Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 18 Januari 2012

Bersama Hj. Dalleng

 Setengah jam aku menunggu di tengah pasar. Pukul 12.05 Wita, terlihat di layar handphonku saat menekan tombol-tombolnya.  Atap-atap pasar menguapkan sisa-sisa air karena panas. Mungkin beberapa jam lalu hujan menyiramnya. Mungkin juga ada segerombolan anak-anak melemparinya dengan air dalam plastik sisa jajanan mereka, atau ada ibu menumpahkan air sisa cucian pakaiannya di atap pasar. Aku bingung hendak bertanya kepada siapa tentang air yang menguap di atap-atap pasar ini, seperti kebingunganku harus bertanya kepada siapa awal mula hadirnya pasar.

Setengah jam sebelumnya, aku bersama Manji menyempatkan singgah di sebuah toko sepatu, depan pasar Todopuli, demikian mereka menyebut pasar berbentuk persegi itu. Yah, walaupun di papan tertulis Pasar Panakukang, tidak masalah bagiku, apapun namanya. Mungkin ini hanya perdebatan letak pasar yang berada di antara kecamatan Todopuli dan Panakukang.

Aku tidak sedang ingin membeli sepatu di toko itu. Hanya saja ada sepasang mata dan kulit cerah mengundangku untuk mendekatinya. Sepasang mata yang pemiliknya adalah seorang gadis dengan sehelai kertas cerah dan indah, seperti kulit yang mendekapnya. Sejenak, aku masih sempat membayangkan gadis itu masuk dalam film hayalanku, wajahnya begerak sangat lambat membentuk gurat-gurat senyum yang hebat. Tentunya diselingi snaph shoot, berfokus pada kibasan seikat rambut dan sedikit drama tetesan keringat berjatuhan dari leher berlikuk. Gadis itu sedang asik melayani pembeli di hadapannya. Ia sesekali mencuri pandang penuh curiga kearah rombonganku yang mendekat. Sedikit waspada, mungkin juga takut. Entahlah, apa yang dia fikirkan. Ocha dan Esha terpaksa mengikuti dari belakang. Memang aku dan Manji tidak memberi banyak pilihan kepada mereka berdua. Mereka mau saja menyertai tanpa banyak menanyakan tujuanku dan Manji. Akhirnya, dengan sedikit basa-basi, menanyakan harga sepatu, mencari barang yang tidak ada di toko itu, kemudian keluar setelah puas melihat kecantikan penjaganya. Kepuasan hadir berwujud senyum dan tawa. Kemudian masuk ketengah-tengah pasar, sembari menantikan rombongan ‘Tour The Pasar’ yang lain datang.

Memasuki gerbang, pria buncit dengan kacamata lebar menyambut kami. Pria itu berjalan mejinjit memamerkan badan yang tidak berbungkus apa-apa, mengkilap oleh keringat. Ia tertawa riang: menghibur sekawanan pedagang aksesoris di pinggiran gerbang. Suara riuh bersorak bercampur tawa berlarian. Aku hanya sempat tersenyum, malu-malu tanpa suara karena segan. Mungkin saja aku akan semengkilap pria itu, seandainya aku membuka baju, hangat udara terus mendorong keringat.

Di barisan kiri hamparan tertulis, “Pasar Sehat Percontohan, Hamparan Khusus Unggas”. Seperti mesin pemotong daging, gerakan pedagang tidak jauh berbeda. Mereka membelah ayam-ayam telanjang di meja masing-masing. “Tak tak tuk tak…”, suara pisau menyayat daging mulus, terus melaju membelah tulang keras dan terhenti saat menghantam talam kayu. Di sebelah kananku, anak-anak terbahak-bahak menyaksikan seorang teman mereka terperosok kedalam got kecil bersama sepedanya. Air hitam pekat dari got itu muncrat. Busuk dan menyengat. Di sebelahnya, ibu dengan dua anak bersemangat lomba tawar-menawar harga dengan pedagang, seakan keriuhan anak-anak tidak mengganggu sama sekali. Suara anak-anak berubah menjadi riuh suporter di pertandingan tawar menawar itu.

Manji tiba-tiba menghilang. Aku mencoba mencari. Kami terpisah. Kulirik sudut-sudut sulit di sela-sela sayuran, di antara gantungan plastik berisi bumbu dapur, di sudut ketiak pembeli yang asyik berjalan. Aku mencoba menangkap bayangan Manji, namun tidak kutemui. Lelah melirik, pandangan akhirnya jatuh di Esha. Esha tidak mau kalah dengan Manji. Dia mulai berpose di samping bak sampah. Seolah mendorong bak sampah, Esha memerintahkan Ais untuk segera mengambil gambarnya. Entah dari mana datangnya, Ais tiba-tiba saja sudah berada di tengah-tengah pasar. Ia menenteng sebuah kamera digital di tangannya. Sedikit ragu, Ais coba membungkuk untuk mendapatkan posisi yang baik untuk mengambil gambar Esha yang menanti detik-detik pemotretan. Lampu blitz menyusuri seluruh ruang dengan cepat. Sangat menyilaukan mata. Kilau putihnya. Beberapa pedagang yang berada di sekitar Esha terkejut.Mereka nampak sedikit menyipitkan mata. Ais dan Esha mencuri banyak perhatian orang-orang. Mereka tidak perduli sama sekali, seakan telah akrab dengan lingkungan pasar. Aku yang lelah oleh perjalanan dan rasa sakit di gigiku mulai berburu posisi nyaman untuk beristirahat sejenak.

Aku tidak mendapatkan tugas khusus dalam program AcSI kali ini. Hanya pemandu sorak dengan tugas kecil mencari cerita-cerita unik di pasar yang dikunjungi. ‘Tour The Pasar’ kali ke tiga ini, ada dua pasar yang dikunjungi: pasar Karuwisi dan pasar Todopuli Makassar. Masing-masing peserta Tour bertugas mencari informasi terkait pasar, seperti, sejarah pasar, pengelolaan pasar, jenis dagangan, retribusi yang harus dibayar, masalah-masalah yang dihadapi pedagang dan cerita-cerita unik dari pedagang. Ais bertugas mendokumentasikan aktivitas. Bagaimana dengan Esha? Yah, dia sebenarnya punya program sendiri di Makassar. Dia datang jauh-jauh dari Padang untuk menyaksikan secara langsung kota yang dianggap “Kasar” oleh media mainstream, kemudian menuliskannya. Nama program yang diikuti Esha adalah Residensi Mahasiswa. Walaupun berbeda ide maupun konsep dalam dua program ini, tapi keduanya akan berujung pada satu muara: publikasi tulisan.

***

“Gung, kesini cepat! Ada kompos di belakang pasar!”

Manji mempercepat langkah setelah menghampiri aku. Dengan semangat yang tersisa, aku mengimbangi langkah cepat Manji. Dia terengah-engah mengatur nafas saat aku mendapatinya sejajar berjalan.

“Katanya ada di suatu tempat. Mereka mengumpulkan sampah, kemudian menjadikannya pupuk,” Manji menambah penasaranku.

Mulailah kami memasuki lorong-lorong sempit pasar untuk mencari tempat pembuatan kompos. Setelah yakin dengan tempat yang dituju, nampak lima buah gentong berwarna biru. Tiga gentong dimodifikasi lebih rumit, karena posisinya menggelantung seperti kambing guling yang siap dibakar dengan sebuah gagang besi sebagai pemutar. Aku mencoba memutar-mutar gentong itu untuk tahu cara kerja alat sederhana pembuat kompos. Di dinding-dindingnya terdapat beberapa lubang kecil dengan jarak beraturan untuk memisahkan sampah dari air. Juga ada sebuah pintu sebesar sekop untuk memasukkan sampah. Gentong ini sepertinya untuk mengaduk sampah yang akan dijadikan kompos sebelum dimasukkan ke dalam gentong penguraian. Dua gentong lain dalam posisi berdiri dengan dua buah pipa paralon menembus sisi-sisinya, di bagian atas dan bawah. Di bagian lain, sebuah corong udara melengkung ke atas untuk menguapkan pupuk cair, bentuk lain penguraian sampah organik. ”Mereka mendapat bantuan dari Australia untuk membuat pupuk Gung,” Manji berkomentar. Dia mendapatkan informasi dari salah seorang yang ditemuinya saat kami berpisah tadi.

Pasar ini nampaknya penuh dengan program pemerintah. Mulai dari tata letak menurut jenis dagangan yang aku lihat di awal, kemudian dipertegas dengan kalimat “Pasar Percontohan”. Pasar ini juga sedang dimandat oleh pemerintah Kota Makassar sebagai Pasar Sehat. Dan sekarang, aku menemukan pasar ini sedang membuat pupuk kompos dari sampah yang mereka hasilkan. Sebagai langkah awal, pasar ini cukup baik dengan “gaya” dan “Citra”. Namun ada hal-hal yang perlu menjadi catatan penting dengan program yang dilakukannya.

Penobatan sebagai pasar sehat harus dibayar mahal oleh pedagang. Para pedagang harus membayar retribusi yang semakin meningkat. Sementara, pengunjung semakin berkurang, karena ada sebuah Mall besar di dekatnya. Ditambah Carrefour serta Pasar Segar yang siap merebut hasrat berbelanja pengunjung pasar ini. Pasar moderen yang bermodal besar ikut menjual kebutuhan rumahtangga. Kini yang bertahan hanya langganan setia mereka, atau jika lagi mujur ada pengunjung tersesat yang membeli barang dagangan mereka, itupun tidak banyak. Lainnya, penetapan lokasi dagangan sesuai jenis dagangan. Pemerintah melalui pengelola pasar yang ditunjuk telah menetapkan harga, tentu tanpa menanti kesepakatan dari pedagang sebelumnya. Tidak heran, masih ada tempat-tempat yang tidak ditempati pedagang karena tidak cocok dengan harga yang telah ditentukan. Selain itu, program pengelolaan sampah menjadi kompos belum mampu menjawab permasalah sampah di pasar ini. Jumlah sampah yang dihasilkan tidak sebanding dengan alat pengelolaannya, karena program bergantung pada dana bantuan, bukan dari kesadaran dan swadaya dari pedagang sendiri.

Dari keseluruhan program di pasar Todopuli ini, yang paling menakutkan adalah efek dari bantuan dana itu sendiri. Ia bisa mengakibatkan ketergantungan. Aku sepertinya perlu mencari lebih banyak informasi untuk menyampaikan kepada pedagang dampak-dampak yang telah aku ramalkan. Atau ada beberapa orang yang mau menemaniku mencari informasi yang mungkin saja akan sulit didapatkan. Karena ini proyek berdana besar, tentu perut orang-orang proyek ini tidak kalah besarnya, sehingga mulut dan tangan mereka jadi lebih kecil untuk membantuku mendapat informasi.

***

Hj. Dalleng namanya. Aku memanggilnya mama’, panggilan umum yang digunakan mahasiswa Makassar kepada orang tua yang mereka temui. Tujuannya sederhana: agar terasa lebih akrab. Aku bertemu dengannya di sudut sepi pasar Todopuli. Bermacam jenis beras dia tawarkan kepada calon pembeli. Yang paling mahal adalah beras ketan hitam. Harganya mencapai Rp 12.000/kilogram. Beras jenis lain harganya berada di bawahnya.

Semua berjalan lancar. Aku mulai mengumpulkan informasi tentang dirinya melalui pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan. Tetapi saat aku mencoba mengeluarkan buku catatan kecilku, dia merasa tidak nyaman dan terancam. Kekacauan muncul. Aku gagal mendapat banyak informasi. Sehingga aku hanya bisa menebak-nebak beberapa hal tentang dirinya.

Hj. Dalleng kuperkirakan umurnya sekitar 60 tahun. Rambutnya sebagian banyak putih kecoklatan. Kerutan-kerutan di wajah nampak tegas tanpa harus dia mengernyit lagi. Aku bayangkan dia seorang nenek dari 20 orang cucu atau seorang ibu dari delapan anak. Namun, semua dugaanku runtuh: “Belum pernah ka’ menikah…”

Tidak ada kekecewaan atau ketakutan yang ditampilkan saat dia mengucapkannya. “Cuma ada kemenakan yang tinggal sama ka’…,” tegasnya, sambil memukul pipi kiriku. Ia tertawa lepas. Giginya masih utuh di bagian depan. Dia pasti merawat gigi-gigi itu dengan baik saat masih muda. Matanya pun mengecil, tenggelam oleh lipatan keriput di sekitarnya. Aku tawarkan Manji padanya untuk dijadikan sebagai anak angkatnya, tapi dia hanya membalas dengan senyum sambil memegangi tanganku. Permukaan tangannya sangat kasar. Jelas saja karena saat muda dia bekerja sangat keras di sebuah pabrik makanan, jauh sebelum dia menetapkan hati untuk berjualan beras di pasar ini.

Dia berkisah: dia mendapat banyak uang dari hasil kerjanya, sehingga dia bisa pergi menunaikan rukun Islam kelima di tanah Mekah. Pekerjaan itu dia dapat setelah memutuskan pergi dari kampung halaman di kabupaten Sinjai menuju Makassar. Dengan bekal lulusan Sekolah Rakyat, dia memulai kehidupannya di tanah rantauan.[]


0 komentar:

Posting Komentar