# Sketsa Ekologi Desa Kompang Bagian 1
SATU sore yang dingin di bulan Juni, saat kabut tipis bergerak perlahan di punggung-punggung bukit. Cerita Inru mulai diperdengarkan padaku oleh Hasan di sepanjang jalan menuju pohon-pohon tempatnya akan menyadap air Inru. Mereka menyebutnya nyara’ atau sara—atau bahasa umumnya menyadap atau sadap. Dari rumahnya, di pinggir jalan poros Sinjai-Malino, tepatnya di dusun Bonto, desa Kompang—dimana atap rumah Hasan sejajar tingginya dengan jalan, bahkan lebih rendah lagi—kami bergegas sebelum gelap menyergap, air Inru harus segera sampai di wajan masak.
Melewati deretan pohon kakao berumur lebih 15 tahun yang tidak beraturan, jalan dimulai dengan medan menurun. Kakao ditanam di sela-sela batu yang banyak terdapat di lahan-lahan petani desa Kompang. Tanah subur yang terdiri dari gumpalan tanah liat berpasir yang banyak terdapat di wilayah ini. Tepat di kebun milik Hasan, kakao-kakao uzur berbuah kering telah siap digantikan oleh bibit cengkeh setinggi dada manusia dewasa tumbuh di sampingnya. Karena usia dan penyakit yang tidak kunjung terobatilah kakao sesaat lagi akan mengakhiri kejayaannya di tanah milik Hasan.
“Saya siapkan lahan ini (menunjuk di tempat beberapa pohon kakao tua nyaris tanpa buah) untuk cengkeh, makanya banyak bibit cengkeh yang saya tanam di sini”, Hasan menjelaskan padaku mengenai keberadaan bibit cengkeh di hadapanku sambil terengah.
Selain cengkeh, ada pula bibit pohon Pala dan Durian yang ditanam oleh Hasan di sekitar kebun kakaonya yang tidak produktif lagi. Harapannya, bibit-bibit baru ini akan mampu menggantikan tanaman kakaonya.
Kemudian hadir pertanyaan, apa yang membuat Hasan mampu bertahan di saat kakao tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan keluarganya? Apa yang dilakukan Hasan ketika cengkehnya yang tidak berbunga tahun ini akibat musim hujan yang nyaris sepanjang tahun? Jika hanya melihatnya sepintas, hampir tidak ada tanaman di kebunya yang bisa menyelamatkan Hasan.
***
MENYADAP Inru merupakan keahlian turun temurun di keluarga Hasan. Ayahnya, puang Batong dan kakeknya, puang Karro juga legenda penyadap Inru di masa lalu. Legenda keluarga ini bisa menyadap ratusan pohon Inru miliknya. Terakhir, Hasan masih mendapatkan puang Karro yang bungkuk hampir menyentuh tanah, masih kuat memikul air Inru di punggungnya. Berat air Inru yang dipikul bisa mencapai 20 kilogram, bergantung dari kuwalitas airnya. Biasanya, jika kuwalitasnya bagus (rasanya lebih manis dan gula yang dihasilkan lebih banyak), maka beratnya akan bertambah. Melewati jalan terjal dengan kemiringan hingga 50 derajat ditambah susunan batu tajam berlumut.
Desa Kompang saat itu (1960-an akhir), masih dipenuhi oleh ribuan pohon Inru dan kemiri. Puang Batong saja semasa hidupnya memiliki lebih 100 pohon Inru, padahal lahan miliknya termasuk lahan yang sempit di antara lahan milik warga yang lain. Jadi bisa kita bayangkan 35 tahun silam—saat cengkeh dan kakao belum ada—desa tempat Hasan tinggal dipenuhi oleh pohon-pohon penghasil gula aren/gula merah.
Sekitar 1970-an akhir, cengkeh mulai masuk di desa Kompang, kemudian disusul oleh kakao di awal 1980-an. Pada umumnya, ada dua cara petani mendapatkan bibit. Pertama, dengan membeli bibitnya dari teman, sampai pedagang langsung bibit. Cara kedua adalah melalui pemerintah desa (kepala desa dan jajarannya). Pemerintah melalui dinas pertanian kabupaten membagikan 3 bibit untuk satu rumah tangga secara cuma-Cuma untuk di tanam di kebun masing-masing. penyalurnya kemudian adalah pemerintah desa yang dibantu oleh penyuluh pertanian. Akhirnya, semakin banyak petani yang mengubah peruntukan lahannya, dari tanaman jagung ke cengkeh dan kakao.
Karena kedua jenis tanaman ini (cengkeh dan kakao) membutuhkan penyinaran langsung yang baik, dimulailah penebangan pohon-pohon besar yang kira-kira bisa menghalangi pertumbuhan cengkeh dan kakao. Sejak saat itulah banyak pohon Inru dan kemiri yang ditebang oleh petani. Selain dapat menghambat proses pencahayaan, Inru dan kemiri juga dapat mengakibatkan tanaman di sekitarnya berebut makanan. Untuk memaksimalkan pertumbuhan cengkeh dan kakao maka perebutan makanan di dalam tanah harus diakhiri. Keputusan akhir, petani mengorbankan tanaman lamanya.
Tidak semua tanaman Inru menjadi korban. Peristiwa itupun tidak terjadi dalam sekejap, tapi bertahap. Hingga kini masih ada beberapa pohon yang tetap tumbuh, dengan catatan pohon Inru tersebut tidak mengganggu tanaman komoditi petani. Termasuk sekitar 4 pohon inru yang hingga kini masih menetesi ekonomi keluarga Hasan.
***
MENGAMBIL air indu dari pohonnya atau nyara’ bukanlah pekerjaan mudah. Selain membutuhkan pengalaman, juga kesabaran untuk tetap memperlakukan tanaman dengan kearifan. Maka tidak jarang ada pemilik inru yang menyerahkan pohonnya kepada petani lain untuk di sara’ karena menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukannya.
Di dusun Bonto misalnya, saat ini hanya tersisa sekitar 10 orang saja pembuat gula yang masih aktif mengambil air inru dari pohonnya. Alasannya beragam, ada yang menganggap pekerjaan ini pekerjaan berat dengan penghasilan yang tidak sebanding, kurang berpengalaman sehingga pohon tidak menghasilkan air yang cukup banyak—bahkan tidak ada sampai beranggapan bahwa pekerjaan ini pekerjaan kelas bawah. Tapi tidak masalah dengan anggapan itu, karena semakin sedikit yang menekuni pekerjaan ini, semakin besar permintaan pembeli—mengingat bahwa banyak makanan tradisional masyarakat yang menggunakan bahan gula aren, seperti cendolo, saraba, kolak, kue bugis dan masih banyak lagi.
Bagi Hasan, mengambil air inru bukanlah pekerjaan yang sulit, tapi tidak untuk sebagian orang. Untuk pohon inrunya, Hasan mengaku hanya dia yang bisa mengambilnya. Jika coba memberikan pekerjaan ini ke orang lain, maka kuwalitas gulanya kurang baik. Kadang gula yang dihasilkan akan sangat buruk—warnanya menjadi kehitaman. Bahkan inru akan ‘mogok’ untuk meneteskan airnya. Ini bukan mencari pembenaran atas ketidaktahuan penyebab masalah yang terjadi pada inrunya, tetapi ini yang dialami oleh Hasan. Memahami dan memperlakukan alam dengan kasih sayang, tentunya dengan bumbu kesabaran.
“Yah, kalau hari ini airnya sedikit, mungkin itu yang ada. Mungkin besok sudah kembali banyak lagi airnya. Yang penting harus sabar”, Hasan meyakinkan.
Kuwalitas dan banyaknya air inru tidak dipengaruhi oleh curah hujan menurut Hasan, tetapi bagaimana kita merawat dan memperlakukannya. Jika perlakuannya baik, maka gula yang dihasilkan akan baik pula.
Berikut tips yang diberikan oleh Hasan:
Mulanya harus menunggu hingga pohon inru benar-benar bisa memproduksi gula. Sebelum mengiris ara’angnya (bagian batang tempat menempelnya buah), bagian ini harus diketuk-ketuk dengan kayu dari pangkal hingga ujung agar bisa menghasilkan air nantinya. Kayu dibuat khusus agar tidak melukai bagian ara’angnya yang akan diiris. Bisanya pengetukkan dilakukan hingga 7 kali. Biasanya dilakukan satu kali dalam 2 sampai 3 hari.
Untuk memastikan bahwa ara’angnya ini sudah bisa mengeluarkan aair, maka dilakukan uji coba terlebih dahulu. Caranya mudah, yakni dengan membuat penusuk berbentuk seperti pahat dari sebilah bambu. Kemudian penusuk ditancapkan ke ara’angnya kemudian dilepaskan kembali. Jika lubang mengeluarkan air, maka ara’angnya siap untuk diiris.
Bagian yang diiris adalah ara’angnya yang paing dekat dengan tangkai buah. Kemudian diiris halus dengan menggunakan parang khusus yang Hasan sebut panggari’, parang yang dipesan khusus dari Maddako, desa Gunung Perak. Menurutnya, parang ini lebih tajam dari parang biasa. Sisi mata parang lebih tipis sehingga memudahkan untuk melakukan pengirisan. Sama tajamnya dengan pisau silet. Setelah itu, permukaan yang sudah diiris dibersihkan dan membuat cekungan di bagian bawah untuk tempat mengalirnya air. Barulah bambu pattung diletakkan untuk menampung air inru yang keluar.
Bambu pattung ini sebelum digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Kemudian mengupas bagian luar kulit bambu agar tidak terlalu berat saat dipikul. Kemudian meletakkan sene atau pengawet yang berasal dari akar kayu Sappaying agar kuwalitas air inru terjaga saat berada di bambu penampungan. Cukup mengiris 5 centimeter sene untuk dimasukkan ke dalam bambu sebelum menampung air inru. Kemudian bagian atas bambu ditutup dengan gumpalan dari daun sukun.
Saat bambu diletakkan untuk menampung air inru, bagian atasnya kemudian ditutup menggunakan pelepah batang pinang kemudian diikat rapat. Tujuannya agar binatang malam—seperti tikus dan kelelawar—tidak mengotori air inru dalam bambu.
***
SEHABIS shalat subuh, sekitar pukul 05.30 WITA Hasan segera bergegas untuk mengambil air inru dalam penampungan. Tidak lupa tas selempang berwarna biru tua yang berisi perlengkapan kebun diselipkan di tubuhnya. Air inru harus segera diambil sebelum siang untuk mengganti bambu penampung semalam yang telah penuh terisi. Biasanya, di sela aktifitas nyara, Hasan akan mengurus kebunnya, juga mencari kayu bakar untuk memasak inru yang akan dijadikan gula. Setelah siang, barulah memutuskan pulang untuk beristirahat.
Sekitar pukul 15.00 WITA, Hasan akan kembali ke pohon-pohon inrunya untuk pengambilan yang kedua. Memanjat satu persatu puhon inru dengan tangga bambu sederhana yang dibuatnya.tangga yang tentunya tidak memenuhi standar keamanan dan sangat licin jika hujan telah mengguyurnya.
Setiap mengganti bambu penampung air inru, pengirisan tetap dilakukan. hal ini dilakukan untuk menjaga agar ara’angnya tetap bersih dan meneteskan airnya. Terus teriris hingga pangkal sampai ara’angnya tidak lagi mampu meneteskan airnya. Biasanyanya, ara’angnya akan bertahan hingga 6 bulan, bergantung pada kemampuan pohon inru sendiri. Demikin pula dengan pengetukkan, akan dilakukan seperlunya untuk memaksimalkan keluarnya air.
Untuk penggemar ballo, biasanya air inru akan dibiarkan di dalam penampungan hingga berminggu-minggu hingga rasa dan baunya berubah menjadi keasaman. Minuman beralkohol hasil fermentasi alami dalam bambu, tetapi rasanya tidak semanis jika air inru yang diambil setiap hari—saat rasa dan bau belum berubah.
Lalu, bagaimana air inru bisa menjadi tumpuan ekonomi keluarga Hasan di tengah kebun kakao yang tidak produktif lagi? Atau di saat cengkeh-cengkeh tidak menghadirkan bunganya? Siapa yang membantu Hasan mengerjakan air inru ini untuk menjadi gula? Bagaimana cara hasan menjual hasil kerjanya?
***
ISTERI Hasan, Erna, dengan mata terus menyempit coba menghindari terpaan asap kayu bakar di kolong rumahnya. Tapi sebenarnya dia tidak sungguh-sungguh menghidarinya. Bukankah dia seharusnya menjauhinya, atau memadamkan api hingga tidak sejumput asap pun yang masih terbang. Tetapi toh dia terus menjaga api agar tetap menyala. Membolak balik kayu, mendorongnya, meniupnya sesekali mengaduk air inru yang dimasak. Menantinya hingga mengental dan siap dicetak ke tempurung kelapa untuk menjadi gula.
Pekerjaan ini terus dilakoninya untuk memenuhi permintaan gula dari langganan-langganannya, terutama saat tingkat konsumsi makanan manusia meningkat di bulan puasa. Terkadang karena banyaknya permintaan hingga dia tidak bisa menyanggupinya.
Dalam sehari, biasanya Erna menghasilkan sekitar 10 sampai 15 buah gula yang nyaris tidak bisa disimpan. Pembeli biasanya memesan sebelum gula benar-benar telah rampung pengerjaannya. Sebagai saran, jika ingin merasakan gula buatan Erna, pesanlah jauh hari sebelum gula itu dibuat.
Untuk harga gula sangat berfariasi, mulai dari 6 ribu rupiah, hingga 10 ribu rupiah. Apalagi saat-saat permintaan meningkat—biasanya saat bulan Ramadhan, biasanya harga akan semakin mahal.



0 komentar:
Posting Komentar