang perempuan-perempuan dari gunung yang datang ke kota. Perempuan-perempuan gunung menjadi ini menjadi sasaran banyak laki-laki, termasuk Asikin. Laki-laki ini tidak perduli dengan tampilan perempuan gunung yang “kampungan” atau wajah yang kurang menarik. Itu urusan nomor dua. Hal paling penting, karena perempuan-perempuan gunung memiliki banyak uang dari hasil penjualan cengkehnya. Setelah mendapatkan uangnya, kemudian perempuan gunung akan ditinggalkan. Yah, cengkeh memang sedang berjaya di Menado pada tengah dekade 1970an.

            Dari Menadolah awal Asikin mendapat informasi mengenai tanaman cengkeh, kemudian mencobanya di kampung halamannya, desa Kompang, kabupaten Sinjai.

            Tahun 1977 Asikin mulai membudidayakan cengkeh. Pengetahuan menyemai hingga pembibitan menjadi modal utama.

Saat itu benih cengkeh harganya masih 25 rupiah. Jika sudah menjadi bibit, maka harganya akan semakin tinggi. Untuk bibit yang telah memiliki dua lembar daun harganya 250 rupiah. Uuntuk bibit dengan empat lembar daun harganya 500 rupiah. Tidak banyak petani yang mengetahui jenis cengkeh yang mereka dapatkan. Namun dari beberapa cerita, di peti kemasan benih tertulis kata “Bogor”. Dari situlah mereka menyebutnya sebagai Bibit Bogor.

Hampir sama dengan cerita petani-petani di desa Gantarang, hanya saja menurut mereka cengkeh masuk sejak tahun 1971. Tanaman cengkeh merupakan salah satu program pertanian pemerintah pusat yang masuk melalui kepala-kepala desa. Satu kepala desa diberikan satu peti benih (1000 benih) untuk dibudidayakan menjadi bibit. Sayangnya di Gantarang, dari seribu benih yang disemai hanya sekitar 20 bibit yang tumbuh. Lebih parah lagi, tidak ada satupun—dari 20 bibit tadi—yang berhasil tumbuh menjadi pohon cengkeh dewasa.[1]

Karena belum ada yang berhasil membudidayakan tanaman cengkeh di desa Kompang, maka tidak banyak petani yang mau melirik cengkeh.

Rupanya kepala desa belum kapok. Sekira 1977, kepala desa kembali membeli dua peti benih Cengkeh Bogor di Makassar. Hasilnya cukup memuaskan. Satu persatu petani mulai mencoba menanam cengkeh, apalagi setelah beredarnya banyak cerita sukses tanaman cengkeh dari tempat lain. Tanaman cengkeh yang kabarnya menjanjikan keuntungan secara ekonomi. Kabar dari perantau-perantau yang pulang kampung.

Masuk awal 1980, cengkeh mulai populer di Kompang. Petani mulai memupuk dan menyemprot cengkehnya. “Pupuk tiga serangkai” menjadi andalan, Urea, TSP dan NPK. Pupuk dan pestisida ini satu paket dengan bibit yang disebarkan pemerintah ke banyak desa di kabupaten Sinjai, salah satunya Kompang, kecamatan Sinjai Tengah.

Apa yang terjadi di Kompang merupakan salah satu dampak dari perubahan orientasi kebijakan pertanian di Indonesia. Kebijakan pertanian yang coba banting stir untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kebijakan pertanian ini lebih berorientasi pada modernisasi pertanian, percepatan produksi serta liberalisasi perdagangan untuk hasil-hasil bumi. Salah satunya adalah sistem perkebunan yang berpatok pada komoditi ekspor. Padahal, sebelumnya pola pertaniannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan pokok.[2]

Kebijakan pertanian yang tidak berpihak pada rakyat ini tidak lepas pula dari kepentingan kapitalis global yang berdiri di belakang WTO, IMF dan World Bank. Menggerakkan pemerintahan boneka dengan dalih liberalisasi pasar sebagai sebuah kebutuhan bersama masyarakat dunia.

Manis-Pahitnya Cokelat

MELIHAT jemuran biji kakao di sepanjang badan jalan desa sama halnya melihat barisan rumah-rumah penduduk. Bisa dikatakan, hampir setiap rumah tangga memiliki kebun kakao untuk sandaran ekonomi. Kondisi alam yang berbukit-bukit membuat rumah-rumah tidak memiliki halaman luas untuk penjemuran.

Tapi kini hadir masalah dengan sandaran ekonomi petani Kompang. Bukan hanya biji kakao saja yang kering, tapi juga daun berikut pohonnya ikut kering dimakan usia. Kondisi ini diperparah pula dengan kondisi ekologi yang berubah.

Ada banyak faktor yang menjadikan kondisi ekologi menjadi tidak seimbang. Faktor yang paling nampak adalah peralihan fungsi lahan perkebunan secara besar-besaran di awal tahun 1980. Semakin digemarinya cengkeh dan masuknya kakao memacu petani untuk memberi ruang yang lebih pada dua jenis tanaman komoditi tersebut.

Masuknya faham modernisasi pertanian—juga dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang konsumtif—mengharuskan petani cengkeh dan kakao memberikan pupuk kimia dan pestisida berlebih pada tanaman.

Tanaman jangka panjang juga terus menghisap unsur hara dalam tanah dan tidak memberi kesempatan tanah untuk beristirahat. Sebagai jalan pintas, pupuk kimia adalah suplemen tanaman yang bisa menjawab keterdesakan petani. Di sisi lain, pupuk kimia menjadikan petani bergantung dengan produk pertanian yang belum bisa dihasilkannya sendiri. Membeli adalah jawabannya. Sekali lagi, perusahaan pertanian multinasional diuntungkan dalam derita petani.

Awalnya, tiga tahun sebelum program swasembada pangan di Sulsel (lappo ase), petani sebagian besar menolak penggunaan pupuk.[3] Bahkan ketika pupuk dibagikan secara cuma-cuma oleh pemerintahan gubernur Andi Odang (1978-1983), petani masih memandang sebelah mata penggunaan pupuk. Petani hanya menaruh pupuk-pupuk pembagian pemerintah di kolong-kolong rumah. Barulah setelah program lappo ase berjalan, petani mau menggunakannya. Berikutnya, petani sendirilah yang meminta pupuk dari pemerintah.

Sebagaimana pandangan umum, kakao bukanlah tanaman asli desa Kompang. Hadirnya kakao kemudian membutuhkan penyesuaian-penyesuaian karena harus beradaptasi dengan kondisi ekologinya.

Ibarat anak, kakao adalah anak emas. Apapun yang menjadi masalah dalam budidayanya, disingkirkan. Bukan hanya pohon-pohon besar menjadi korban penebangan—karena menghambat pertumbuhan kakao—tapi juga predator alami juga menjadi korban pestisida. Perlakuan ini menyebabkan ketidakseimbangan ekologi. Maka, muncullah hama-hama baru. Selain itu, penyemprotan dalam dosis tinggi menjadikan hama semakin kebal karena telah terseleksi.

Tapi, apa sebenarnya yang membuat petani kakao begitu teguh mempertahankan tanaman kakao? Padahal, petani tahu bagaimana dampak yang akan dihadapinya dari model bertani ini—yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.

Pala, Alternatif atau Mimpi Baru?

DESEMBER 2011, aku melibatkan diri peroses suvey rumah tangga di desa Kompang dan Gantarang. Menghitung pendapatan, belanja dan ongkos proses bertani masyarakat. Semuanya aku catat berdasarkan daftar pertanyaan.

            Aku sangat menikmati survey ini karena bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang baru. Sampel yang teracak, mengharuskan aku ke tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya.

            Survey ini dilakukan dalam rangka penelitian untuk melihat tingkat ketahanan masyarakat di tengah-tengah perubahan iklim yang terjadi.

            Salah satu pelajaran penting yang aku dapatkan adalah semakin banyak petani yang mulai meninggalkan pupuk kimia. Selain alasan harga yang semakin tidak terjangkau, juga karena tanaman kakao dan cengkeh yang tidak bisa lagi menjadi sandaran ekonomi untuk mereka.

            Sebelumnya, kedua komoditi ini menjadi andalan karena harganya yang menjanjikan di pasaran. Puncaknya adalah akhir 1990an, ketika krisi melanda sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Harga komoditi ekspor—salah satunya adalah kakao—mendadak naik hingga di atas 10 ribu rupiah per kilogram.

            Sebenarnya kenaikan harga ini terjadi akibat naiknya nilai tukar mata uang asing, sehingga jika ditukar dalam nilai tukar rupiah yang anjlok nilainya menjadi tinggi. Mengingat bahwa komoditi ekspor diperdagangkan dengan mata uang asing. Sebenarnya harga kakao saat itu bukannya meningkat tapi karena nilai rupiah yang terlampau rendah.

            Jauh berbeda dengan saat sekarang, harga kakao semakin tidak mampu menutupi kebutuhan petani. Diperparah pula usia pohon kakao di Kompang yang tidak produktif lagi seperti dahulu.

            Kondisi ini memaksa petani untuk memangkas ongkos proses bertaninya, terutama untuk konsumsi pupuk dan perstisida.

            Tapi tidak semua petani sepenuhnya meninggalkan konsumsi pupuk dan pestisida. Untuk penggunaan pupuk, ada yang mengurangi volume penggunaan, ada yang mengurangi intensitas waktunya dan ada yang sama sekali pasrah untuk tidak memupuknya lagi. Berbeda lagi dengan penggunaan pestisida, petani hanya menggunakannya untuk mengendalikan rumput yang tumbuh di sekitar kebun. Tidak ada lagi penyemprotan hama untuk buah, daun maupun batang.

            Kini kakao tidak bisa lagi diharapkan. Hasan misalnya, di samping-samping poohon kakao uzurnya kini telah disiapkan tanaman lain, seperti cengkeh, duren dan aren. Berbeda lagi dengan Bahar. Dia lebih awal telah memprediksi masa depan kakao di Kompang. Sebagai alternatif, kemudian dia mulai membudidayakan pala.

Sekarang Bahar menjadi petani yang memiliki pohon pala paling banyak di Kompang. Bahkan banyak petani lain tertarik dan membeli bibit pala darinya.

            Yah, pala kini mendapat ruang di lahan-lahan pertanian masyarakat desa Kompang. Siap memegang tongkat estafet tanaman kakao yang terlalu tua untuk menghidupi petani.

            Beda lagi dengan nasib cengkeh. Perubahan iklim yang terjadi di tahun 2011 menjadikan cengkeh gagal panen. Curah hujan yang tinggi membuat bunga cengkeh enggan menguncup.

            September 2010, hampir semua media menyoroti curah hujan yang tidak menentu di wilayah barat Indonesia. Musim penghujan yang lebih panjang dari tahun sebelumnya. Seperti yang dilansir Media Indonesia.com pada 16 september 2010. Laporan BMG menyebutkan adanya penaikan suhu di permukaan laut berkisar 28-29 derajat celcius. Hal ini menyebabkan menguapnya air laut.

            Sebelumnya Kompas.com juga telah memberitakan adanya anomali cuaca ini pada 30 Juni 2010. peristiwa yang juga disebut dengan Madden-Julian Oscillation akan terjadi di wilayah barat Indonesia, kemudian akan bergerak perlahan ke wilayah timur Indonesia.

            Anomali cuaca ini kemudian juga terjadi di kabupaten Sinjai. Akibatnya, tidak atupun cengkeh petani yang berbunga.

            Di saat kakao tidak bisa lagi membantu petani memenuhi kebutuhan ekonominya, harapan pada cengkeh pun sirna. Pala pun belum bisa memberikan jawaban karena rata-rata umur tanaman pala yang masih muda (belum berbuah).

            Fakta-fakta bahwa tanaman komoditi tidak bisa menjadikan petani berdaulat, satu persatu bermunculan. Tapi mereka terlanjur bergantung dan sulit untuk melepaskan diri dari kondisi yang semakin rumit.

            Namun tidak sedikit pula alternatif—untuk keluar dari masalah—yang bermunculan. Mulai dari memperbaiki pohon kakao (pemangkasan, sambung samping dan menanam bibit baru), membuat tanaman sela (pisang dan kacang-kacangan), menanam atau merawat kembali buah-buahan (langsat, durian, rambutan dan mangga), menanam pohon kayu sampai mencari penghasilan lain di luar desa (sebagai buruh bangunan).

            Ancaman krisis pangan telah begitu nampak. Di sisi lain, petani telah terbiasa membeli sebagian besar pangan mereka. Pilihan untuk kembali memproduksi kebutuhan pangan membutuhkan pengorbanan besar—harus menyisihkan sebagian lahan tanaman komoditinya untuk ditanam kembali dengan tanaman pangan.[]


[1] Focus Group Discussion kelompok tani desa Gantarang, tanggal 25 November 2011.
[2] Li, T.M. (2002) Proses Transformasi daerah pedalaman di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[3] Walaupun paket pupuk kimia dalam program Lappo Ase menitikberatkan pada tanaman padi, tapi konteks ini menjadi awal persentuhan petani Kompang dengan pupuk kimia. Dampaknya adalah penggunaan pupuk kimia untuk budidaya jenis tanaman lain seperti jagung, cengkeh dan kakao.


Rabu, 18 Januari 2012

Bersama Hj. Dalleng

 Setengah jam aku menunggu di tengah pasar. Pukul 12.05 Wita, terlihat di layar handphonku saat menekan tombol-tombolnya.  Atap-atap pasar menguapkan sisa-sisa air karena panas. Mungkin beberapa jam lalu hujan menyiramnya. Mungkin juga ada segerombolan anak-anak melemparinya dengan air dalam plastik sisa jajanan mereka, atau ada ibu menumpahkan air sisa cucian pakaiannya di atap pasar. Aku bingung hendak bertanya kepada siapa tentang air yang menguap di atap-atap pasar ini, seperti kebingunganku harus bertanya kepada siapa awal mula hadirnya pasar.

Setengah jam sebelumnya, aku bersama Manji menyempatkan singgah di sebuah toko sepatu, depan pasar Todopuli, demikian mereka menyebut pasar berbentuk persegi itu. Yah, walaupun di papan tertulis Pasar Panakukang, tidak masalah bagiku, apapun namanya. Mungkin ini hanya perdebatan letak pasar yang berada di antara kecamatan Todopuli dan Panakukang.

Aku tidak sedang ingin membeli sepatu di toko itu. Hanya saja ada sepasang mata dan kulit cerah mengundangku untuk mendekatinya. Sepasang mata yang pemiliknya adalah seorang gadis dengan sehelai kertas cerah dan indah, seperti kulit yang mendekapnya. Sejenak, aku masih sempat membayangkan gadis itu masuk dalam film hayalanku, wajahnya begerak sangat lambat membentuk gurat-gurat senyum yang hebat. Tentunya diselingi snaph shoot, berfokus pada kibasan seikat rambut dan sedikit drama tetesan keringat berjatuhan dari leher berlikuk. Gadis itu sedang asik melayani pembeli di hadapannya. Ia sesekali mencuri pandang penuh curiga kearah rombonganku yang mendekat. Sedikit waspada, mungkin juga takut. Entahlah, apa yang dia fikirkan. Ocha dan Esha terpaksa mengikuti dari belakang. Memang aku dan Manji tidak memberi banyak pilihan kepada mereka berdua. Mereka mau saja menyertai tanpa banyak menanyakan tujuanku dan Manji. Akhirnya, dengan sedikit basa-basi, menanyakan harga sepatu, mencari barang yang tidak ada di toko itu, kemudian keluar setelah puas melihat kecantikan penjaganya. Kepuasan hadir berwujud senyum dan tawa. Kemudian masuk ketengah-tengah pasar, sembari menantikan rombongan ‘Tour The Pasar’ yang lain datang.

Memasuki gerbang, pria buncit dengan kacamata lebar menyambut kami. Pria itu berjalan mejinjit memamerkan badan yang tidak berbungkus apa-apa, mengkilap oleh keringat. Ia tertawa riang: menghibur sekawanan pedagang aksesoris di pinggiran gerbang. Suara riuh bersorak bercampur tawa berlarian. Aku hanya sempat tersenyum, malu-malu tanpa suara karena segan. Mungkin saja aku akan semengkilap pria itu, seandainya aku membuka baju, hangat udara terus mendorong keringat.

Di barisan kiri hamparan tertulis, “Pasar Sehat Percontohan, Hamparan Khusus Unggas”. Seperti mesin pemotong daging, gerakan pedagang tidak jauh berbeda. Mereka membelah ayam-ayam telanjang di meja masing-masing. “Tak tak tuk tak…”, suara pisau menyayat daging mulus, terus melaju membelah tulang keras dan terhenti saat menghantam talam kayu. Di sebelah kananku, anak-anak terbahak-bahak menyaksikan seorang teman mereka terperosok kedalam got kecil bersama sepedanya. Air hitam pekat dari got itu muncrat. Busuk dan menyengat. Di sebelahnya, ibu dengan dua anak bersemangat lomba tawar-menawar harga dengan pedagang, seakan keriuhan anak-anak tidak mengganggu sama sekali. Suara anak-anak berubah menjadi riuh suporter di pertandingan tawar menawar itu.

Manji tiba-tiba menghilang. Aku mencoba mencari. Kami terpisah. Kulirik sudut-sudut sulit di sela-sela sayuran, di antara gantungan plastik berisi bumbu dapur, di sudut ketiak pembeli yang asyik berjalan. Aku mencoba menangkap bayangan Manji, namun tidak kutemui. Lelah melirik, pandangan akhirnya jatuh di Esha. Esha tidak mau kalah dengan Manji. Dia mulai berpose di samping bak sampah. Seolah mendorong bak sampah, Esha memerintahkan Ais untuk segera mengambil gambarnya. Entah dari mana datangnya, Ais tiba-tiba saja sudah berada di tengah-tengah pasar. Ia menenteng sebuah kamera digital di tangannya. Sedikit ragu, Ais coba membungkuk untuk mendapatkan posisi yang baik untuk mengambil gambar Esha yang menanti detik-detik pemotretan. Lampu blitz menyusuri seluruh ruang dengan cepat. Sangat menyilaukan mata. Kilau putihnya. Beberapa pedagang yang berada di sekitar Esha terkejut.Mereka nampak sedikit menyipitkan mata. Ais dan Esha mencuri banyak perhatian orang-orang. Mereka tidak perduli sama sekali, seakan telah akrab dengan lingkungan pasar. Aku yang lelah oleh perjalanan dan rasa sakit di gigiku mulai berburu posisi nyaman untuk beristirahat sejenak.

Aku tidak mendapatkan tugas khusus dalam program AcSI kali ini. Hanya pemandu sorak dengan tugas kecil mencari cerita-cerita unik di pasar yang dikunjungi. ‘Tour The Pasar’ kali ke tiga ini, ada dua pasar yang dikunjungi: pasar Karuwisi dan pasar Todopuli Makassar. Masing-masing peserta Tour bertugas mencari informasi terkait pasar, seperti, sejarah pasar, pengelolaan pasar, jenis dagangan, retribusi yang harus dibayar, masalah-masalah yang dihadapi pedagang dan cerita-cerita unik dari pedagang. Ais bertugas mendokumentasikan aktivitas. Bagaimana dengan Esha? Yah, dia sebenarnya punya program sendiri di Makassar. Dia datang jauh-jauh dari Padang untuk menyaksikan secara langsung kota yang dianggap “Kasar” oleh media mainstream, kemudian menuliskannya. Nama program yang diikuti Esha adalah Residensi Mahasiswa. Walaupun berbeda ide maupun konsep dalam dua program ini, tapi keduanya akan berujung pada satu muara: publikasi tulisan.

***

“Gung, kesini cepat! Ada kompos di belakang pasar!”

Manji mempercepat langkah setelah menghampiri aku. Dengan semangat yang tersisa, aku mengimbangi langkah cepat Manji. Dia terengah-engah mengatur nafas saat aku mendapatinya sejajar berjalan.

“Katanya ada di suatu tempat. Mereka mengumpulkan sampah, kemudian menjadikannya pupuk,” Manji menambah penasaranku.

Mulailah kami memasuki lorong-lorong sempit pasar untuk mencari tempat pembuatan kompos. Setelah yakin dengan tempat yang dituju, nampak lima buah gentong berwarna biru. Tiga gentong dimodifikasi lebih rumit, karena posisinya menggelantung seperti kambing guling yang siap dibakar dengan sebuah gagang besi sebagai pemutar. Aku mencoba memutar-mutar gentong itu untuk tahu cara kerja alat sederhana pembuat kompos. Di dinding-dindingnya terdapat beberapa lubang kecil dengan jarak beraturan untuk memisahkan sampah dari air. Juga ada sebuah pintu sebesar sekop untuk memasukkan sampah. Gentong ini sepertinya untuk mengaduk sampah yang akan dijadikan kompos sebelum dimasukkan ke dalam gentong penguraian. Dua gentong lain dalam posisi berdiri dengan dua buah pipa paralon menembus sisi-sisinya, di bagian atas dan bawah. Di bagian lain, sebuah corong udara melengkung ke atas untuk menguapkan pupuk cair, bentuk lain penguraian sampah organik. ”Mereka mendapat bantuan dari Australia untuk membuat pupuk Gung,” Manji berkomentar. Dia mendapatkan informasi dari salah seorang yang ditemuinya saat kami berpisah tadi.

Pasar ini nampaknya penuh dengan program pemerintah. Mulai dari tata letak menurut jenis dagangan yang aku lihat di awal, kemudian dipertegas dengan kalimat “Pasar Percontohan”. Pasar ini juga sedang dimandat oleh pemerintah Kota Makassar sebagai Pasar Sehat. Dan sekarang, aku menemukan pasar ini sedang membuat pupuk kompos dari sampah yang mereka hasilkan. Sebagai langkah awal, pasar ini cukup baik dengan “gaya” dan “Citra”. Namun ada hal-hal yang perlu menjadi catatan penting dengan program yang dilakukannya.

Penobatan sebagai pasar sehat harus dibayar mahal oleh pedagang. Para pedagang harus membayar retribusi yang semakin meningkat. Sementara, pengunjung semakin berkurang, karena ada sebuah Mall besar di dekatnya. Ditambah Carrefour serta Pasar Segar yang siap merebut hasrat berbelanja pengunjung pasar ini. Pasar moderen yang bermodal besar ikut menjual kebutuhan rumahtangga. Kini yang bertahan hanya langganan setia mereka, atau jika lagi mujur ada pengunjung tersesat yang membeli barang dagangan mereka, itupun tidak banyak. Lainnya, penetapan lokasi dagangan sesuai jenis dagangan. Pemerintah melalui pengelola pasar yang ditunjuk telah menetapkan harga, tentu tanpa menanti kesepakatan dari pedagang sebelumnya. Tidak heran, masih ada tempat-tempat yang tidak ditempati pedagang karena tidak cocok dengan harga yang telah ditentukan. Selain itu, program pengelolaan sampah menjadi kompos belum mampu menjawab permasalah sampah di pasar ini. Jumlah sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan alat pengelolaannya, karena program bergantung pada dana bantuan, bukan dari kesadaran dan swadaya dari pedagang sendiri.

Dari keseluruhan program di pasar Todopuli ini, yang paling menakutkan adalah efek dari bantuan dana itu sendiri. Ia bisa mengakibatkan ketergantungan. Aku sepertinya perlu mencari lebih banyak informasi untuk menyampaikan kepada pedagang dampak-dampak yang telah aku ramalkan. Atau ada beberapa orang yang mau menemaniku mencari informasi yang mungkin saja akan sulit didapatkan. Karena ini proyek berdana besar, tentu perut orang-orang proyek ini tidak kalah besarnya, sehingga mulut dan tangan mereka jadi lebih kecil untuk membantuku mendapat informasi.

***

Hj. Dalleng namanya. Aku memanggilnya mama’, panggilan umum yang digunakan mahasiswa Makassar kepada orang tua yang mereka temui. Tujuannya sederhana: agar terasa lebih akrab. Aku bertemu dengannya di sudut sepi pasar Todopuli. Bermacam jenis beras dia tawarkan kepada calon pembeli. Yang paling mahal adalah beras ketan hitam. Harganya mencapai Rp 12.000/kilogram. Beras jenis lain harganya berada di bawahnya.

Semua berjalan lancar. Aku mulai mengumpulkan informasi tentang dirinya melalui pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan. Tetapi saat aku mencoba mengeluarkan buku catatan kecilku, dia merasa tidak nyaman dan terancam. Kekacauan muncul. Aku gagal mendapat banyak informasi. Sehingga aku hanya bisa menebak-nebak beberapa hal tentang dirinya.

Hj. Dalleng kuperkirakan umurnya sekitar 60 tahun. Rambutnya sebagian banyak putih kecoklatan. Kerutan-kerutan di wajah nampak tegas tanpa harus dia mengernyit lagi. Aku bayangkan dia seorang nenek dari 20 orang cucu atau seorang ibu dari delapan anak. Namun, semua dugaanku runtuh: “Belum pernah ka’ menikah…”

Tidak ada kekecewaan atau ketakutan yang ditampilkan saat dia mengucapkannya. “Cuma ada kemenakan yang tinggal sama ka’…,” tegasnya, sambil memukul pipi kiriku. Ia tertawa lepas. Giginya masih utuh di bagian depan. Dia pasti merawat gigi-gigi itu dengan baik saat masih muda. Matanya pun mengecil, tenggelam oleh lipatan keriput di sekitarnya. Aku tawarkan Manji padanya untuk dijadikan sebagai anak angkatnya, tapi dia hanya membalas dengan senyum sambil memegangi tanganku. Permukaan tangannya sangat kasar. Jelas saja karena saat muda dia bekerja sangat keras di sebuah pabrik makanan, jauh sebelum dia menetapkan hati untuk berjualan beras di pasar ini.

Dia berkisah: dia mendapat banyak uang dari hasil kerjanya, sehingga dia bisa pergi menunaikan rukun Islam kelima di tanah Mekah. Pekerjaan itu dia dapat setelah memutuskan pergi dari kampung halaman di kabupaten Sinjai menuju Makassar. Dengan bekal lulusan Sekolah Rakyat, dia memulai kehidupannya di tanah rantauan.[]


Untung Masih Ada Puang Hasan



# Sketsa Ekologi Desa Kompang Bagian 1


SATU sore yang dingin di bulan Juni, saat kabut tipis bergerak perlahan di punggung-punggung bukit. Cerita Inru mulai diperdengarkan padaku oleh Hasan di sepanjang jalan menuju pohon-pohon tempatnya akan menyadap air Inru. Mereka menyebutnya nyara’ atau sara—atau bahasa umumnya menyadap atau sadap. Dari rumahnya, di pinggir jalan poros Sinjai-Malino, tepatnya di dusun Bonto, desa Kompang—dimana atap rumah Hasan sejajar tingginya dengan jalan, bahkan lebih rendah lagi—kami bergegas sebelum gelap menyergap, air Inru harus segera sampai di wajan masak.

            Melewati deretan pohon kakao berumur lebih 15 tahun yang tidak beraturan, jalan dimulai dengan medan menurun. Kakao ditanam di sela-sela batu yang banyak terdapat di lahan-lahan petani desa Kompang. Tanah subur yang terdiri dari gumpalan tanah liat berpasir yang banyak terdapat di wilayah ini. Tepat di kebun milik Hasan, kakao-kakao uzur berbuah kering telah siap digantikan oleh bibit cengkeh setinggi dada manusia dewasa tumbuh di sampingnya. Karena usia dan penyakit yang tidak kunjung terobatilah kakao sesaat lagi akan mengakhiri kejayaannya di tanah milik Hasan.

            “Saya siapkan lahan ini (menunjuk di tempat beberapa pohon kakao tua nyaris tanpa buah) untuk cengkeh, makanya banyak bibit cengkeh yang saya tanam di sini”, Hasan menjelaskan padaku mengenai keberadaan bibit cengkeh di hadapanku sambil terengah.

            Selain cengkeh, ada pula bibit pohon Pala dan Durian yang ditanam oleh Hasan di sekitar kebun kakaonya yang tidak produktif lagi. Harapannya, bibit-bibit baru ini akan mampu menggantikan tanaman kakaonya.

            Kemudian hadir pertanyaan, apa yang membuat Hasan mampu bertahan di saat kakao tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan keluarganya? Apa yang dilakukan Hasan ketika cengkehnya yang tidak berbunga tahun ini akibat musim hujan yang nyaris sepanjang tahun? Jika hanya melihatnya sepintas, hampir tidak ada tanaman di kebunya yang bisa menyelamatkan Hasan.

***

MENYADAP Inru merupakan keahlian turun temurun di keluarga Hasan. Ayahnya, puang Batong dan kakeknya, puang Karro juga legenda penyadap Inru di masa lalu. Legenda keluarga ini bisa menyadap ratusan pohon Inru miliknya. Terakhir, Hasan masih mendapatkan puang Karro yang bungkuk hampir menyentuh tanah, masih kuat memikul air Inru di punggungnya. Berat air Inru yang dipikul bisa mencapai 20 kilogram, bergantung dari kuwalitas airnya. Biasanya, jika kuwalitasnya bagus (rasanya lebih manis dan gula yang dihasilkan lebih banyak), maka beratnya akan bertambah. Melewati jalan terjal dengan kemiringan hingga 50 derajat ditambah susunan batu tajam berlumut.

Desa Kompang saat itu (1960-an akhir), masih dipenuhi oleh ribuan pohon Inru dan kemiri. Puang Batong saja semasa hidupnya memiliki lebih 100 pohon Inru, padahal lahan miliknya termasuk lahan yang sempit di antara lahan milik warga yang lain. Jadi bisa kita bayangkan 35 tahun silam—saat cengkeh dan kakao belum ada—desa tempat Hasan tinggal dipenuhi oleh pohon-pohon penghasil gula aren/gula merah.

            Sekitar 1970-an akhir, cengkeh mulai masuk di desa Kompang, kemudian disusul oleh kakao di awal 1980-an. Pada umumnya, ada dua cara petani mendapatkan bibit. Pertama, dengan membeli bibitnya dari teman, sampai pedagang langsung bibit. Cara kedua adalah melalui pemerintah desa (kepala desa dan jajarannya). Pemerintah melalui dinas pertanian kabupaten membagikan 3 bibit untuk satu rumah tangga secara cuma-Cuma untuk di tanam di kebun masing-masing. penyalurnya kemudian adalah pemerintah desa yang dibantu oleh penyuluh pertanian. Akhirnya, semakin banyak petani yang mengubah peruntukan lahannya, dari tanaman jagung ke cengkeh dan kakao.

Karena kedua jenis tanaman ini (cengkeh dan kakao) membutuhkan penyinaran langsung yang baik, dimulailah penebangan pohon-pohon besar yang kira-kira bisa menghalangi pertumbuhan cengkeh dan kakao. Sejak saat itulah banyak pohon Inru dan kemiri yang ditebang oleh petani. Selain dapat menghambat proses pencahayaan, Inru dan kemiri juga dapat mengakibatkan tanaman di sekitarnya berebut makanan. Untuk memaksimalkan pertumbuhan cengkeh dan kakao maka perebutan makanan di dalam tanah harus diakhiri. Keputusan akhir, petani mengorbankan tanaman lamanya.

Tidak semua tanaman Inru menjadi korban. Peristiwa itupun tidak terjadi dalam sekejap, tapi bertahap. Hingga kini masih ada beberapa pohon yang tetap tumbuh, dengan catatan pohon Inru tersebut tidak mengganggu tanaman komoditi petani. Termasuk sekitar 4 pohon inru yang hingga kini masih menetesi ekonomi keluarga Hasan.

***

MENGAMBIL air indu dari pohonnya atau nyara’ bukanlah pekerjaan mudah. Selain membutuhkan pengalaman, juga kesabaran untuk tetap memperlakukan tanaman dengan kearifan. Maka tidak jarang ada pemilik inru yang menyerahkan pohonnya kepada petani lain untuk di sara’ karena menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukannya.

Di dusun Bonto misalnya, saat ini hanya tersisa sekitar 10 orang saja pembuat gula yang masih aktif mengambil air inru dari pohonnya. Alasannya beragam, ada yang menganggap pekerjaan ini pekerjaan berat dengan penghasilan yang tidak sebanding, kurang berpengalaman sehingga pohon tidak menghasilkan air yang cukup banyak—bahkan tidak ada sampai beranggapan bahwa pekerjaan ini pekerjaan kelas bawah. Tapi tidak masalah dengan anggapan itu, karena semakin sedikit yang menekuni pekerjaan ini, semakin besar permintaan pembeli—mengingat bahwa banyak makanan tradisional masyarakat yang menggunakan bahan gula aren, seperti cendolo, saraba, kolak, kue bugis dan masih banyak lagi.

Bagi Hasan, mengambil air inru bukanlah pekerjaan yang sulit, tapi tidak untuk sebagian orang. Untuk pohon inrunya, Hasan mengaku hanya dia yang bisa mengambilnya. Jika coba memberikan pekerjaan ini ke orang lain, maka kuwalitas gulanya kurang baik. Kadang gula yang dihasilkan akan sangat buruk—warnanya menjadi kehitaman. Bahkan inru akan ‘mogok’ untuk meneteskan airnya. Ini bukan mencari pembenaran atas ketidaktahuan penyebab masalah yang terjadi pada inrunya, tetapi ini yang dialami oleh Hasan. Memahami dan memperlakukan alam dengan kasih sayang, tentunya dengan bumbu kesabaran.

“Yah, kalau hari ini airnya sedikit, mungkin itu yang ada. Mungkin besok sudah kembali banyak lagi airnya. Yang penting harus sabar”, Hasan meyakinkan.

Kuwalitas dan banyaknya air inru tidak dipengaruhi oleh curah hujan menurut Hasan, tetapi bagaimana kita merawat dan memperlakukannya. Jika perlakuannya baik, maka gula yang dihasilkan akan baik pula.

Berikut tips yang diberikan oleh Hasan:

Mulanya harus menunggu hingga pohon inru benar-benar bisa memproduksi gula. Sebelum mengiris ara’angnya (bagian batang tempat menempelnya buah), bagian ini harus diketuk-ketuk dengan kayu dari pangkal hingga ujung agar bisa menghasilkan air nantinya. Kayu dibuat khusus agar tidak melukai bagian ara’angnya yang akan diiris. Bisanya pengetukkan dilakukan hingga 7 kali. Biasanya dilakukan satu kali dalam 2 sampai 3 hari.

Untuk memastikan bahwa ara’angnya ini sudah bisa mengeluarkan aair, maka dilakukan uji coba terlebih dahulu. Caranya mudah, yakni dengan membuat penusuk berbentuk seperti pahat dari sebilah bambu. Kemudian penusuk ditancapkan ke ara’angnya kemudian dilepaskan kembali. Jika lubang mengeluarkan air, maka ara’angnya siap untuk diiris.

Bagian yang diiris adalah ara’angnya yang paing dekat dengan tangkai buah. Kemudian diiris halus dengan menggunakan parang khusus yang Hasan sebut panggari’, parang yang dipesan khusus dari Maddako, desa Gunung Perak. Menurutnya, parang ini lebih tajam dari parang biasa. Sisi mata parang lebih tipis sehingga memudahkan untuk melakukan pengirisan. Sama tajamnya dengan pisau silet. Setelah itu, permukaan yang sudah diiris dibersihkan dan membuat cekungan di bagian bawah untuk tempat mengalirnya air. Barulah bambu pattung diletakkan untuk menampung air inru yang keluar.

Bambu pattung ini sebelum digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian mengupas bagian luar kulit bambu agar tidak terlalu berat saat dipikul. Kemudian meletakkan sene atau pengawet yang berasal dari akar kayu Sappaying agar kuwalitas air inru terjaga saat berada di bambu penampungan. Cukup mengiris 5 centimeter sene untuk dimasukkan ke dalam bambu sebelum menampung air inru. Kemudian bagian atas bambu ditutup dengan gumpalan dari daun sukun.

Saat bambu diletakkan untuk menampung air inru, bagian atasnya kemudian ditutup menggunakan pelepah batang pinang kemudian diikat rapat. Tujuannya agar binatang malam—seperti tikus dan kelelawar—tidak mengotori air inru dalam bambu.

***

SEHABIS shalat subuh, sekitar pukul 05.30 WITA Hasan segera bergegas untuk mengambil air inru dalam penampungan. Tidak lupa tas selempang berwarna biru tua yang berisi perlengkapan kebun diselipkan di tubuhnya. Air inru harus segera diambil sebelum siang untuk mengganti bambu penampung semalam yang telah penuh terisi. Biasanya, di sela aktifitas nyara, Hasan akan mengurus kebunnya, juga mencari kayu bakar untuk memasak inru yang akan dijadikan gula. Setelah siang, barulah memutuskan pulang untuk beristirahat.

            Sekitar pukul 15.00 WITA, Hasan akan kembali ke pohon-pohon inrunya untuk pengambilan yang kedua. Memanjat satu persatu puhon inru dengan tangga bambu sederhana yang dibuatnya.tangga yang tentunya tidak memenuhi standar keamanan dan sangat licin jika hujan telah mengguyurnya.

            Setiap mengganti bambu penampung air inru, pengirisan tetap dilakukan. hal ini dilakukan untuk menjaga agar ara’angnya tetap bersih dan meneteskan airnya. Terus teriris hingga pangkal sampai ara’angnya tidak lagi mampu meneteskan airnya. Biasanyanya, ara’angnya akan bertahan hingga 6 bulan, bergantung pada kemampuan pohon inru sendiri. Demikin pula dengan pengetukkan, akan dilakukan seperlunya untuk memaksimalkan keluarnya air.

            Untuk penggemar ballo, biasanya air inru akan dibiarkan di dalam penampungan hingga berminggu-minggu hingga rasa dan baunya berubah menjadi keasaman. Minuman beralkohol hasil fermentasi alami dalam bambu, tetapi rasanya tidak semanis jika air inru yang diambil setiap hari—saat rasa dan bau belum berubah.

            Lalu, bagaimana air inru bisa menjadi tumpuan ekonomi keluarga Hasan di tengah kebun kakao yang tidak produktif lagi? Atau di saat cengkeh-cengkeh tidak menghadirkan bunganya? Siapa yang membantu Hasan mengerjakan air inru ini untuk menjadi gula? Bagaimana cara hasan menjual hasil kerjanya?

***

ISTERI Hasan, Erna, dengan mata terus menyempit coba menghindari terpaan asap kayu bakar di kolong rumahnya. Tapi sebenarnya dia tidak sungguh-sungguh menghidarinya. Bukankah dia seharusnya menjauhinya, atau memadamkan api hingga tidak sejumput asap pun yang masih terbang. Tetapi toh dia terus menjaga api agar tetap menyala. Membolak balik kayu, mendorongnya, meniupnya sesekali mengaduk air inru yang dimasak. Menantinya hingga mengental dan siap dicetak ke tempurung kelapa untuk menjadi gula.

            Pekerjaan ini terus dilakoninya untuk memenuhi permintaan gula dari langganan-langganannya, terutama saat tingkat konsumsi makanan manusia meningkat di bulan puasa. Terkadang karena banyaknya permintaan hingga dia tidak bisa menyanggupinya.

            Dalam sehari, biasanya Erna menghasilkan sekitar 10 sampai 15 buah gula yang nyaris tidak bisa disimpan. Pembeli biasanya memesan sebelum gula benar-benar telah rampung pengerjaannya. Sebagai saran, jika ingin merasakan gula buatan Erna, pesanlah jauh hari sebelum gula itu dibuat.

            Untuk harga gula sangat berfariasi, mulai dari 6 ribu rupiah, hingga 10 ribu rupiah. Apalagi saat-saat permintaan meningkat—biasanya saat bulan Ramadhan, biasanya harga akan semakin mahal.

            Kemudian pertanyaannya adalah, apa hubungan cerita Hasan ini dengan ekologi dan pangan? Apa manfaat langsungnya dengan masyarakat desa Kompang?[]


Indahmu, Ada! Tepat Di ...

Lengan lapangmu menyambut bocah.[]



Tarik Suara Tak Terik

Apakah kau sempat merasakannya?
Sirkulasi udara, memutar bolak balik di kerongkongan kita.
Entah sempat hinggap di paru senyap.
Atau mengalir deras di antara darah yang pernah ‘sengaja’ tersayat.

Bukankah bulu-bulu halus wajah bergetar saat angin menyentuhnya.
Begitu pula pakaian kita. Mengepak seperti sayap-sayap sedang terbang sempurna.

Turut pula pita suara bergerak, membolak-balik dan tidak sempat menjadi bisu.
Melantun nada lama.
Aku pernah mendengarnya. Saat itu aku duduk di bangku sekolah.

Pita itu ingin terus bergerak dan bersuara.
Berlari tidak harmonis, membentuk pola nada ceria.[]



Menurutmu Hidup Itu Lucu

‘Bersihkan tanganku!’, itu perintah yang rumit.

Serumit baris ombak kecil yang mendekat di hadapanku. Kadang tinggi, kadang rendah. Sebelumnya jauh, sekarang dekat. Mengecup ibu jari kakiku yang dingin, tetapi tidak berusaha menghindar. Seperti perahu di atas pasir tanpa air di dasarnya. Hanya bisa diam melihat sejuta kerumitan laut.

Serumit pasir di selah jari-jarimu. Saat kau mengulurkannya, aku menangkap jari bersama sejuta kerumitan.
Kau tahu. Aku sangat beruntung malam itu bisa mendengar ledakan. Lima kali ledakan. Ketika aku berani melihat sedikit senyum di antara cahaya warna-warni.

Itu alasanku menangkap jarimu. Memungut satu persatu bulir pasir, meletakkannya kembali ke pantai. Aku ingin kerumitan perlahan hanyut ke dasar laut. Pastinya, esok, saat bulan membesar, pasir-pasir kerumitan bisa mengalir meninggalkan hidupmu. Hidup kita sayang.

Seingatku, untuk kedua kalinya kau berkata, ‘Hidup itu lucu, pantas untuk ditertawakan’. Sebelumnya, kau mengatakan itu sambil membersihkan air di bawah matamu yang berkaca.


Aku akan sangat bangga bisa membawa jari-jarimu bersamaku. Bersama membenamkan pasir ke dalam air, agar tidak ada lagi angin yang menerbangkannya. Agar tidak ada lagi mata yang tersakiti oleh pasir beterbangan.[]




Dendang Tentang Seseorang


‘Teruntukmu hatiku.. inginku bersuara..’
Cukup satu bait, terhanyut aku menyimakmu hidup.
Terus henyak, kemudian semakin larut.[]



Ma’dai Matteru

Komoditas Awomallorong BersamaRakit-Rakit PenyusurWalanae



TAHUN 1982, bersama sahabatnya, Rustam—sekarang menjadi iparnya—Naharuddin memutuskan untuk keluar dari kampung halamannya, Coppeng-Coppeng. Kampung ini terletak di dusun Tonronge, desa Soga, kecamatan Marioriwawo, kabupaten Soppeng. Tujuan laki-laki 14 tahun ini adalah kota Sengkang, kabupaten Wajo. Saat itu dia menekuni pekerjaannya sebagai tukangmeubel seperti, meja, kursi, lemari dan lain-lain. 

            Setelah lima tahun melakoni pekerjaannya di Sengkang, Naharuddin memutuskan untuk kembali ke Coppeng-Coppeng dan menikahi Bansuhari yang berumur 18 tahun saat itu. Hanya terpaut satu tahun lebih muda dari umur Naharuddin.

            Berhenti dari pekerjaan awalnya di Sengkang, Naharuddin kemudian meneruskan usaha orang tuanya di kampung kelahiran, berdagang bambu. Dari orang tuanya, Radjing, Naharuddin diwariskan 30 Dapureng (Rumpun Bambu) yang terletak di pinggiran sungai Walanae. Radjing sebenarnya memiliki 85 Dapureng. Kemudian Radjing membagikan Dapurengkepada empat orang anaknya sebagai warisan. Kakak Naharuddin, Syamsuddin mendapat 40 Dapureng di bantaran sungai Mario dan Duniati mendapat 15 Dapureng. Hanya H. Alimuddin yang tidak mendapat warisan bambu beserta tanahnya karena sampai sekarang lebih memilih untuk merantau di Samarinda, Kalimantan Timur.

Bansuhari juga mendapat warisan dari Ayahnya yang juga adalah pedagang bambu di masanya. Nama ayah Bansuhari adalah Muhammadiah. Namun pohon bambu milik Bansuhari kemudian ditebang pada tahun 1980an (awal), ketika tanaman Coklat (Theobroma cacao) masuk ke daerah ini.

            Pada tahun 1980-1990an, Naharuddin menjual bambu-bambu miliknya dengan cara memberikan upah kepada orang lain untuk mengantarkannya kepelanggannya di Ca’benge dan Sengkang. Barulah pada tahun 2004—saat anak pertamanya Sutriana masuk di SMUN 2 Soppeng—Naharuddin mulai Ma’dai (pergi mengantar bambu dengan rakit) sendiri. Alasannya sederhana, untuk mengurangi biaya dari usaha berdagang bambu karena kebutuhan keluarga yang semakin meningkat.

            Di sela-sela aktifitas berdagang bambu, Naharuddin juga merawat tanaman coklatnya. Namun, usahanya untuk menutupi kebutuhan keluarga dengan tanaman ini tidaklah berjalan mulus. Pada tahun 1991, hama penyakit mulai menyerang. Mulai dari buah kering dan keras, penggerek batang sampai kering pucuk. Banyak usaha yang dilakukan para petani di kampung ini, mulai dari pemangkasan, pengendalian hama dengan penyemprotan pestisida sampai akhirnya banyak pohon coklat yang terpaksa di tebang karena tidak bisa tertolong lagi. Tidak jarang, Naharuddin bersama petani yang lain mencari informasi dari luar mengenai penyakit yang menyerang tanaman tumpuan hidup mereka.
         
***

TERBIASA dengan merantau, Naharuddin kemudian memutuskan untuk pergi bertemu H. Rustam—rekan kerjanya saat di Sengkang—di Sungai Nyamuk, Kalimantan Timur (Berbatasan langsung dengan Malaysia Timur). Kemudian dia bekerja di sana dua tahun untuk bertani coklat. Dari sanalah kemudian Naharuddin mendapatkan banyak informasi mengenai tanaman coklat ini, termasuk mekmpelajari teknik sambung samping. Awalnya Naharuddin pergi merantau sendiri tanpa membawa keluarganya. Kemudian Bansuhari menyusul suaminya dua kali di Sungai Nyamuk, namun tidak dalam waktu lama. Paling lama tujuh bulan Bansuhari di Sungai Nyamuk untuk menjenguk suami dan keluarganya yang menetap di sana.

            Sepulang dari tempat rantauannya di Sugai Nyamuk, tahun 2009 Naharuddin mempraktekkan pelajarannya di kebun coklatnya sendiri di Coppeng-Coppeng. Teknik sambung samping yang dipelajarinya selama dua tahun kemudian dicoba pada tanaman coklat yang terserang penyakit. Tidak lupa Naharuddin membawa tangkai unggul dari Sungai Nyamuk untuk dibudidayakan pada kebunnya sebanyak 50 batang. Hasilnya baru bisa dilihat setelah tiga tahun, karena teknik ini memerlukan waktu yang cukup untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Saat ini, ada sekitar 400 pohon yang sudah di sambung oleh Naharuddin, dan sudah ada beberapa yang bisa dilihat hasilnya. Selain buahnya yang lebih besar, warnanya juga berbeda dari buah coklat yang umumnya ada di desa Soga—bibit yang awalnya dibawa oleh H. Laedi[1]dari Cilelang, kabupaten Palopo—karena buahnya berwarna merah saat muda.

            Untuk biaya produksi tanaman coklat (racun dan pupuk) tergolong cukup besar, terutama pada pemupukan. Naharuddin dalam setahunnya melakukan pemupukan dua kali. Dia membutuhkan 150 kilogram (tiga sak) pupuk Urea untuk luas lahan 1.5 hektar (800 pohon) dalam sekali pemupukan. Jadi dalam setahunnya Naharuddin membutuhkan 300 kilogram Urea untuk menjaga kesuburan lahannya. Untuk harga Urea persaknya adalah 92 ribu rupiah (tahun 2010). Jika dikalkulasi, dalam setahunnya Naharuddin mengeluarkan biaya untuk pemupukan sebesar 552 ribu rupiah.

Berbeda lagi dengan racun. Naharuddin lebih banyak menggunakan racun untuk membunuh rumput (herbisida) dengan jenis antara lain, Supremox, Bima Star dan Dema. Alasannya sederhana, karena sebagian besar lahan perkebunannya terdapat bebatuan yang menyulitkannya untuk melakukan pemangkasan secara manual. Rumput di sela-sela batu sulit dijangkau oleh alat pemotong sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.

Penyemprotan racun rumput dilakukan setiap enam bulan. Biasanya racun ini dicampur berdasarkan jenis rumput yang akan dimusnahkan. Untuk lahan coklatnya, Naharuddin mencampurkan 400 mililiter racun campuran dengan 4 liter air. Jadi dalam setahun Naharuddin membutuhkan 800 mililiter racun rumput saja. Sebagai alternatif pengendalian hama (buah keras), Naharuddin menggunakan pestisida seperti Klomin, Rivo dan Detis. Penyemprotan dilakukan tiga kali dalam setahun. Namun sejak tahun 2011 ini Naharuddin tidak pernah lagi menggunakan pestisida untuk tanaman coklatnya, hanya pembasmi rumput saja. menurut Naharuddin, hama yang ada sudah kebal dengan pestisida yang disemprotkan oleh petani. Jadi, menyemprotkan pestisida ataupun tidak, sama saja hasilnya. Hama tetap saja mengganggu tanaman Cacaonya.

Teknik sambung samping yang diujikan oleh Naharuddin ini membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa melihat hasilnya. Kemudian, apa yang bisa dilakukan Naharuddin untuk menutupi kebutuhan keluarganya sementara menunggu teknik sambung samping coklat yang dipelajarinya di Sungai Nyamuk berhasil?

***

SYUKURLAH Naharuddin bersama Bansuhari, istrinya, masih dikaruniai kekayaan bambu, warisan turun temurun keluarga. Dua dari tiga pemilik bambu besar kampung Coppeng-Coppeng di masa lalu, Radjing (ayah Naharuddin) dan Muhammadiah (ayah Bansuhari) telah mewariskan tanaman bambu mereka ke keluarga ini, kecuali H. Ledi (ayah M. Jamil, kepala dusun Tonronge yang kini lebih fokus ke tanaman jagung).

            Tradisi dagang bambu di Coppeng-Coppeng melalui sungai—batangan bambu dijadikan rakit sebagai alat trasportasi sekaligus atau disebut juga ma’dai—dimulai sekitar tahun 1977 atau jauh sebelumnya. Saat itu ada tiga pedagang besar seperti yang telah disebutkan di atas, Radjing, Muhammadiah dan H. Laedi. Kemudian tradisi dagang tersebut berlangsung hingga sekarang oleh keturunan-keturunan mereka. Walaupun ada perubahan, misalnya ada beberapa pedagang bambu yang mulai menggunakan angkutan darat (truk) setelah akses jalan terbuka (pengerasan rampung tahun 1979 dan pengaspalan tahun 1992).

            Ada dua bentuk komoditas bambu yang dijual, awomallorong (bambu batangan) dan salima (bambu yang sudah dipotong perdua meter, dibelah menjadi delapan bagian dan diraut untuk kemudian diikat—satu ikat ada 100 bilah bambu).

            Tahun 2010 lalu, di kampung Coppeng-Coppeng, ada sekitar lima ma’dai bambu yang kerap beraktifitas di sungai Walanae dan sungai Mario. Diantaranya adalah Ganggang, Bakri, Napan, Babu dan Naharuddin sendiri. Namun di tahun 2011 ini menurun menjadi dua ma’dai saja, hanya tersisa Ganggang dan Naharuddin. Sebenarnya masih ada beberapa ma’dai dari kampung lainnya di desa Soga, misalnya di Tondronge dan dari desa Barae di seberangnya. Namun belum bisa dipastikan ada berapa orang yang masih aktif ma’dai, mengingat sebagian besar dari mereka masih menjadikan ini sebagai pekerjaan sampingan. Kadang ma’dai, kadang pun tidak.

***

PADA umumnya, ada dua tempat tujuan penjualan bambu Naharuddin, yakni Sengkang, kabupaten Wajo dan Ca’benge, kabupaten Soppeng. Terkadang ada pula pesanan dari tempat lain, seperti Matanru kabupaten Soppeng (perbatasan Soppeng-Wajo) dan Cempa (masih masuk wilayah Ca’benge).

            Di Sengkang, langganan Naharuddin bernama Essang (orang asal Bellalao). Biasanya Essang tidak pernah menolak bambu yang ditawarkan, jadi bergantung pada persediaan bambu milik Naharuddin. Saat ini, Naharuddin hanya bisa memenuhi dua kali pengiriman bambu dalam sebulan saja karena banyaknya permintaan dari tempat lain, seperti Ca’benge. Langganan Naharuddin dari Ca’benge ada tiga orang. Pertama adalah Ludding untuk dua kali pengiriman dalam sebulan. Kedua H. Andi Baso. Langganan yang satu ini adalah langganan yang paling sering memesan bambu dari Naharuddin. Bahkan sampai tiga kali dalam sebulan. Langganan yang ketiga adalah Hj. Marpiah, langganan baru Naharuddin.

            Dalam satu kali pengiriman, Naharuddin harus menyiapkan 200-250 awomallorong dan 50-100 ikat salima. Tidak jarang Naharuddin kewalahan dan tidak bisa memenuhi permintaan pelanggannya. Sistem pembayaran biasanya dibayar kontan, karena Naharuddin memiliki perjanjian sendiri dengan langganan-langganannya. Berbeda dari pedagang lainnya, biasanya bambunya bisa dicicil (bayar setengah terlebih dahulu). Apalagi untuk komoditas salima, Naharuddin mengaku untuk komoditas ini langganannya tidak bisa membayarnya dengan menyicilnya, karena dia juga harus membayar kontan kepada pemilik salima. Untuk jenis awomallorong, ada sekitar 2 ribu batang bambu setiap bulannya yang keluar dari kampung Coppeng-Coppeng untuk diantar ke para pemesannya. Artinya, dalam sebulan kampung Coppeng-Coppeng dapat meraup rupiah sekitar 20 juta jika harga jual bambu perbatangnya adalah 10 ribu rupiah.

***

SELAIN Coklat dan bambu, tanaman lain yang membantu Naharuddin sekeluarga saat ini adalah Pisang dan cabe. Tanaman Pisang dan cabe milik Naharuddin tumbuh dengan baik tanpa harus mendapat perawatan khusus sebagaimana tanaman Coklat. Misalnya saja tanaman Cabe. Tanaman ini tumbuh bebas di sekitar tanaman Coklat milik Naharuddin. Menurutnya, Cabe miliknya semakin banyak karena burung yang hidup di sekitar kebun yag menyebarkan biji Cabe. Isteri Naharuddin saat ini sudah bisa menjual cabenya seminggu sekali. Biasanya dalam seminggu Bansuhari bisa memanen 4-5 liter Cabe kecil yang harga perliternya adalah 7 ribu rupiah. Untuk pisang, Naharuddin memanennya per dua minggu. Dalam sekali panen, Naharuddin bisa menjual hingga 20 sisir yang setiap sisirnya dijual dengan harga 1500 rupiah.



Box 1
Ma’dai
Ma’dai merupakan bambu yang disusun membentuk rakit dan diikat menggunakan bilahan bambu muda. Bisanya diatas rakit juga digunakan untuk mengangkut hasil bambu dalam bentuk lain, misalnya salima. Di atas rakit juga terdapat pondok yang dibuat untuk berteduh pembawanya dari hujan dan panas matahari. Pondok dibuat dari daun aren yang disulam menyilang dan ditengahnya dilapisi daun pisang. Untuk rangkanya, digunakan bilahan bambu sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Biasanya dibutuhkan dua hari untuk mempersiapkan rakit, mulai dari mempersiapkan tali pengikat, menurunkan bambu ke sungai sampai merangkainya menjadi sebuah rakit utuh. Untuk pengumpulan bambu biasanya dibutuhkan waktu hingga dua minggu. Pemilik rakit terlebih dahulu harus mencari dan menebang bambu. Tidak jarang mereka akan membeli dari pemilik bambu lainnya untuk mencukupi permintaan bambu dari langganannya. Harga bambu yang dibeli perbatangnya berkisar 7 sampai 8 ribu rupiah. Jika menebangnya sendiri, harga bambu hanya sekitar 4 ribu rupiah. Sampai di pembeli atau pengumpul, bambu akan dijual dengan harga berkisar 10 ribu rupiah.
Susunan bambu yang akan dibentuk rakit sangat sederhana. Langkah pertama adalah membuat dasar rakit. Dasar rakit terdiri dari 8 ikat bambu yang diikat melingkar. Satu ikat bambu berisi 15 batang bambu. Jadi jumlah bambu untuk seluruh dasar rakit adalah 120 batang. Kemudian di atas dasar rakit diletakkan bambu melintang yang panjangnya sesuai dengan lebar rakit, kemudian diikat. Barulah sisa bambu disusun di atasnya (80 batang). Setelah rangkaian rakit jadi, barulah salima diletakkan di atasnya. Tidak lupa pondok untuk melindungi pemilik selama perjalanan.
Rakit ini telah siap menyusuri sungai Walanae untuk sampai di Paddupa, Sengkang, tempat para pembeli bambu menantinya.[]


***
DALAM sebulan, Naharuddin biasanya harus mengantarkan bambu-bambunya sebanyak 2-3 kali. Untuk sekali antar bambu berkisar 200-250 batang. Lama pengiriman bambu bergantung pada deras dan debet air sungai Walanae yang menghanyutkan rakit. Jika arus air kuat, maka pengiriman bambu bisa lebih cepat. Untuk air normal, lama pengiriman biasanya antara 15-20 jam untuk sekali pengiriman.

            Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, Naharuddin sebelum 2004 mempekerjakan orang lain untuk pengiriman bambunya untuk sampai ke pelanggan. Upah yang dibayarkan oleh Naharuddin adalah 150 ribu untuk sekali pengiriman. Namun setelahnya, Naharuddin lebih memilih untuk mengerjakan seluruhnya sendiri. Mulai dari mengumpulkan bambu, mengikatnya menjadi rakit hingga mengantar bambu sampai ke pelanggan.

            Untuk ketersediaan bambu, Naharuddin belum mengalami kesulitan karena masih banyak orang yang menawarkan bambu padanya. Untuk mendapat harga bambu yang sesuai, biasanya Naharuddin lebih memilih untuk menebangnya sendiri ketimbang membeli bambu yang sudah siap jual karena harganya lebih murah. Dengan selisih harga tersebut, Naharuddin bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Misalnya saja, bambu yang dia tebang sendiri dari pohon biasanya dibeli dengan harga 3-4 ribu rupiah perbatangnya. Jika dibandingkan dengan bambu yang sudah siap jual harganya 7-8 ribu perbatang. Selisih harga bambu mencapai 50%. Artinya, Naharuddin bisa mendapat untung 6 ribu rupiah perbatangnya dengan asumsi harga jual bambu ke pelanggan adalah 10 ribu rupiah.

            Tapi tunggu dulu! Lama pengerjaan biasanya 2 minggu untuk pengumpulan bambu dalam sekali pengiriman. Jika keuntungan ini harus dikurangi dengan biaya kerja, maka keuntungan yang didapatkan tidaklah sebesar yang diperkirakan. Upah minimum kabupaten Soppeng saat ini sekitar 1 juta 50 ribu rupiah perbulan—jika mengacu pada UMR nasional tahun ini. Berarti dalam seharinya biaya kerja Naharuddin dalam proses pengumpulan bambu adalah 35 ribu rupiah dikali 14 hari, atau 490 ribu rupiah untuk sekali pengumpulan bambu. Untuk 200 batang bambu seharga 4 ribu rupiah perbatang (Rp 6.000 x 200 = Rp1.200.000), dikurang biaya kerja (Rp 490.000) maka total keuntungan Naharuddin sebelum bambu dijual adalah tinggal 710 ribu rupiah dari keseluruhan keuntungan yang diperoleh. Ini untuk satu tahapan proses, pengumpulan. Mari lihat berapa biaya yang harus dikeluarkan Naharuddin di proses lainnya.

            Tahap kedua adalah membuat rakit. Lama waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan rakit adalah dua hari. Mulai dari membuat tali pengikat, menurunkan bambu ke sungai, menyusunnya sampai membuat pondok dari daun aren dan pisang untuk tempat berteduh selama perjalanan. Tidak lupa kayu bakar, serabut kelapa serta pasir untuk membuat dapur sederhana. Pada dasar rakit, ada 8 ikat bambu yang disusun. Dalam satu ikatan ada 15 batang bambu. Artinya, dasar rakit ada 120 batang bambu yang dirangkai menggunakan tali (juga terbuat dari bambu berumur muda). Rangkaian disatukan dengan sebuah bambu yang diletakkan melintang. 120 batang bambu inilah yang terendam sepenuhnya di dalam air sekaligus sebagai dasar rakit. Kemudian barulah membuat rangkaian berikutnya.

***

DI ATASNYA kemudian diletakkan sisa bambu yang berjumlah 80 batang (jumlah keseluruhannya adalah 200 batang). Jika ada permintaan salima, maka akan diletakkan di atasnya. Biasa juga ada permintaan potongan/gelondongan kayu jati yang diletakkan di bagian atas rakit. Setelah rangkaian rakit bambu selesai, barulah membuat pondok dari anyaman daun aren yang ditengah-tengah anyamnya diselipkan daun pisang. Artinya, jumlah hari kerja bertambah menjadi 16 hari kerja.Maka keuntungan sementara penjualan bambu harus dukurang lagi (Rp 710.000-Rp 70.000) menjadi 640 ribu rupiah.

            Tahap terakhir adalah pengiriman. Jika harus mempekerjakan orang lain untuk mengantarkannya ke pelanggan, maka biaya kerja yang harus dikeluarkan adalah 170 ribu rupiah. Ini merupakan upah yang berlaku saat ini dan sudah termasuk ongkos angkutan antar daerah sebesar 20 ribu rupiah untuk pulang. Jadi pendapatan bersih Naharuddin adalah 470 ribu rupiah untuk sekali antar dengan jumlah hari kerja total 17 hari dengan tujuan Sengkang.

            Jika bambu tidak ditebang sendiri, maka jumlah hari kerja akan berkurang menjadi 3 hari saja. Namun akan membengkak di biaya pembelian bambu. Dengan harga bambu 7 ribu 2 ratus rupiah (harga bambu batangan termurah saat ini jika sudah ditebang dari rumpunnya), maka keuntungan sementara adalah 560 ribu rupiah dari 200 batang bambu. Setelah dikurang ongkos kerja dan pengiriman (Rp 170.000 + Rp 70.000 = Rp 240.000), maka pendapatan bersihnya adalah 320 ribu rupiah saja untuk sekali pengiriman bambu.

***

TITIK berangkat rakit milik Naharuddin biasanya dimulai di tikungan sungai yang bernama Ma’busae (berbusa). Di tempat ini, selain aktifitas pembuatan rakit juga banyak terdapat penangkap ikan, mulai dari memancing, memukat sampai menjala. Bahkan, pada saat air sungai bening—pada saat musim kemarau—biasanya ada sekelompok orang menangkap ikan dengan cara menyelam. Penyelam ini dilengkapi dengan tombak dan alat tembak yang mereka buat sendiri dengan menggunakan karet ban dan mata kail terikat. Tidak lupa kacamata bawah air yang juga dibuat sendiri.

            Ada beragam jenis ikan yang hidup di sungai ini, misalnya saja ikan Kandea, ikan Mas dan ikan Andrekaraja. Namun, jenis yang paling sering ditemukan adalah ikan Kandea, ikan berwarna keputihan dengan tulang yang banyak dan sangat tajam. Ukuran ikan yang hidup di sungai ini beragam, mulai dari sebesar telapak tangan, hingga sebesar paha manusia dewasa. Bergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan serta waktu penangkapan. Biasanya, ikan-ikan berukuran besar baru bisa ditemukan saat tengah malam.

            Karena berada pada tikungan air, maka sungai di tempat ini memiliki badan sungai yang cukup luas dan dalam. Perluasan badan sungai merupakan akibat dari pengikisan tanah oleh arus air yang datang dari ulu sungai. Kondisi inilah yang menjadikannya sebagai tempat menarik bagi ikan-ikan dan tentunya juga para penangkapnya. Tempat ini akan ramai saat sore hari. Di pinggiran sungai juga terdapat beberapa pembuat salima yang mengiris bambu-bambu untuk kemudian diikat. Ada anak-anak bermain air, menyiangi jagung, memancing atau sekedar singgah untuk menikmati istirahat di pinggiran sungai penuh dengan bambu yang teduh.

***

SORE itu, rabu 4 Mei 2011, aku berjanji untuk menemui Naharuddin di Ma’Busae—sebuah tempat di pinggiran hutan bambu, di pinggiran sungai Walanae, di mana tempat ini menjadi salah satu titik aktifitas (mengumpulkan bambu, membuat rakit, membuat salima, menangkap ikan dan lain-lain) masyarakat kampung Coppeng-Coppeng. Setelah melewati jalan kampung, hanya ada jalan pengerasan yang sudah nampak becek. Jalan ini adalah jalan Usaha Tani yang dibangun oleh warga melalui dana PNPM Mandiri anggaran tahun 2009. Jalan inilah yang menghubungkan petani dengan kebun-kebun mereka, perakit dengan bambu-bambunya, penangkap ikan dengan sungainya. Jalan ini sangat licin, terutama pada saat setelah hujan, karena terdiri atas susunan batu gunung yang ditata bersama tanah liat.

            Saat tiba, aku mendapati Naharuddin tengah mengerjakan rangkaian dasar rakitnya. Menurunkan beberapa bambu ke sungai. Memanfaatkan arus sungai untuk membantunya menyusun letak bambu, kemudian mengangkatnya ke atas rakit untuk diikat dengan tali yang telah dipersiapkan kemarin.

            Dalam kesehariannya—baik saat mengerjakan rakit, berkebun dan aktifitas lainnya—Naharuddin memiliki jam kerjanya sendiri. Dia umumnya membaginya ke dalam dua shift, yakni pagi dan siang. Pagi dimulai pukul 06.00 WITA sampai pukul 11.00 WITA. Kemudian melanjutkannya setelah istirahat dan makan siang, yakni pukul 13.30 WITA sampai pukul 17.30 WITA. Yang uniknya adalah, Naharuddin nyaris mengetahui dengan pasti pukul berapa saat dia harus menghentikan pekerjaannya, padahal tidak ada penunjuk waktu yang dia bawa saat bekerja. Naharuddin biasanya menggunakan alarm yang ada di perutnya. Saat laparnya memuncak, saat itulah dia harus pulang. Tidak ada aktifitas makan pagi buat Naharuddin. Hal inilah yang menjadikan ‘alarm’ laparnya berbunyi pada pukul 11.00 siang.


Box 2
Soga dan Bambu Istimewa
Soga sepertinya telah ditakdirkan untuk memiliki bambu yang bernilai jual. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, bambu telah menjadi kebutuhan yang penting dalam aktifitasnya. Ada banyak bagian kehidupan masyarakat yang menjadikan bambu sebagai bahan utamanya. Sebutlah dinding rumah, keranjang, pagar, mainan anak-anak, lantai dapur, penyangga tiang untuk membangun rumah, jebakan babi, kandang ternak, sampai tiang untuk antena telepon genggam. Banyak jenis bambu dengan kegunaannya masing-masing.
Tapi bambu yang ada di desa Soga tidaklah banyak jenisnya. Hanya ada sekitar empat jenis,yakni Parring, Talang, Pettung dan Banua. Namun yang menjadi andalan dan dominan adalah bambu jenis Parring yang biasa digunakan sebagai penyangga saat membuat bangunan dan kandang ternak unggas. Bambu ini berukuran panjang hingga 8 meter dengan lebar lingkar tengah 12 sampai 17 sentimeter. Bambu ini termasuk jenis bambu yang kuat, tentunya jika mendapat perlakuan yang benar.
Di kampung Coppeng-coppeng misalnya, masyarakat memiliki cara tersendiri untuk mengawetkan bambu-bambunya—mulai dari perlakuan saat menebang di mana mereka memilihh usia bambu antara 3-4 tahun dan telah ditumbuhi jamur berwarna putih kekuning-kuningan sehingga motif bambu lurik. Demikian pula menentukan waktu-waktu tertentu untuk memulai penebangan. Penduduk percaya, saat menebang bambu, pemilihan hari-hari tertentu berpengaruh terhadap kualitas bambu. Hari sabtu dan senin merupakan hari yang baik untuk penebangan. Demikian pula untuk menambah keawetan batang bambu, mereka merendam bambu-bambunya di aliran sungai selama 40 hari untuk mengurangi kadar nutrisinya. Kalau kurang percaya, lihat saja saat bambu baru ditebang, akan banyak semut yang datang di daerah irisannya. Jika kadar gula dalam bambu bisa dikurangi, maka peluang rayap untuk merusak bambu akan semakin kecil.
Ketika ciri-ciri ini telah ditunjukkan oleh bambu, saatnya menebang telah tiba. Jika membiarkannya, maka bambu akan mati dengan sendirinya. Bambu-bambu yang mendapat ‘perlakuan yang baik’ bisa bertahan hingga 30 tahun. Selamat membuktikan!

            Setelah menyelesaikan rangkaian dasar bambunya, kami pun kembali ke rumah. Besok pekerjaan akan dilanjutkan kembali.

***

SAAT pulang, Bansuhari ternyata belum kembali dari kebunnya. Tiga orang anaknya tampak berkumpul di teras rumah. Tidak lama kemudian, ketiganya bergegas masuk ke rumah karena langit sudah mulai gelap. Uco’, anak ke empat Bansuhari harus bersiap-siap bergabung dengan teman-teman sekelas di sekolahnya. Malam itu adalah jadwal belajar kelompoknya untuk belajar bersama mempersiapkan ujian nasional yang tinggal menghitung hari. Sofyan, yang baru duduk di kelas 2 sekolah dasar, sesudah mandi masih saja asik dengan aktifitas bermainnya. Berlari kesana kemari, begitu asik dengan dunia imajinasinya. Sementara Isna yang baru saja selesai ujian nasional tingkat SLTP tidak terganggu dengan kebisingan yang diciptakan Sofyan, seperti telah terbiasa dengan itu semua. Atau tayangan televisi yang menjaga matanya sudah begitu mengasikkan buatnya.

            Sepulang dari kebun, Bansuhari membawa keranjang berisi bungkusan pelastik hitam. Di dalamnya terdapat cabe kecil yang masih lengkap dengan beberapa daun yang telah layu. Kemudian dia meletakkannya di atas tampah dan mulai memisahkan cabe dari daunnya. Yah, esok lusa, tepatnya setiap hari Jumat Bansuhari akan menjual cabe dari kebunnya ini ke penadah. Penadah akan mengambilnya langsung ke rumah Bansuhari dengan menggunakan mobil pickup. Selain cabe, penadah ini juga membeli pisang dan hasil kebun lainnya, seperti pisang, coklat dan lain-lain.

            Setelah mempersiapkan makan malam untuk keluarga dan dibantu oleh Isna, Bansuhari masih memiliki kesibukan lain di rumahnya. Dia masih sempat juga untuk membuat jajanan khas daerah seperti kue Bugis, Pukis, pisang goreng, Barongko dan masih banyak lainnya. Bahkan setelahnya, Bansuhari belum juga mengakhiri kerjanya. Sambil bersantai, dia biasanya memilah dan merapihkan kain-kain yang akan dijahitnya esok, atau kapanpun dia memiliki waktu yang cukup luang untuk mengerjakannya. Jika saat mahasiswa dulu aku mengenal penjahit yang andal adalah penjahit Soppeng. Bahkan, seorang penyedia tenaga jasa jahit-menjahit, untuk menarik pelanggannya akan melekatkan kata Soppeng di pintu rumahnya, walaupun sebenarnya penjahit itu bukan berasal dari Soppeng. Kini saatnya aku menyaksikannya secara langsung. Kemudian aku coba menyodorkan celana jeans untuk di permak oleh Bansuhari. Walhasil, sungguh hasilnya memuaskan. Setidaknya itu untuk ukuran rapih menurutku.

            Selain menjahit pakaian, Bansuhari juga bisa menjahit aksesoris rumah, seperti gorden, sarung bantai dan lain-lain. Tapi jangan salah. Tidak semua perempuan di tempat ini bisa menjahit dengan baik hanya karena mereka beridentitas ‘orang Soppeng’.

***

WALAUPUN Bansuhari terbilang sangat sering membuat jajanan di rumahnya, namun ketiga anaknya masih enggan untuk menghentikan jajanan warungnya. Makanan kegemaran ‘anak Indonesia’ sepertinya mendominasi hampir di seluruh pelosok negeri. Sebutlah misalnya mie instan, garoppo’, permen, minuman soda dan jajanan sampah lainnya. Lihat saja angka belanja terigu dan gula—bahan baku jajanan bebahan baku tepung terigu—Bansuhari tiap bulannya. Tiap bulan, Bansuhari menghabiskan sekitar dua liter terigu dan delapan liter gula. Belum lagi untuk jajanan berbahan baku lainnya, seperti pisang, ubi, gula merah dan telur. Untuk hitungan kasar, ada sekitar 100 ribu rupiah perbulannya pengeluaran untuk belanja bahan baku jajanan ini. Belum termasuk bahan baku yang tidak dibeli atau yang langsung diambil dari kebun.

            Namun angka di atas belum bisa mengimbangi jumlah jajanan yang dikonsumsi anaknya setiap hari dari warung dan kios. Untuk tiga anak saja, sehari Bansuhari harus mengeluarkan uang paling sedikit 4 ribu rupiah. Untuk sebulannya, ada sekitar 120 ribu rupiah yang dikeluarkan oleh Bansuhari untuk menutupi kebutuhan jajan anaknya. Padahal usaha untuk menekan pengeluaran dengan membuat jajanan sendiri sudah dilakukan. artinya, justeru pengeluarannya menjadi lebih dua kali lipatnya.

            Selain membuat jajanan, disela waktunya Bansuhari juga kerap disibukkan dengan aktifitas tambahan. Biasanya dia mengerjakannya sembari menyaksikan hiburan dari televisi seperti sinetron ‘Puteri yang Ditukar’, ‘Tarung Dangdut’, ‘Dia Anakku’ dan lain-lain. aktifitas akan bertambah jika jadwal keberangkatan Naharuddin untuk mengantar bambu telah dekat, bahkan hingga larut malam. Bansuhari harus menyiapkan perbekalan yang bisa dibawa oleh suaminya esok hari. Burasa’ merupakan bekal andalan karena bisa tahan lama dan bisa menggantikan nasi. Cukup memakannya dengan lauk apapun, jadilah menu spesial dalam perjalanan.

            Proses pembuatan Burasa’ ini memakan waktu yang cukup lama, karena harus direbus selama lima jam. Jika membungkusnya pukul 22.00, maka Bansuhari baru bisa istirahat pada pukul 03.00 dini hari. Bansuhari mengaku kerap tidur sangat larut untuk menyelesaikan masalah logistik rumah tangganya karena saat siang hari harus membantu aktifitas di kebun suaminya.

***

SABTU pagi, 7 Mei 2011, rakit telah siap untuk berangkat, begitu juga dengan perbekalan yang dikerjakan Bansuhari tadi malam. dari informasi penduduk, akan ada tujuh rakit lain yang akan berangkat hari ini. ketujuh rakit tersebut milik Marsuki (lihat data Ishak Salim; 2011). Marsuki mengupah pekerja untuk mengantarkan bambu-bambunya ke pelanggan di Sengkang, Ca’benge dan lain-lain. tidak seperti Naharuddin yang membawa bambu-bambunya sendiri untuk dijual. Rakit kami memutuskan untuk menunggu rombongan rakit Marsuki. Rencananya kami akan berangkat bersamaan.

            Setelah menunggu sekitar 90 menit, akhirnya rombongan rakit milik Marsuki muncul juga. Di atas masing-masing rakit hanya ada satu orang penumpang saja. Berbeda dengan kami yang penumpangnya berjumlah enam orang karena memang tujuan kami adalah mengetahui aktifitas perakit yang melintasi sungai Walanae ini. setelah melewatkan rombongan rakit milik Marsuki, barulah kami mengikuti di belakangnya. Ternyata bukan hanya bambu yang mereka bawa, tetapi ada pula kayu gelondongan di atasnya berjenis jati putih.

            Tantangan pertama yang harus dilewati rakit-rakit ini adalah jeram dengan dinding-dinding batu gunung dipinggirannya. Ini ditambah lagi dengan arus dari pertemuan sungai Walanae dan Mario. Menurut Naharuddin, ini merupakan arus normal di sungai ini. Biasanya arus akan lebih kencang saat puncak musim penghujan, yakni sekitar bulan Mei dan Juni. Ramalan Naharuddin itu akan tepat jika tidak ada perubahan cuaca yang cukup jauh terjadi. Namun, sepuluh tahun terakhir, sangat sulit untuk memprediksi arus sungai akibat perubahan curah hujan. Contohnya seperti tahun lalu, di mana curah hujan lebih panjang terjadi dan mengakibatkan banjir di sekitar aliran sungai. setidaknya tercatat ada tiga banjir besar sejak tahun 1970 hingga sekarang, yakni tahun 1977, 1987 dan yang terakhir tahun 2003. Dari ketiga banjir besar tersebut, yang terakhir merupakan yang terparah. Menurut Budirman Azis (Kepala Desa Soga), bajir bukan hanya menghanyutkan jembatan di dusu Pallawa saja, tetapi juga menenggelamkan salah satu dusun di desa Barae. Tidak ada korban jiwa saat itu, namun banjir mengakibatkan rusaknya ratusan hektar tanaman pertanian penduduk di sekitarnya.

            Perubahan alam secara global sebenarnya berdampak langsung kepada ekologi sungai Walanae. Jika sebelum tahun 1990-an biasanya banjir hanya terjadi satu kali dalam setahun, kini banjir bisa datang hingga lima kali dalam setahun. Walaupun demikian, untuk para perakit ini, banjir tidak berpengaruh besar terhadap penjualan komoditas mereka. Hanya saja, yang belum sempat perakit ini perhitungkan adalah berkurangnya tingkat keselamatan mereka selama perjalanan.

            Sepanjang perjalanan, pemandangan yang paling memprihatinkan lainnya adalah pengikisan dinding sungai Walanae. Ada banyak pohon yang tumbang akibat erosi besar. Luasan sungai semakin bertambah, serta ancaman banjir di beberapa titik yang mengintai masyarakat sekitar bantaran sungai. bahkan ada bagian sungai yang bisa diseberangai dengan berjalan saja akibat pendangkalan. Beberapa penangkap ikan menjadikan aliran sempit dan dangkal ini sebagai tempat menjala ikan-ikan yang melintas mengikuti aliran sungai.

***

Digunakan untuk apa bambu-bambu yang dibawa oleh Naharuddin?

PEMBELI bambu-bambu milik Naharuddin biasanya adalah pengusaha ternak dan pengecer bambu. Tentunya pengusaha ternak membeli bambu-bambu—jenis komoditas salima—milik Naharuddin untuk memperbaiki kandang-kandang ternaknya. Nah, untuk pengecer bambu, biasanya pembeli menggunakan bambu untuk kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Ada yang menggunakan bambu-bambu sebagai bahan bangunan, karena bambu Naharuddin—yang berasal dari Soga—umumnya terkenal dengan ketahanan dan panjangnya. Ada pula yang pelanggan yang menggunakannya sebagai keramba/kandang untuk memelihara ikan air tawar. Umumnya, di sekitar danau Tempe banyak terdapat peternak ikan air tawar. Pemesan bambu dari kalangan peternak ikan air tawar juga tidak kalah banyaknya. Tidak jarang, Naharuddin sampai kewalahan untuk memenuhi permintaan bambu dari pelanggan-pelanggannya di berbagai tempat.

            Untuk melayani permintaan dari Sengkang, Naharuddin biasanya hanya bisa memenuhi pengiriman sebanyak dua sampai tiga kali saja dalam sebulan. Ini mengingat jarak tempuh dan lama perjalanan yang harus dilalui. Untuk pemesan dari Ca’benge dan sekitarnya, Naharuddin bisa hingga satu sampai dua kali pengiriman dalam seminggu karena letaknya yang lebih dekat. Hanya saja akan berbeda harga jualnya. Tentu jika mengantarnya ke pelanggan di Sengkang Naharuddin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Namun, Naharuddin tetap mengutamakan perlakuan adil untuk pelanggan-pelanggannya. Tidak ada satupun pelanggan yang mendapat perlakuan khusus—dalam hal jumlah pengiriman. Semua kiriman bambu akan mengikuti sirkulasi pengiriman yang ditentukan oleh Naharuddin sendiri. Misalnya, Naharuddin tidak akan mengabaikan pelanggannya di Ca’benge demi mendapat keuntungan yang lebih besar jika dia mengirimkan bambunya ke Sengkang.Selisih harga antara pelanggan di Sengkang dengan pelanggan di Ca’bengge misalnya, antara dua sampai empat ribu rupiah.

            Catatan penting di sini adalah, bagaimana Naharuddin bisa menentukan permintaan dari pembeli bambunya. Walaupun hukum ekonomi terus memaksa Naharuddin untuk meraup keuntungan yang lebih besar, ditambah beban ekonomi keluarga yang semakin besar, dia tetap menjaga hubungan emosional dengan langganannya. Mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi terhadap pelanggannya jika dia tidak berlaku adil.

***

TERINGAT perkataan Naharuddin di awal pembicaraan mengenai pekerjaan yang ditekuninya ini. “Ma’dai ini pekerjaan keras, tapi tidak sebanding dengan harga yang kita dapat...”, berkata sambil membelah bambu yang akan dijadikan tali pengikat rakit. Mulai dari proses penebangan, pengumpulan, perakitan hingga mengantarkannya.

            Enam jam perjalanan di bawah panggangan panas matahari dengan suhu dikisarkan 40 derajat, pondok yang terbuat dari daun nipah dan daun pisang sudah mengering. Keriting seperti habis terbakar. Naharuddin tidak pernah berhenti ma’tongko untuk mengemudikan rakitnya agar tidak menabrak dinding sungai. Menjaga rakit untuk tetap berada di aliran sungai yang deras. Menggonta-ganti panjang bambu sesuai tingkat kedangkalan sungai. jika berada di aliran tenang, itu artinya waktu Naharuddin untuk beristirahat sejenak sebelum mendapat tikungan sungai. apalagi jika telah melewati jembatan Ca’benge, aliran sungai terus menerus dipenuhi belokan sehingga menyita waktu istirahatnya. Inilah yang Naharuddin maksud dengan pekerjaan keras.

            Saat malam tiba, rombongan meninggalkan kami. Naharuddin memutuskan untuk bermalam sekaligus menangkap ikan. Rombongan lainnya akan mempercepat perjalanan tanpa istirahat malam. Biasanya Naharuddin akan melakukan hal yang sama jika dia merakit sendiri. Penangkapan ikan juga bisa dilakukan saat rakit sementara bergerak. Perakit akan membentangkan jala panjang dengan bambu yang dilintangkan. Ikan inilah menu utama selama perjalanan, dipadu dengan Burasa yang dibawa dari rumah. Untuk jenis ikan yang sering didapatkan adalah ikan sungai yang masyarakat sekitar sungai sebut dengan Kandea. Ikan dengan daging berwarna putih dan berduri banyak serta tajam. Perlu hati-hati saat memakannya.

            Ada lagi ‘tamu’ yang kerap menemani Naharuddin saat malam, nyamuk. Nyamuk sungai terkenal ganas dan berdaya juang tinggi. Menjadikan waktu istirahat menjadi kurang menyenangkan. Nahruddin tentu telah menyiapkan penangkalnya sejak dari rumah, lotion anti nyamuk. Sebagai catatan, jangan pernah percaya dengan keampuhan asap dalam mengusir nyamuk. Inilah alasan membawa lotion walaupun Naharuddin membawa banyak serabut kelapa beserta kayu bakarnya.
            
           Bukan hanya karena panas matahari, tetapi juga tenaga yang harus dikeluarkan saat ma’tongko. Tenaga akan lebih terkuras saat rakit berada di atas aliran yang dalam dan tenang. Badan bambu akan masuk lebih dalam, sehingga rakit sulit untuk bergerak dengan cepat. Berbeda ketika di air dangkal. Akan lebih mudah untuk mengarahkan rakit masuk dalam aliran yang deras pada sungai. semakin panjang batang bambu yang bisa dipegang saat ma’tongko maka akan semakin mudah untuk mendorongnya. Jika air dalam, maka batang bambu akan semakin sempit untuk dipegang, sehingga akan sulit mencari kuda-kuda sebagai penukik rakit.

            Kerja yang berat untuk ukuran Naharuddin yang sudah ma’dai hampir delapan tahun, sudah tentu untuk aku yang baru sehari mengikuti aktifitasnya hingga ke Sengkang. Namun, menurutnya. Awomallorong adalah komoditas yang menyelamatkan ekonomi keluarganya di tengah-tengah menurunnya produksi kakao akibat serangan hama penyakit dan harga yang tidak menentu. Ketika aku menanyakan apa yang akan dilakukan jika seandainya coklat tidak bisa lagi diharapkan, dia kemudian menjawabnya dengan, “Ma’dai materru-terru”.[]


[1] Petani Coppeng-Coppeng pertama yang menanam coklat di desa Soga.