Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 18 Januari 2012

BENCANA KETIDAKADILAN

Refleksi Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia
[Penulis: Nurhady Sirimorok | Puthut EA]


GAMBARAN umum buku ini sekiranya coba menceritakan tentang fenomena kebencanaan yang ada di Indonesia, mengenai cara pandang melihat sebuah bencana,  mengkaji aturan-aturan perundang-undangan kemudian melakukan refleksi penanganan bencana, dan melakukan pengkajian komprehensif  aspek lain dari kebencanaan. Aspek lain yang dijelaskan kemudian  melingkupi penegasan mengenai penyebab utama hadirnya bencana, menyusuri akar permasalahan bencana dalam ranah global, tarik menarik kepentingan ekonomi dan politik di balik penanganan masalah bencana, efek bantuan dan diskursus implementasi kebijakan tentang kebencanaan di masa depan. untuk memenuhi kewajibannya sebagai referensi kebijakan penanggulangan bencana, buku ini mengajak pembacanya untuk menganalisis bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Bukan hanya seputar analisis teks, tetapi lebih dalam lagi mengurainya dengan lebih sederhana. Menyelipkan beberapa kasus penanganan kebencanaan di masa lalu sebagai perbandingan serta catatan mengenai kelebihan dan kekurangan di dalamnya berikut memprediksi dampak yang mungkin akan ditimbulkan dari implementasi kebijakan tersebut.


Buku ini menjadi sangat penting sebagai referensi bagi pemerintah maupun kelompok masyarakat lain (organisasi non-pemerintah) yang akan melibatkan diri dalam penaganan masalah kebencanaan dan usaha mengurangi resiko bencana di masing-masing wilayahnya. Sebagai alternatif gerakan sosial di masyarakat karena berisi cerita-cerita lapangan para pengorganisir masyarakat dalam melakukan usaha pengurangan resiko bencana di beberapa daerah di indonesia, seperti Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Bengkulu. Bagaimana fasilitator lapangan dalam program DRR bersama masyarakat membentuk sendiri kelompoknya, memaksimalkan pemanfaatan potensi yang dimiliki, dan mempersiapkan kebutuhan mereka sebelum bencana itu datang (informasi kebencanaan, tempat evakuasi, pemenuhan kebutuhan pangan alternatif dan lain-lain). Bukan hanya cerita keberhasilan yang dikemukakan, tetapi juga cerita ‘kegagalan’ yang dialami pengorganisir dalam melakukan tugas-tugas saat berada di lapangan. Harapannya, cerita ini mampu menjadi contoh bagi daerah-daerah lain yang juga memiliki kerentanan akan resiko bencana.

Bagian I Buku Ini

DI BAGIAN ini, penulis mencoba memaparkan penyebab serta dampak bencana yang pernah terjadi di Indonesia dan beberapa wacana kebencanaan secara global. Bagian ini digunakan sebagai pembuka diskusi kebencanaan di tanah air kemudian menggunakannya sebagai alat pembanding.

Di awal, pembicaraan membahas bagaimana sumbangsih manusia sebagai penyebab utama kerusakan alam . isu pemanasan global menjadi pembicaraan serius masyarakat dunia, di mana bencana ini meluas ke seluru bagian bumi. Perubahan iklim menyebabkan mencairnya sebagian glesir dan es di kutub bumi sehingga meningkatkan volume air laut dan berkurangnya daratan di sekitarnya. Bukan hanya itu, peningkatan suhu bumi terus terjadi, meningkatnya intensitas hujan dalam durasi yang semakin pendek dan lain-lain. perubahan iklim ini disebabkan oleh Gas Rumah Kaca (GRK) di lapisan udara bumi. Peningkatan GRK sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia yakni penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, listrik, perubahan tata guna lahan dan deforestasi (pembalakan dan pembakaran hutan). Salah satu jawaban kenapa manusia begitu giat merusak lingkungannya adalah karena manusia mejadikan pendapatan sebagai orientasi untuk meningkatkan akses terhadap kenyamanan hidup buatan sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah masyarakat. Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pendapatan dan kenyamanan hidup. Negara maju merupakan pengguna terbesar bahan bakar fosil untuk menggerakkan teknologi mereka. Dari semua dampak perubahan iklim ini akan menjadikan rakyat miskin menjadi rentan jika ancaman bahaya datang. Ada bencana lain yang lebih berbahaya lagi, yakni kemiskinan struktural yang disebabkan oleh tata kelola negara yang tidak adil, hanya berpihak pada elit penguasa saja.

Dalam fenomena kebencanaan, rakyat miskin sudah pasti akan menjadi korban terburuk. Mereka yang sudah masuk dalam level kualitas hidup rendah, setelah bencana hadir maka akan terus terperosok pada level yang lebih rendah lagi dan terus begitu. Di Indonesia sendiri, jumlah rakyat miskin mencapai 52,5% atau 135 juta jiwa (penghasilan di bawah 2 dollar per hari). Berbeda dengan standar BPS/Bapenas yang lebih rendah, jumlah rakyat miskin di Indonesia sepkitar 16,6% atau 37,17 juta jiwa (penghasilan di jbawah 1.15 dollar per hari) tahun 2007. Upaya pemerintah melalui program pngentasan kemiskinannya pun sangat bermasalah, karena masih menjadikan hutang sebagai tumpuannya. Sebuah paradigma neolib yang banyak orang tahu sangat bermasalah karena masih banyaknya hutang yang beum terbayar. Belum lagi masalah alokasi pendanaan yang tidak tersalurkan dengan baik akibat praktek korupsi. Paradigma neolib ini berdiri pada asumsi yang rapuh, menganggap bahwa keadaan sosial, politik dan ekologis Indonesia senantiasa berada dalam kondisi yang seimbang. Asumsi ini tidak mempertimbangkan biaya transaksi birokrasi yang mahal dan prosesnya yang panjang. Tentu harus dipertanyakan ulang pilihan pemerintah menjadikan hutang sebagai penyelesaian masalah bencana kemiskinan di Indonesia.

Dalam berbagai literatur kebencanaan terdapat beberpa konsep, di antaranya adalah hazard (ancaman bencana), risk (resiko) dan vulnerability (kerentanan). Bencana baru akan terjadi jika sebuah masyarakat rentan dengan ancaman atau bahaya bencana, atau ketika ketika kerugian telah melebihi kemampuan masyarakat untuk menyerap, mengatasi dan memulihkan dirinya. Bencana bukan hanya terjadi karena alam yang marah atau fenomena alam, tetapi bencana adalah pertemuan dua aspek, di satu sisi ada suatu kelompok masyarakat yang rentan terjadi bencana (bantaran sungai yang rawan banjir, di wilayah cicin api) karena tidak ada tidak ada tempat yang lebih aman yang tersisa atau karena tidak mendapatkan informasi tentang ancaman yang ada di lingkungan mereka. Di sisi lain, ada kondisi alam yang semakin buruk seperti pemanasan global, berkurangnya hutan dan kesenjangan sosial. Untuk mengatasi fenomena kerentanan inilah dibutuhkan perspektif  Pengurangan dampak Bencana (Disaster Risk Reduction) yang melihat ancaman sebagai sesuatu yang bisa dihindari dengan memindahkan calon korban dari wilayah yang rentan terkena ancaman atau dengan melengkapinya dengan informasi terkait kebencanaan agar mereka siap jika ancaman itu datang. Bukan hanya diam dan pasrah melihat ancaman itu datang.

Ancaman yang lain kerap muncul pada pasca bencana adalah politik bantuan. Praktik korupsi hanyalah akibat dari proses politik bantuan di mana terjadi tarik menarik kepentingan memperebutkan lahan usaha. Dampaknya bagi korban bencana tidak dalam jangka yang pendek, tetapi jauh melampaui masa rehabilitasi setelah bencana terjadi. Praktik bisnis kini masuk dalam kawasan bencana, seperti yang pernah dijelaskan oleh Naomi Klein dalam The Shock Doktrine: salah satu peletak dasar neoliberalisme, Mlton Friedman menyarankan bahwa perubahan terhadap sistem yang sudah ada selalu membutuhkan krisis. Krisis ini bisa dalam bentuk bencana dari fenomena alam maupun bencana yang direkayasa, misalnya lewat konflik. Dengan krisis ini, masyarakat akan kehilangan lahan dan institusi sosialnya atau menjadi lemah sehingga dengan mudah dapat menciptakan sistem baru yang diinginkan di atas lahan tersebut. akibat politik bantuan ini bukan hanya pada perebutan lahan dan arah rekonstruksi tetapi juga merusak sistem sosial yang ada. Masyarakat menjadi pasrah menuunggu bantuan akrena tidak lagi mau mengandalkan kekuatan komunalnya. Seharusnya, kekuatan komunal merupakan tumpuan utama dalam melakukan rekonstruksi, dan bantuan luar cukup menjadi pelengkap. Selain itu, jumlah dana bantuan yang cukup besar, melahirkan konflik di masyarakat karena memperebutkannya. Akibatnya, korupsi merajalela dan bantuan tidak tersalurkan dengan baik ke kelompok yang benar-benar membutuhkan bantuan. Fenomena bencana dalam kerangka politik bantuan bisa juga dilihat sebagai pembiaran yang disengaja. Jika masyarakat berkonflik, maka akan lebih mudah untuk diambil alih lahannya. Ketika konflik terjadi, solidaritas sosial akan menjadi rusak, dan harta komunitas lebih mudah diambil alih. Pelakunya sebagian besaar adalah perusahaan besar bertaraf internasional.

***

Selanjutnya tentang analisis penulis mengenai produk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana no 24 tahun 2007. Penulis membaginya menjadi tiga bagian penting: mengenai potensi baik dari produk hukum ini, beberapa catatan penting mengenai kekurangan yang terdapat di dalamnya dan catatan-catatan penting penulis sebagai bahan refleksi penanganan masalah kebencanaan di masa lalu.


Potensi baik:
1.      Memuat beberapa prinsip yang memungkinkan masyarakat untuk mengambil peran di dalam penanganan kebencanaan.
2.      Secara konseptual Undang-Undang ini sudah rapih, sehingga bisa menghindarkan kekeliruan dalan implementasinya.
3.      Dalam produk hukum ini, penggunaan konsep kebencanaan sudah sangat jelas dijelaskan, misalnya membedakan dengan rinci apa itu bencana, ancaman bencana dan kerentanan bencana.
4.      Undang-Undang ini menegaskan kebersediaan pemerintah untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penanggulangan bencana (pasal 55).
5.      Pemerintah nasional, daerah dan Badan Nasional Penganggulangan Bencana (tingkat nasional dan daerah) akan melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana serta sanksi penyalahgunaannya (pasal 66 dan 78 ).


Kekurangan:
1.      Implementasi UUPB dengan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan badan Penanggulangan Bencana Daerah mengberi kesan pemerintah menciptakan ajang tarik menarik kepentingan elit politik dengan posisi-posisi strategis seperti ini, entah itu disengaja atau tidak (pasal 10 dan 18).
2.      Isi Undang-Undang ini lebih didominasi oleh aturan pembentukan struktur kerja daripada penjabaran cara kerja penanggulangan bencana bersama masyarakat yang menjadi korban utamanya.
3.      Kurang memuat tentang faktor perubahan iklim global dan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi.
4.      Masih sulit untuk menghubungkan kebujakan ini dengan usaha pengentasan kemiskinan di Indonesia mengingat cara pandang yang digunakan pemerintah dalam usaha tersebut,  masih  terjadi kekeliruan (paradigma neolib).
5.      Undang-Undang ini masih menyisakan pertanyaan seputar akses berbagai unsur masyarakat non pemerintah dalam mengendalikan implementasinya.
6.      Undang-Undang ini tidak secara penuh memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan arah perencanaan maupun penanggulangan bencana karena harus mengikut pada ketetapan yang dibuat oleh ‘unsur pengarah’ dan ‘unsur pelaksana’.
7.      Masih kurang penjabaran mengenai konsep ‘lembaga dan organisasi kemasyarakatan’ (pasal 59 ayat 1 bagian e).

***

SETELAH melakukan analisis kebijakan, penulis memberikan usulan-usulan perbaikan yang sekiranya bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Di sini penulis menitikberatkan hasil analisisnya pada pendekatan penanganan bencana yang berpusat pada rakyat. Usulan tersebut meliputi dua aspek:


Aspek-aspek dasar
Percaya pada kekuatan sendiri, masyarakat memiliki potensi yang meliputi solidaritas sosial, piranti komunikasi sosial, dan nilai-nilai lainnya sebagai kekuatan. Dengan memanfaatkan kekuatan ini memungkinkannya untuk melakukan pemetaan suber daya kemudian memanfaatkannya dalam menyelesaikan masalah-masalah kebencanaan yang ada di lingkungannya. Lebih jauh lagi, kekuatan ini bisa menggantikan orientasi meminta bantuan luar negeri menjadi orientasi yang bertumpu pada sumber daya yang dimiliki, sehingga bisa bebas menentukan arah kebijakannya sendiri pasca bencana. Bukan mengikut pada rekomendasi dari luar yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu saja.
Pelibatan rakyat, di banyak kasusu, keterlibatan masyarakat secara penuh memiliki banyak keutamaan, misalnya mampu menyusutkan biaya oprasional penanggulangan bencana, memaksimalkan efektifitas kerja-kerja pemerintah dan pemanfaatan pengetahuan lokal masyarakat untuk memperkaya teknologi pembaca gejala alam yang digunakan dalam penanggulangan bencana.
Transformasi peran pemerintah, selain berbagi peran dan membantu kerja pemerintah, transformasi ini akan menempatkan keberpihakan pemerintah pada posisi yang seharusnya, tidak semata mendorong kepentingan kelompok tertentu. Hal ini juga mampu mamaksimalkan pengawasan terhadap penaganan masalah-msalah kebencanaan yang diakukan  bersama.


Asas dan Pendekatan
Untuk menghindari kebijakan yang berbau birokratis, berikut kaidah-kaidah yang perlu diterapkan: peran serta murni masyarakat, otonomi lokal, kesetiakawanan warga, perlakuan khusus, bertanggung gugat dan keberlanjutan.


Transdormasi kebijakan
Beberapa usulan yang diajukan buku ini adalah sebagai berikut:
Pertama: melakukan pengkajian yang lebih komprehensif tentang kemungkinan bencana yang dikaitkan dengan perubahan ekologis, dampak dari pemanasan global, kerentanan kelompok masyarakat miskin yang jumlahnya cukup besar dan fenomena politik bantuan. Upaya pengkajian ini dilakukan bersama masyarakat yang peluang menjadi korban bencana lebih besar.
Kedua: menjadikan pengetahuan lokal perangkat utama dalam penanganan masalah-masalah kebencanaan, baik dengan melakukan eksplorasi maupun memobilisasinya dalam ranah pengkajian bersama.
Ketiga: dari hasil pengkajian pengetahuan lokal ini kemudian menyusun skenario bencana dan penanganannya, masuk di dalamnya rencana pembangunan.
Keempat: membangun institusi yang kuat di dalam masyarakat untuk mengawal masalah-masalah kebencanaan dan pemerintah hanya sebagai koordinator yang mengatur proses kerja dan suber dayanya saja.

Bagian II Buku Ini

BERISI tentang pengalaman fasilitator lapangan bersama masyarakat di dalam program DRR. Menceritakan langkah yang diambil oleh mereka untuk memperlakukan alam serta mengupayakan pengurangan resiko bencana yang mengancam lingkungannya. Mempersiapkan segala yang dibutuhkan jika bencana itu datang seperti membuat atau membenahi kelompok yang khusus menangani bencana, mempersiapkan kebutuhan mereka (sumber pangan darurat, jalur evakuasi sampai tempat pengungsian) dan langkah untuk mengurangi resiko bencana dengan menjaga ekologi alam di sekitarnya. Semua itu diupayakan sendiri oleh masyarakat secara mandiri dengan memanfaatkan apa yang mereka miliki. Menggunakan sumber daya alam serta pemanfaatan pengetahuan lokalitas yang dipelajari secara turun temurun. Hal ini dilakukan masyarakat bukan hanya untuk melakukan percepatan penanganan masalah kebencanaan, tetapi juga mengurangi kebergantungan mereka terhadap proyek bantuan (baik dari pemerintah maupun lembaga donor lainnya) dan dampak lain yang menyertainya.

Namun proses pengorganisasian yang dilakukan belumlah lengkap jika tidak berusaha memperbaiki aturan hukum sebagai acuannya. Mencoba mencari titik temu berbagai unsur yang berkepentingan dalam penanggulangan bencana, termasuk di dalamnya unsur pemerintah dengan produk kebijakan sebagai acuan kerjanya. Bekerjasama dan saling menguatkan satu sama lain untuk mewujudkan sebuah gerakan sosial di masyarakat yang mengalami kerentanan bencana. Merupakan perwujudan dari perlawanan berbagai unsur ini atas ‘kepasrahan’ menerima fenomena kebencanaan. Semakin siap dengan perubahan ekologis, dampak dari keserakahan sekelompok manusia dalam menciptakan bentuk kenyamanan palsunya.

Bagian III Buku Ini

MENCOBA untuk merangkum tentang apa yang ingin disampaikan di dalam buku ini, terutama mencoba memperbaiki cara pandang pembacanya mengenai masalah kebencanaan. Berusaha menjembatani upaya yang dilakukan pemerintah dengan upaya unsur lain dalam mengatasi masalah kebencanaan, terutama bagaimana mengurangi resiko bencana. Menempatkan kembali masyarakat dalam peran-peran strategis penaggulangan bencana, mengingat merekalah yang paling faham perubahan ekologis yang terjadi di lingkungannya.[]



0 komentar:

Posting Komentar